Menimbang Penghentian Kereta Komuter di Tengah Pandemi Covid-19
Pembatasan angkutan umum perlu perhitungan cermat. Tanpa itu, pembatasan angkutan umum justru memunculkan persoalan baru, seperti kepadatan penumpang yang justru berpotensi menjadi tempat penyebaran virus korona baru.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
Pro-kontra penghentian kereta rel listrik commuterline sempat mencuat di tengah pembatasan sosial berskala besar yang diberlakukan di wilayah Jabodetabek. Angkutan massal ini ditengarai menjadi salah satu tempat potensial penyebaran virus SARS-Cov-2 yang menjadi pemicu Covid-19.
Dalam beberapa catatan kasus Covid-19 di Jabodetabek, ada penderita yang memiliki riwayat melakukan perjalanan dengan kereta rel listrik (KRL). Kebiasaan orang yang positif Covid-19 menggunakan KRL menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Saat kondisi normal, KRL berjubel orang menjadi pemandangan biasa. Rata-rata 950.000 penumpang per hari memakai kereta ini untuk ulang-alik ke tempat mereka beraktivitas.
Di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), beberapa foto yang beredar di media sosial atau di grup percakapan juga menunjukkan antrean penumpang saat akan masuk area peron. Kompas juga mencatat padatnya antrean pengguna KRL masih terlihat, antara lain pada Senin, 13 April 2020.
Hari Senin (20/4/2020), saat hari kerja pertama dengan PSBB di seluruh Jabodetabek, antrean panjang penumpang terlihat di Stasiun Citayam, Bogor. Mereka berderet saat akan masuk ke area peron. Di dalam peron saat menunggu kereta serta ketika berada di dalam kereta, seperti diklaim operator, jarak antarpenumpang diupayakan diterapkan. Jumlah penumpang KRL pun sudah melorot jauh menjadi sekitar 100.000 penumpang sehari.
Usaha pendukung
Kebutuhan menjaga jarak antarpenumpang sulit diterapkan secara ideal di saat tuntutan mobilitas masih tinggi. Apalagi, pada masa PSBB ini ada delapan sektor usaha yang diperkenankan tetap beroperasi. Para pekerja di sektor inilah yang disebut-sebut difasilitasi dengan angkutan umum.
Di satu sisi, sektor transportasi bukanlah sektor usaha yang berdiri sendiri. Rasanya kita tidak membutuhkan KRL atau bus yang nyaman manakala tempat usaha dan permukiman tidak terpisahkan jarak yang jauh. Juga kita tidak perlu repot-repot menuju stasiun atau halte apabila tidak ada tempat kerja nun jauh di sana yang perlu dicapai dengan bantuan angkutan berkapasitas besar ini.
Sebagaimana teori transportasi, semakin besar daya angkut sebuah kendaraan umum, kian murahlah biaya yang mesti dikeluarkan seseorang. Ditambah lagi, pemerintah telah memberikan subsidi angkutan umum demi memangkas kemacetan yang kerap mendera kota-kota besar.
Tak heran, KRL bertarif Rp 3.000-Rp 13.000 sekali jalan ini menjadi idola ribuan pekerja komuter. Tarif KRL ini bisa separuh lebih murah dibandingkan dengan tarif bus reguler. Bagi banyak orang, lebih masuk akal mengalokasikan dana transportasi untuk KRL dan waktu ulang-alik yang lebih terukur ketimbang membeli hunian di tengah kota yang dekat dengan tempat usaha mereka.
Untuk konteks Jabodetabek, tempat usaha dan tempat tinggal menjadi satu kesatuan wilayah. Sulit memisahkan sekat administratif sebuah kota/kabupaten di megapolitan Jakarta saat ini.
Para petugas kebersihan di rumah sakit di Ibu Kota, misalnya, bakal lebih memilih bermukim di Depok, Bogor, atau Tangerang lantaran tak sanggup membayar cicilan rumah di pusat kota Jakarta. Toh, saban hari mereka bisa memakai KRL untuk memangkas jarak puluhan kilometer ini.
Opsi memakai KRL pun tetap diambil sebagian orang di saat PSBB. Meskipun jalan raya relatif lengang sehingga pengguna kendaraan pribadi tak perlu bermacet-macet, bagi kalangan tertentu memakai KRL tetap lebih baik terlebih jika harus menempuh jarak puluhan kilometer. Tarif yang terjangkau dan waktu tempuh yang bisa diprediksi menjadi salah satu pertimbangannya. Belum lagi perhitungan atas tenaga yang sudah terkuras saat bekerja sehingga riskan untuk mengendarai kendaraan pribadi selepas kerja.
Sebagai sektor pelayanan publik, moda transportasi umum sulit dihentikan selama denyut aktivitas usaha masih ada.
Di kota besar di Eropa dan Amerika pun angkutan umum masih beroperasi meskipun penumpangnya merosot tajam, yakni lebih dari 80 persen. Berdasarkan data aplikasi informasi angkutan umum, Moovit, pemakaian angkutan umum di Milan, Italia, turun 86 persen; Madrid, Spanyol, merosot 84 persen; dan metro New York, Amerika Serikat, 54 persen.
Saat karantina di kota itu, angkutan umum tetap beroperasi dengan sejumlah pembatasan. Angkutan umum ini terutama memfasilitasi pekerja yang masih diperkenankan bekerja.
Mengurangi jumlah sektor usaha yang diperbolehkan beroperasi selama pandemi Covid-19 ini menjadi kunci penting penurunan pengguna angkutan umum. Jam kerja yang berlaku di perusahaan saat PSBB juga perlu diperhatikan untuk mencegah penumpukan penumpang di pengujung jam operasional angkutan umum.
Tanpa perhitungan yang cermat, pembatasan angkutan umum justru memunculkan persoalan baru, seperti kepadatan penumpang. Kalau sudah begini, rentan muncul anggapan keliru lagi bahwa penularan virus SARS-Cov-2 semata karena angkutan umum masih beroperasi.