Tiga dari lima responden mengaku pernah mengalami rasa stres sejak Covid-19 masuk ke Indonesia. Kecemasan ini dialami merata oleh semua golongan umur dari generasi Z hingga ”baby boomers”.
Oleh
Krishna P Panolih, Litbang Kompas
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang meluas dan sudah berlangsung dua bulan ini menimbulkan kecemasan bagi sebagian besar masyarakat.
Untuk mencegah penyebaran Covid-19, Presiden Joko Widodo pada 31 Maret mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang hingga 29 April sudah diterapkan di tiga provinsi dan 22 kabupaten/kota. Selanjutnya diikuti peraturan Menteri Perhubungan yang mendorong supaya warga tidak melakukan perjalanan ke luar kota/daerah asal.
Kehidupan normal seperti berhenti sementara. Semua kegiatan yang berkaitan dengan kerumunan, mulai dari sekolah, perkantoran, pabrik, tempat ibadah, mal, tempat wisata, restoran, hingga rencana mudik Lebaran harus ditunda. Pemerintah mengimbau warga lebih banyak beraktivitas di rumah.
Ironisnya, tak semua bisa menjalankan hal tersebut. Ada sejumlah perusahaan terpaksa ”merumahkan” karyawannya tanpa kepastian kapan bisa bekerja lagi. Sebagian lagi mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak sedikit orang yang akhirnya kehabisan uang, tak bisa bayar kos atau kontrakan, bergantung pada bantuan sosial, atau nekat pulang kampung untuk bertahan hidup.
Gangguan kecemasan
Wajar jika kehidupan yang tak lagi normal tersebut menimbulkan kecemasan di masyarakat. Hal tersebut tecermin dari jajak pendapat Kompas pada pertengahan April lalu. Tiga dari lima responden mengaku pernah mengalami rasa stres sejak Covid-19 ini masuk ke Indonesia. Kecemasan ini dialami merata oleh semua golongan umur dari generasi Z hingga baby boomers, dengan proporsi tertinggi (26 persen) terjadi pada generasi milenial muda (22-30 tahun).
Kecemasan sebetulnya tak selalu berkonotasi negatif. Menurut dr Lahargo Kembaren, SpKJ, psikiater pada Rumah Sakit dr H Marzoeki Mahdi Bogor, hal tersebut adalah reaksi emosi yang wajar karena keadaan yang tidak diharapkan dan diasumsikan bisa menimbulkan bahaya. Rasa cemas akan memberi respons pada tubuh untuk cepat melakukan perlindungan agar ada rasa aman.
Reaksi cemas, lanjut dr Lahargo, akan positif dan baik kalau yang dirasakan adalah respons yang wajar. Jika berlebihan (reaktif), akan menyebabkan gangguan cemas (ansietas) yang ditandai rasa gelisah, takut mati, jantung berdebar, dan lainnya.
Separuh lebih responden merasakan rasa gelisah saat rasa tertekan muncul. Selanjutnya, 16 persen menyebutkan gejala susah tidur.
Hal serupa dialami Ruswanto (28), pekerja lepas yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Rasa gelisah plus sulit tidur dialaminya sejak ada PSBB di DKI Jakarta. Penghasilan rutinnya sekitar Rp 7,5 juta rupiah lenyap karena PHK dan rencana menikah di awal April pun gagal. ”Saya sempat sakit dua minggu gara-gara itu semua,” katanya.
Berpikir positif
Lalu, apa yang paling membebani selama mengalami kecemasan? Tiga dari 10 responden menyatakan soal ketidakpastian waktu berakhirnya pandemi ini menjadi jawaban yang paling banyak diungkapkan. Diikuti oleh hampir seperempat responden yang khawatir tertular Covid-19. Sisanya khawatir penghasilan berkurang dan terbatas aktivitasnya.
Hampir semua responden mengaku mempunyai solusi untuk mengatasi stres. Hal yang paling banyak dilakukan adalah berdoa (32,9 persen). Sebuah reaksi wajar yang dilakukan orang saat tertekan dalam situasi apa pun.
Selanjutnya, 31 persen responden menyebut tetap berpikir positif. Berpikir positif ini juga disarankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam ”Mental Health and Psychosocial Considerations during the Covid-19 Outbreak”, masyarakat diimbau agar terus bersikap positif, umpamanya berbagi cerita dari mereka yang berhasil sembuh. Atau cerita dari berbagai komunitas masyarakat yang membagikan sumbangan bagi para pekerja medis ataupun masyarakat berkekurangan yang terdampak pandemi.
Munculnya rasa cemas saat pandemi ini cukup wajar. Yang penting, rasa stres dan cemas harus bisa dikelola dengan baik.
Dokter Lahargo menyarankan rasa cemas ditanggapi dengan sikap responsif. Sikap responsif ini biasanya dengan bernapas teratur, mencoba menilai apa yang sedang berlangsung, bertindak, selanjutnya merefleksikan diri.
Bagaimanapun dua bulan tinggal di rumah dan ada keterbatasan bertemu saudara/teman yang berbeda rumah memicu kecemasan tersendiri bagi sebagian kecil responden.
Munculnya rasa cemas saat pandemi ini cukup wajar. Yang penting, rasa stres dan cemas harus bisa dikelola dengan baik. Pertolongan pertama melawan cemas dengan mengambil napas dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Selanjutnya diikuti tetap berpikir positif, berdoa, menerapkan gaya hidup sehat, melakukan hobi, dan tetap terhubung dengan orang-orang terdekat meski sebatas melalui gawai.