Pemberitaan tentang pandemi korona bak dua mata pisau. Paparan informasinya dapat melahirkan kekhawatiran, di sisi lain informasi yang sebenarnya bisa membuat tidak nyaman banyak pihak.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·5 menit baca
Jurnalisme menghadapi tantangan berat dalam memberitakan pandemi Covid-19. Informasi yang disajikan mesti mampu menumbuhkan benih-benih harapan di akar rumput. Pada saat yang sama, jurnalisme juga harus berani memberi masukan konstruktif pada kebijakan lembaga otoritatif yang tidak tepat.
Sementara, konsumen berita hampir setiap hari kebanjiran informasi tentang sebaran virus SARS-Cov-2 sejak akhir tahun 2019. Luapan informasi kian deras seiring dengan jumlah pasien positif yang terus bertambah di Indonesia sejak Maret lalu. Sebagian warga panik, semakin cemas, dan stres karena ketidakpastian akhir pandemi.
Kini sebagian warga mulai mencari alternatif informasi untuk meredakan panik hingga stres. Hidanti Karnila (26), misalnya, tidak lagi secara rutin membaca berita tentang korona dari portal berita ataupun lini masa sosial media karena memengaruhi pikirannya.
Ia merasa waswas saat beraktivitas di luar rumah. Padahal, saban hari masih berkantor seperti biasa karena pekerjaannya masuk ke dalam delapan kegiatan yang diperbolehkan berkegiatan selama pembatasan sosial berskala besar. ”Batuk dikit kepikiran, sesak napas kepikiran,” ujar Karnila, Kamis (16/4/2020).
Karnila mulai beralih membaca informasi tentang resep dan makanan serta berita ekonomi dan perpajakan. ”Lelah pikiran baca berita korona melulu. Lini masa juga sama, lewatin informasi korona. Sekarang cari hal-hal unik saja sekaligus untuk tambah wawasan kerja,” katanya.
Hal yang sama juga dilakukan Dara Adinda Kesuma Nasution (24). Ia mulai memperhatikan kondisi mentalnya, apakah stres, sedih, marah, bosan, senang atau khawatir akibat mengonsumsi berita dan obrolan di grup percakapan tentang korona. Apabila perasaan negatif yang dominan, ia akan mengurangi konsumsi berita dan obrolan di grup percakapan.
Eki (24), warga Depok, Jawa Barat, lebih banyak membaca berita tentang musik dan teknologi untuk mengalihkan pikiran dari pandemi akhir-akhir ini. ”Bosan baca berita dampak buruk korona. Apalagi banyak informasi simpang siur. Malah timbulkan salah persepsi oleh warga,” tutur Eki.
Salah persepsi tersebut, antara lain mengucilkan orang dalam pemantauan (ODP) karena bisa menulari warga di kawasan sekitarnya dan virus mudah mati karena Indonesia daerah tropis.
Ika (24), salah satu orang dalam pemantauan di Kabupaten Tangerang, sedih setelah membaca berita penolakan warga terhadap pemakaman tenaga kesehatan yang meninggal di Jawa Tengah. Apalagi sang ayah positif Covid-19 dan tengah menjalani perawatan di salah satu rumah sakit.
Bahkan, ia sempat berpikir ayahnya akan mengalami hal serupa sehingga berulang kali meminta supaya ayahnya kuat melawan sakit. Kini kondisi ayahnya kian membaik. ”Kepikiran ayah jangan meninggal karena minta ampun perlakuan orang-orang, kok, begini. (Ayah) pokoknya harus sembuh dan buktikan sama orang-orang,” ucap Ika.
Beralihnya warga dari informasi tentang korona terpantau dalam data Google Trends dan tagar populer pengguna Twitter Indonesia. Google Trends, misalnya, tiga besar pencarian pada Senin-Rabu (13-15/4/2020) berturut-turut, streaming TVRI, prakerja.go.id daftar daring, dan vanilla sky sinopsis; Reza Alatas, Tio Pakusadewo, dan Naufal Samudra; iPhone SE, Twindy, prakerja.go.id pendaftaran. Adapun informasi tentang korona hanya pada pencarian Twindy, artis sekaligus dokter yang positif Covid-19.
Tiga besar pencarian terbanyak Kamis (16/4) pukul 16.30 ialah kain tenun sengkang, segitiga, dan gempa hari ini 2020. Adapun lima besar tagar populer Twitter Indonesia, Kamis (16/4) pukul 17.00 ialah #CoronaPublicEnemy, #KamisAmbyar, #PilihPilihShoope, #NationalAnimeDay, dan #titit.
Perasaan-perasaan yang kemudian muncul setelah mengonsumsi berita merupakan kewajaran. Apalagi di tengah situasi pandemi korona. Menurut peneliti media Muhamad Heychael, kondisi psikis warga yang demikian sangat wajar dalam krisis karena insting pertama manusia adalah mencari tahu kapan krisis akan berakhir. Persoalan yang kemudian muncul ialah bagaimana media menyikapi situasi krisis seperti saat ini.
”Jangan sampai jatuh pada bias konfirmasi. Media tetap berada di tengah-tengah penjelasan mengenai dampak krisis sekaligus memberi kabar terkini perkembangan pandemi. Intinya jangan sampai memberikan harapan palsu dalam memproduksi berita,” kata Heychael.
Pemberitaan media di Tanah Air tentang pandemi lebih banyak menonjolkan politisi sebagai sumber utama informasi. Padahal, perspektif keilmuan dibutuhkan untuk mengatasi persoalan pandemi. Sayangnya, proporsi ini masih kalah banyak dibandingkan dengan konten lain.
Heychael menilai, suara ahli atau pakar minim karena sudut pandang yang dominan dalam melihat pandemi ini adalah politik dan ekonomi. ”Seharusnya pandemi mengajari porsi kesehatan publik setara dengan politik dan ekonomi. Kalau ada pelajaran pascakrisis untuk media, itu adalah soal perhatian pada kesehatan publik,” ujarnya.
Jurnalisme saat pandemi juga menghadapi tantangan menggabungkan kritik dan membangkitkan harapan. Kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah menghadapi pandemi dan membangkitkan harapan bahwa dengan bersama-sama masalah ini dapat terselesaikan.
”Media tetap kritis karena banyak kekurangan pemerintah, mulai dari komunikasi hingga antisipasi. Akan tetapi, tidak berlebihan dan didramatisasi karena akan membangun ketakutan dan keresahan di akar rumput,” tutur Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo.
Pers Indonesia, lanjut Agus, diuji untuk tidak sekadar mengkritik, tetapi juga memperhatikan kondisi warga yang jenuh, takut, waswas, penuh prasangka. Contohnya, memberitakan tentang jenazah positif Covid-19 tidak akan menularkan virus selama dimakamkan sesuai ketentuan protokol kesehatan. Kemudian, berita tentang inisiatif warga bantu warga dengan tetap memerhatikan jaga jarak dan mengenakan masker.
Agus tidak memungkiri bahwa kualitas jurnalisme menurun karena jurnalis bekerja dari rumah dan jaga jarak sehingga kurangnya penggambaran kondisi lapangan. Namun, hal tersebut bukan alasan bias informasi. Misalnya, judul tidak sesuai fakta, berlebihan, dan menghakimi. ”Siasati dengan uji kebenaran informasi, akurasi, berbicara sesuai fakta, dan keberimbangan,” ujarnya.