Penyebaran Covid-19 di Permukiman Padat Jakarta Bakal Lebih Merepotkan
Penyakit Covid-19 menular dari orang ke orang. Jika menyebar di permukiman padat di DKI, kenaikan jumlah kasus dikhawatirkan semakin cepat.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Berdasarkan data resmi, jumlah kasus positif Covid-19 di sebagian besar kelurahan berpenduduk padat di DKI Jakarta hingga saat ini relatif rendah. Namun, jika risiko penyebaran di permukiman padat tidak dicegah, Pemerintah Provinsi DKI bakal kerepotan.
Peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, bersama rekan-rekannya membuat kajian tentang episentrum penyebaran Covid-19 di DKI. Hasilnya, belum terlihat adanya hubungan antara kepadatan penduduk dan tingkat penyebaran Covid-19.
”Kami sampai sekarang belum ada data tersebut karena kami berdasarkan data yang resmi dirilis pemerintah,” ucap Suryono saat dihubungi Senin (20/4/2020). Meski demikian, kawasan permukiman padat harus benar-benar diawasi dari waktu ke waktu. Apalagi, kapasitas pemeriksaan Covid-19 masih terbatas dan belum semua warga yang positif tertular diketahui lokasinya.
Berdasarkan data yang dihimpun Sabtu (18/4/2020), terdapat 738 kasus positif di DKI yang belum diketahui lokasi kelurahannya. Data tiga hari sebelumnya menyebutkan, ada 709 kasus yang lokasinya belum diketahui. Data kasus positif dengan lokasi belum diketahui selalu ada setiap Suryono dan kawan-kawan mengambil dan mengolah data per tiga hari. ”Itu jumlah yang besar,” ujarnya.
Di Jakarta Pusat, jumlah kasus positif di Kelurahan Cempaka Putih Barat, Kecamatan Cempaka Putih, membubung 133 persen hanya dalam tiga hari. (Suryono)
Selain itu, tercatat lonjakan kasus di kelurahan-kelurahan yang bertetangga dengan kelurahan padat penduduk. Suryono mencontohkan, di Jakarta Pusat, jumlah kasus positif di Kelurahan Cempaka Putih Barat, Kecamatan Cempaka Putih, membubung 133 persen hanya dalam tiga hari, dari 6 kasus pada 12 April menjadi 14 kasus pada 15 April. Cempaka Putih Barat berbatasan dengan kelurahan padat penduduk Galur (1 kasus pada 15 April) dan Kampung Rawa (5 kasus pada 15 April).
Tren peningkatan yang mengkhawatirkan juga terlihat di Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat, yang pada 12 April punya 5 kasus dan pada 15 April 12 kasus. Kebon Kosong berbatasan dengan kelurahan padat penduduk Utan Panjang (1 kasus pada 15 April).
Data pada 18 April menyebutkan, jumlah kasus di Cempaka Putih Barat naik lagi menjadi 20 kasus dan di Kebon Kosong menjadi 15 kasus.
Dihubungi secara terpisah, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, meyakini pertambahan kasus positif Covid-19 bakal melaju lebih cepat di DKI jika penyebaran sudah menyentuh permukiman padat. ”Itu karena virus menular dari orang ke orang,” katanya.
Sejak awal kasus positif ditemukan di Jakarta, Miko menyebutkan sudah bertanya pada Pemprov DKI tentang ada-tidaknya kasus positif di permukiman padat. Jawaban saat itu, belum ada. Kasus cenderung muncul kebanyakan di permukiman elite.
Miko mengingatkan, perhatian ekstra terhadap permukiman padat dibutuhkan mengingat pendekatan yang digunakan mesti berbeda. Masyarakat di sana cenderung sulit percaya pada orang lain kecuali pada tokoh masyarakat setempat, termasuk perangkat RT dan RW. Keaktifan tokoh masyarakat di permukiman padat bakal menentukan keberhasilan pembatasan sosial di sana.
Apalagi, Indonesia memilih penerapan pembatasan sosial skala besar (PSBB) yang belum setegas penutupan wilayah guna menghadapi pandemi Covid-19. Konsekuensinya, pelandaian kasus lebih lama.
