Tenaga kesehatan melawan ketakutan demi menyelamatkan raga-raga lain dari serangan virus korona baru yang memicu penyakit Covid-19. Tenaga medis pun berinovasi untuk menyiasati keterbatasan alat pelindung diri.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Di saat masyarakat awam menjauhi virus korona baru, para tenaga medis malah seakan menyerahkan diri untuk berdekatan dengan penyebab penyakit Covid-19 tersebut. Raga mereka terancam kehilangan nyawa setiap hari demi nyawa di raga-raga yang lain.
Tri Maharani baru tiba di Jakarta pada Kamis (16/4/2020) malam dan ia sudah mulai beraktivitas di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Jumat (17/4). Setiap hari selama 14 hari, dokter spesialis kegawatdaruratan ini bertugas menangani pasien Covid-19 di unit perawatan intensif (ICU) serta unit gawat darurat (UGD).
Tri ”diimpor” dari sebuah rumah sakit di Kediri, Jawa Timur, untuk menjadi sukarelawan tambahan di RSPI Sulianti Saroso. Ia dihubungi dua pekan sebelumnya dan langsung mengiyakan permintaan bergabung. Padahal, ia saat itu sadar akan bekerja di fasilitas perawatan pasien-pasien yang sudah pasti terkait Covid-19. RS tempatnya bekerja di Kediri bukanlah RS rujukan Covid-19.
”Sebelum berangkat, saya sudah sampaikan ke kakak-kakak saya. Saya tidak tahu balik atau tidak,” ucapnya saat dihubungi pada Sabtu (19/4) malam seusai menjalankan giliran tugas. Perempuan yang Agustus nanti berusia 49 tahun ini memasrahkan nyawanya kepada Yang Maha Kuasa.
Di RSPI Sulianti Saroso, matanya semakin terbuka terhadap daya rusak virus korona baru. Ia melihat sekitar 20 hasil rontgen paru-paru pasien yang sarat warna putih, pertanda begitu minimnya udara yang bisa masuk. Terbayang rasa sesak luar biasa yang diderita para pasien dan bukan tidak mungkin hal semacam itu menimpa Tri.
Sebelum berangkat, saya sudah sampaikan ke kakak-kakak saya. Saya tidak tahu balik atau tidak.
Kenyataan itu begitu dekat. Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah, misalnya, 34 staf dinyatakan positif Covid-19, termasuk 6 dokter spesialis dan 24 dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Data yang dihimpun Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sudah 24 dokter di Indonesia meninggal karena terkait Covid-19.
Banyaknya kasus perawat atau dokter yang menderita Covid-19 dipicu antara lain ketidakjujuran pasien ketika berobat atau saat ditanya perihal kronologi penyakitnya. Padahal, keterbukaan pasien menjadi kunci bahwa Covid-19 dapat disembuhkan dan penularan dapat dicegah.
Hal itu dituturkan Nurdiansyah, salah satu perawat yang turut menangani pasien Covid-19 di RSPI Sulianti Saroso, ketika berbagi pengalamannya di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu (19/4).
Memupuk keberanian
Meski rentan tertular Covid-19, para tenaga medis melawan ketakutannya demi menyelamatkan pasien. Setelah bertugas sebagai kepala instalasi gawat darurat di RS yang senantiasa merujuk pasien terkait Covid-19 ke RS lain, Tri memilih bergabung dengan rekan sejawat yang lebih dulu masuk ke ”ring satu” virus korona baru di RSPI Sulianti Saroso.
Keberaniannya terpupuk karena sudah terbiasa mengecap pengalaman sebagai sukarelawan bencana. Ke Palu, Sulawesi Tengah, pascabencana gempa, tsunami, dan likuefaksi, serta ke Lampung setelah tsunami Selat Sunda melanda pada 2018, hanya sedikit di antaranya. Keterancaman berulang kali ia rasakan.
Demi menyelamatkan raga-raga lain, ia merasa wajib datang. ”Harga nyawa yang terserang Covid-19 itu tidak ternilai,” ujar Tri tentang landasan komitmennya.
