Pandemi Covid-19 memutus rezeki para tunanetra. Sehari-hari mereka mencari penghasilan secara mandiri, tidak ingin hidup dari belas kasihan. Hanya ketika menghadapi Covid-19 kali ini mereka meminta tolong.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
Para tunanetra mencoba bertahan di tengah kepungan kebutuhan hidup dan pandemi Covid-19. Selama ini mereka menyambung hidup berkat keahlian yang mereka miliki. Namun, Covid-19 merenggut pendapatan harian mereka. Hanya kali ini mereka meminta tolong.
Mereka bukanlah orang-orang malas yang setiap hari bertahan hidup dengan menengadahkan tangan meminta belas kasihan dari orang-orang sekitar. Sebanyak puluhan orang tunanetra yang tergabung di bawah Yayasan Himpunan Masyarakat Tunanetra (Himatra), sebuah yayasan sosial kemanusiaan di Tangerang Selatan, ini dididik untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri.
Mereka berasal dari sejumlah daerah, seperti Banten, Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat. Sehari-hari, para tunanetra itu mencari penghasilan dengan menjadi tukang pijat, berjualan kerupuk, dan juga mengamen. Yayasan Himatra membantu para tunanetra mengasah keterampilan yang mereka miliki. Bermacam-macam pelatihan diajarkan kepada anggota.
”Ada 30 kepala keluarga tunanetra yang tergabung di sini. Yayasan membekali mereka dengan keterampilan. Mayoritas bekerja sebagai tukang pijat,” kata Sekretaris Yayasan Himatra Darmudi, dihubungi Minggu (6/4/2020).
Dengan bekal keahlian tersebut, para tunanetra kemudian menyebar mengais rezeki. Kebanyakan dari mereka beroperasi di wilayah Tangerang Selatan. Ada juga yang mengamen sembari menawarkan jasa pijat di Tanah Abang.
Pandemi Covid-19 mengubah kehidupan mereka. Pendapatan tidak lagi sebanyak dulu. Masyarakat kini membatasi diri bepergian ke luar rumah. Pasar, terminal, dan tempat-tempat keramaian lain menjadi sepi. Kondisi ini berdampak pada penghasilan para tunanetra tersebut.
Salah seorang tunanetra, Firman (30), mengisahkan, sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, ia bisa memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan istri dari menawarkan jasa pijat. Dalam sehari, Firman bisa mengantongi hingga Rp 120.000. Sekali pijat, ia mematok tarif antara Rp 50.000-Rp 60.000. Uang tersebut ia gunakan untuk kebutuhan dapur keluarga dan sisanya ia tabung.
”Dalam sehari bisa dapat dua panggilan pijat,” ujar Firman.
Sepinya panggilan jasa pijat ia rasakan sejak sebulan terakhir. Di samping menawarkan jasa pijat, ia dan istri juga berkeliling berjualan kerupuk. Pandemi Covid-19 memutus rezeki mereka.
Sepinya panggilan jasa pijat ia rasakan sejak sebulan terakhir. Di samping menawarkan jasa pijat, ia dan istri juga berkeliling berjualan kerupuk. Pandemi Covid-19 memutus rezeki mereka.
Tempat-tempat keramaian yang biasa ia datangi untuk berdagang atau menawarkan jasa pijat kini sepi. Akibatnya, saat ini ia dan istrinya tidak memiliki penghasilan sama sekali.
Terpaksa berutang
Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Firman yang tinggal di sekitar Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan, ini terpaksa berutang. Ia bersyukur para tetangga rumah kontrakannya berbaik hati memberikan pinjaman uang. Meski kemudian, uang pinjaman itu sudah langsung habis untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
”Istilahnya saya gali lubang tutup lubang. Bingung juga hari-hari ini selalu tidak ada penghasilan,” katanya.
Di samping urusan makan, Firman tidak tahu di mana lagi harus mencari uang untuk membayar kontrakan. Oleh karena itu, Firman mencoba mengutarakan kesulitan yang ia alami kepada pemilik kontrakan. Beruntung bagi Firman, sejauh ini pemilik kontrakan memaklumi kondisi Firman.
Segala daya dan upaya sudah coba ia lakukan untuk mendapatkan penghasilan. Kepada kerabat dan orang-orang sekitar, Firman lebih gencar menawarkan jasa pijat. Namun, Covid-19 membuat orang-orang belum berani banyak berinteraksi fisik langsung dengan orang asing.
Situasi itu, kata Firman, juga dialami rekan-rekannya di Yayasan Himatra. Mereka sudah mengomunikasikan kesulitan itu terhadap Yayasan Himatra. Pihak yayasan, kata Darmudi, telah berusaha mencari bantuan dengan memohon bantuan melalui media sosial. Upaya lain termasuk menghubungi Dinas Sosial Tangerang Selatan juga telah ditempuh.
Atas kondisi ini, Firman mengaku pasrah. Ia dan rekan-rekannya hanya bisa berharap situasi kembali normal.
Kepala Dinas Sosial Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman mengatakan telah mengetahui kesulitan yang dialami para tunanetra di wilayahnya. Dinsos Tangsel mencatat ada 36.162 keluarga rentan dan disabilitas yang dijamin bantuan oleh pemerintah.
Wahyunoto menyampaikan, Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah menyiapkan jaring pengaman sosial bagi masyarakat difabel. Selain dari Pemkot Tangsel, program bantuan juga datang dari Kementerian Sosial.
Hanya, kata Wahyunoto, pencairan bantuan masih menunggu percepatan realisasi. Selain itu, bantuan diutamakan bagi tunanetra yang ber-KTP Tangerang Selatan.
Hanya, pencairan bantuan masih menunggu percepatan realisasi. Selain itu, bantuan diutamakan bagi tunanetra yang ber-KTP Tangerang Selatan.
”Tadinya rencana realisasi dilakukan Juni. Ini sedang kami upayakan proses untuk dipercepat untuk penyandang disabilitas,” kata Wahyunoto.
Hingga waktu pencairan bantuan pemerintah tiba, Firman masih harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Selama menjadi tunanetra tidak pernah baginya terpikir untuk hidup dari belas kasihan. Hanya untuk kali ini saja ia memohon bantuan.