Aturan Larangan Mudik Belum Terbit, Waspadai Eksodus Warga
Sebelum aturan tentang larangan mudik terbit, pemerintah daerah harus mewaspadai eksodus warga. Harus ada pengetatan pengawasan di perbatasan.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
Setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan pelarangan mudik lebaran, pemerintah-pemerintah daerah harus mengawasi terjadinya kegiatan pulang kampung sebelum regulasi tentang larangan mudik terbit. Dinas Perhubungan dan kepolisian meski bekerja ekstra untuk mengawasi.
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Rabu (22/4/2020), menjelaskan, dengan adanya penerapan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di DKI Jakarta, lalu diikuti kota-kota di Bodetabek, itu sudah menyulitkan warga untuk mudik. Begitupun sebetulnya untuk daerah tujuan mudik juga sudah menerapkan aturan ketat bagi pendatang sehingga sudah pasti membuat pemudik berpikir apabila ingin mudik.
Namun, dengan larangan mudik yang bertujuan mencegah penyebaran virus korona itu baru berupa pengumuman dan belum ada regulasi yang diterbitkan, Djoko menjelaskan, potensi pemudik yang coba-coba pulang kampung atau ”colongan” atau eksodus warga sebelum aturan terbit, sangat mungkin terjadi. Warga yang memiliki dana bisa menyewa kendaraan pribadi untuk mengantarkan pulang meski biaya sewa mahal.
Dalam tiga hari menjelang larangan mudik 24 April 2020, lanjut Djoko, perlu diwaspadai mudik awal atau eksodus besar-besaran itu.
”Mereka bisa menggunakan angkutan umum atau angkutan sewa berpelat hitam. Sementara batasan jumlah penumpang bagi kendaraan keluar wilayah Jabodetabek belum diterapkan, seperti halnya penerapan PSBB di wilayah Jabodebatek. Larangan itu dapat diterapkan mulai sekarang pada semua kendaraan keluar Jabodetabek, kecuali kendaraan logistik dan kendaraan tertentu yang diizinkan,” jelasnya.
Lalu para pekerja pabrik atau pekerja informal yang sudah kehabisan uang, dimungkinkan juga untuk mencuri-curi kesempatan mudik. ”Yang harus diawasi adalah pemudik dengan sepeda motor atau roda dua,” kata Djoko.
Untuk itu, dinas perhubungan dan kepolisian dari setiap provinsi yang menjadi tujuan mudik ataupun ditinggalkan pemudik mesti ekstra bekerja mengawasi titik-titik perbatasan.
Penghentian angkutan umum
Nantinya, lanjut Djoko, apabila Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan aturan mengenai pelarangan mudik itu, setiap daerah bisa melakukan penghentian operasional angkutan umum. ”Bisa distop, tetapi harus diberikan kompensasi kepada pengusaha angkutan juga bantuan kepada awak bus,” kata Djoko.
Alasannya, lanjut Djoko, melarang mudik itu sangat memberatkan bagi pengusaha angkutan umum darat (bus antarkota antarprovinsi/AKAP, antar-jemput antarprovinsi/AJAP atau travel, bus pariwisata dan taksi reguler) serta sebagian angkutan perairan.
”Karena itu, berikanlah bantuan insentif dan kompensasi bagi pengusaha dan pekerja transportasinya. Tujuannya agar tidak ada satu pun perusahaan angkutan umum yang gulung tikar nantinya. Yang rugi juga kelak pemerintah jika banyak perusahaan angkutan umum yang gulung tikar,” katanya.
Langkah lainnya, ia menyarankan harus ada revisi atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang memberikan debitur untuk keringanan membayar angsuran dengan plafon hingga Rp 10 miliar.
”Jangan dibatasi nilai hingga Rp 10 miliar, dihilangkan saja batasan itu, supaya pengusaha angkutan umum mendapat insentif penundaan pembayaran pinjaman. Juga penundaan membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” kata Djoko.
Sementara bagi pekerja transportasi, seperti pengemudi dan kenek mendapatkan kompensasi dari pemerintah sebagai bentuk kehadiran negara melindungi pekerja transportasi. Sudah dialokasikan mendapat Rp 600.000 per bulan selama 3 bulan melalui Kepolisian Negara RI. Agar komepensasi tepat sasaran, para Kepala Satlantas di Polres sebagai pelaksana terendah dapat bekerja sama dengan Organda Kabupaten/Kota untuk mendapatkan data pengemudi angkutan umum di daerahnya.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta menjelaskan, karena ada pelarangan mudik yang tentu saja membuat pergerakan orang ke luar wilayah tidak diperbolehkan, itu membuat layanan angkutan antar-kota antar-provinsi harus ditutup. Sementara untuk layanan di dalam Jabodetabek itu tetap ada.
Namun, lanjutnya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Kementerian Perhubungan untuk penerapan di lapangan.
”Kami akan menunggu petunjuk lebih lanjut ketentuannya, khususnya terkait dengan bagaimana layanan angkutan umum, apakah itu angkutan antarkota antarprovinsi untuk bus ataupun kereta api, juga dengan angkutan laut dan angkutan udara. Kami pahami bahwa di Jakarta itu ada bandar udara internasional, ada Halim, ada Soetta,” kata Syafrin.
Djoko melanjutkan, hal lain yang bisa diatur oleh pemerintah daerah mengenai mudik adalah ketentuan mudik di wilayah aglomerasi atau wilayah yang menjadi satu kesatuan pergerakan, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila, juga Bandung Raya.
”Pembatasan larangan mudik tidak hanya dilakukan dari Jakarta ke daerah lain, tetapi juga berlaku di seluruh Indonesia, meski asal pemudik terbesar yang termasuk zona merah adalah Jakarta. Pelarangan mudik dapat diterapkan berdasarkan batasan wilayah aglomerasi, seperti Jabodetebek, Malang Raya, Bandung Raya, Kedungsepur, Gerbangkertasusila, Banjarbakula, Mebidang, Barlingmascakeb. Sekarang ini, mobilitas penduduk sudah menyebar dalam kawasan aglomerasi,” jelasnya.
Dengan pembatasan wilayah semacam itu, membuat manusia hanya akan bergerak atau berputar di sekitar wilayah itu saja.
Lainnya, Djoko melanjutkan, adalah alternatif aturan untuk mengurangi mobilitas warga menggunakan kendaraan bermotor, dengan cara pembelian bahan bakar minyak (BBM) di SPBU beroperasi dibatasi atau menaikkan tarif BBM.
Kali ini, lanjutnya, demi keselamatan kesehatan warga Indonesia, pemerintah harus bertindak tegas. Harus diberikan sanksi hukum bagi yang melanggar mudik tahun ini. Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyatakan, bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana paling banyak Rp 100 juta.
”Jika aturan ketat itu bisa menahan laju pemudik yang belum mudik, pemerintah harus menyiapkan kompensasi. Apabila selama ini ada anggaran mudik gratis untuk pekerja sektor informal, anggaran itu kali ini bisa dialokasikan untuk pengadaan bahan kebutuhan pokok guna membantu masyarakat peserta mudik gratis yang tidak bisa pulang,” katanya.