Selama kurun 6-12 April, jumlah kasus di kelurahan yang bertetangga dengan gugusan episentrum cenderung bertambah banyak.
Meski sekarang belum terkonfirmasi, kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kecepatan pertambahan kasus. Jika kasus di suatu kelurahan tidak berhenti bertambah, jumlah kasus di kelurahan berpenduduk padat yang bertetangga dikhawatirkan turut bertambah dan memicu kenaikan kasus yang lebih cepat. Apalagi, Suryono dan kawan-kawan menangkap satu pola tren terkait penyebaran Covid-19 di Jakarta, yaitu terbentuknya kumpulan atau gugusan kelurahan-kelurahan dengan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi.
Kondisi itu memengaruhi kelurahan-kelurahan tetangganya. Jumlah kasus di kelurahan-kelurahan yang masuk gugusan lebih tinggi dibandingkan dengan kelurahan-kelurahan sekitar gugusan.
Berdasarkan peta 25 Maret, tim mendeteksi terbentuknya gugusan kelurahan-kelurahan yang bertetangga dengan jumlah kasus tertinggi di Jakarta, seperti Pegadungan (13 kasus) dan kelurahan tetangga, Kalideres (9), di Jakarta Barat. Pada 31 Maret, jumlah kasus di Gugusan Pegadungan-Kalideres membesar menjadi 30 kasus (19+11), serta terdeteksi muncul gugusan baru, Pondok Pinang-Cilandak Barat di Jakarta Selatan dengan jumlah 20 kasus (10+10).
Gugusan lain muncul lagi pada 6 April, yaitu Pondok Kelapa-Duren Sawit di Jakarta Timur (18+15 = 33 kasus) dan Kelapa Gading Timur-Kelapa Gading Barat di Jakarta Utara (16+11 = 27 kasus). Pada 12 April, Gugusan Pondok-Pinang-Cilandak Barat ”menambah” Bintaro dan Lebak Bulus di Jakarta Selatan sebagai anggota sehingga menjadi Gugusan Pondok Pinang-Cilandak Barat-Bintaro-Lebak Bulus (24+14+14+13 = 65 kasus).
Adapun jumlah kasus di Gugusan Pegadungan-Kalideres naik menjadi 50 kasus (28+22), di Gugusan Pondok Kelapa-Duren Sawit menjadi 43 kasus (25+18), dan Gugusan Kelapa Gading Barat-Kelapa Gading Timur 37 kasus (20+17). Selama kurun 6-12 April, jumlah kasus di kelurahan yang bertetangga dengan gugusan episentrum cenderung bertambah banyak.
Pada 15 April, terdapat penambahan anggota di sejumlah gugusan. Gugusan Pondok Pinang-Cilandak Barat-Bintaro-Lebak Bulus bertambah dengan masuknya Pondok Labu (24+15+14+14+15 = 82 kasus). Gugusan Pondok Kelapa-Duren Sawit dimasuki Klender (26+18+14 = 58) dan Kelapa Gading Barat-Kelapa Gading Timur mendapat tambahan Pegangsaan Dua (26+17+12 = 55). Adapun Gugusan Pegadungan-Kalideres hanya mendapat tambahan angka yang relatif kecil (28+23 = 51) dan tidak ada kelurahan baru yang masuk.
Meski demikian, embrio gugusan baru muncul di lagi di Jakarta Barat, yaitu Gugusan Kebon Jeruk-Srengseng (21+12 = 33).
Karena itu, Suryono merekomendasikan Pemprov DKI tidak menyamaratakan metode penanganan untuk seluruh kelurahan. Di tengah terbatasnya sumber daya, Pemprov mesti membuat skala prioritas dan gugusan-gugusan yang sudah dipetakannya beserta tim bisa menjadi sasaran penanganan prioritas.
Suryono mengusulkan Pemprov dan pihak terkait merumuskan kriteria dan kategori kedaruratan gugusan kelurahan, misalnya dengan pengelompokan lokasi siaga, waspada, dan awas. ”Setiap kategori memiliki standar operasional penanganan tersendiri,” ujarnya.