Namun, bukan berarti bekerja di RS asalnya bukan tanpa risiko. Jika pasien yang datang ke RSPI Sulianti Saroso sudah pasti terkait Covid-19, di Kediri, Tri dan anggota staf RS lainnya seperti berada di belantara karena mereka tidak pernah tahu pasien yang datang membawa virus korona baru atau tidak. Apalagi, jika pasien tidak jujur.
Mengenakan alat pelindung diri (APD) saat melayani pasien menjadi solusi terbaik. Namun, APD seakan ”menuju kepunahan” karena begitu tipisnya persediaan di pasaran, apalagi di daerah. Niat tenaga medis menolong yang membutuhkan seakan disia-siakan.
Berinovasi
Tri pun bersiasat dengan inovasi seadanya. Setiap lepas tugas, ia menyempatkan menjahit baju APD coverall berbahan poliester, dengan dibantu kedua kakaknya yang bukan tenaga medis. Di waktu senggang saat di RS, ia bersama para stafnya membuat pelindung wajah (face shield) berbahan mika.
Dalam sebulan terakhir, sudah 300 baju APD dan 500 pelindung wajah diproduksi oleh tangan Tri, kakak-kakaknya, dan anggota staf RS. Selain untuk kebutuhan sendiri, ia menyumbangkannya ke fasilitas-fasilitas kesehatan lain yang juga kesulitan mendapatkan APD.
Jenis APD baku yang tidak bisa diproduksi sendiri adalah masker N95, dengan harga sekitar Rp 150.000 per buah. Tri memilih menggelontorkan gajinya selama dua bulan untuk memenuhi perlindungan anak buahnya, termasuk masker N95 dan vitamin. Setidaknya Rp 50 juta sudah keluar dari kantong pribadinya. ”Harga N95 sama harga nyawamu masih mahalan nyawamu,” begitu ucapnya kepada para perawat dan anggota stafnya di RS.
Demi mengirit penggunaan APD, mereka sampai menggunakan sterilisator peralatan medis guna memanaskan APD-APD seusai dipakai. Dengan demikian, mereka kemudian bisa memakainya lagi. ”Sampai berbau sangit, ha-ha-ha,” kata Tri.
Bertugas di RSPI Sulianti Saroso, Tri menuturkan, perhatian bagi para tenaga medis lebih baik. Ia disediakan kamar beristirahat yang luas nan nyaman di Hotel Ibis Styles Sunter, Jakarta Utara. Kebutuhan makan dengan nutrisi yang lengkap pun terjamin. Di rumah sakit, stok APD sesuai standar lebih dari cukup guna memastikan seluruhnya hanya sekali pakai.
Namun, Tri menyaksikan betapa para tenaga medis juga terbelenggu kesepian. Di hotel, mereka tidak boleh saling bertegur sapa. Sesama tenaga medis juga tak boleh saling berkunjung ke kamar. Karyawan hotel melayani tidak dengan tatap muka. Perjumpaan dimungkinkan melalui alat komunikasi semata.
Tri melihat, panggilan video yang menayangkan anak memakan bakso sudah menjadi obat rindu bagi seorang tenaga medis. Sebab, anggota keluarga pun tidak boleh tinggal bersama di sana. ”Mereka bertanya-tanya kapan ini akan berakhir,” katanya.
Tri memohon kepada pemerintah, jika memang peduli kepada tenaga medis yang seakan menyerahkan nyawa mereka demi menangani Covid-19, pemerintah menerapkan kebijakan kekarantinaan yang lebih tegas. Kucurkan dana yang dipunyai untuk menjamin hak sosial dan ekonomi warga selama terisolasi.
Jika uang pemerintah kurang, swasta punya sumber daya yang bisa dimanfaatkan. Ia mencontohkan, satu perusahaan restoran berderma dengan menyediakan makan malam bergizi bagi tenaga medis di Hotel Ibis Styles Sunter, setiap malam.
Tenaga medis sudah membuktikan mereka berkorban demi raga-raga lain. Semua pihak, termasuk pemerintah, mesti menunjukkan hal serupa demi keselamatan raga para tenaga medis.