Pembatasan Akses ke Perumahan Warga, Tantangan bagi Ikatan Sosial Kita
Demi mencegah penyebaran Covid-19, warga menutup akses jalan ke pemukiman mereka. Jika berlangsung lama, pembatasan akses berpotensi mendegradasi sikap keterbukaan menjadi kecurigaan akan orang lain.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang meluas membuat warga khawatir. Kekhawatiran itu lantas ditunjukkan oleh sebagian kalangan dengan menutup akses ke perumahan atau gang permukiman. Penutupan jalan itu sekaligus melarang orang di luar warga setempat untuk masuk atau melintas. Fenomena ini, dalam waktu lama, menjadi tantangan bagi ikatan sosial masyarakat.
Gang di Jalan Rawa Belong, Palmerah, Jakarta Barat, Senin (6/4/2020), terlihat tutup. Di gang berukuran 2 meter itu tertera pengumuman yang menyatakan selain warga setempat dilarang masuk.
Pengemudi ojek daring Eko Setianto (26) menjelaskan, penutupan akses hampir terjadi di semua kompleks perumahan warga. Dia mengantar penumpang hanya sampai batas penutupan. Begitu juga halnya ketika mengantar makanan.
”Kalau mengantar orang atau barang hanya sampai portal. Kalau jemput penumpang juga begitu,” katanya ketika ditemui di Pasar Palmerah, Senin siang.
Eko memahami aturan tersebut. Dia tidak keberatan sebab di rumahnya di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, hal itu juga berlaku. Dari lima akses menuju rumah Eko, sekarang hanya satu akses yang tersedia. Itu pun hanya digunakan untuk mobilitas warga setempat.
”Kalau situasinya begini, saya menurut saja. yang penting masih ada order,” katanya.
Di Kelurahan Pancoran, Jakarta Selatan, karyawan swasta, Asih Anggraini (24), memulai kebiasaan baru sejak 1 April kemarin. Dia harus berjalan sekitar 50 meter dari indekos menuju pintu gang yang ditutup saat memesan ojek daring. Begitu juga saat memesan makanan.
”Di tengah work from home (WFH) begini, penutupan ini kadang bikin repot. Kalau mesan makanan daring malam-malam, ya, harus keluar gang dulu,” katanya.
Pembatasan serupa juga terjadi di Kelurahan Johar Baru, Jakarta Pusat. Warga setempat, Marlinda (59), menjelaskan, larangan terhadap ojek daring masuk kompleks membuat bisnis adiknya terganggu. Adiknya pedagang makanan yang menggelar lapak di media sosial.
”Kalau pesanan lagi banyak, dia capai harus bolak-balik dari rumah ke depan portal,” katanya.
Marlinda menyadari bahwa hal ini bertujuan untuk melindungi warga dari penularan virus korona baru. Namun, alangkah baiknya ojek daring tidak dilarang. ”Ojek daring itu, kan, enggak nongkrong lama. Sehabis ngantar atau jemput mereka langsung balik,” ujarnya.
Meski demikian, warga Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, Zaki (45), menilai, pembatasan akses menuju kompleks bertujuan untuk melindungi warga. Dengan pembatasan tersebut, keramaian di kompleks bisa ditekan.
”Karena kalau sampai ada yang tertular, seluruh kampung bisa kena. Dampaknya, kan, ke kita juga,” katanya.
Mengenai terhambatnya aktivitas warga, Zaki mengatakan, hal itu menjadi risiko untuk mengantisipasi Covid-19. Dia sendiri juga terdampak. Covid-19 membuat dia kehilangan pekerjaan. ”Saya baru seminggu jadi sopir pribadi di Bogor. Lalu diberhentikan karena bos saya khawatir tertular Covid-19. Semua orang terkena dan menderita oleh virus ini. Kita tak boleh egois,” ujarnya.
Degradasi capaian
Pengajar filsafat di Universitas Pelita Harapan, F Budi Hardiman, menjelaskan, fenomena pembatasan akses menuju kompleks tak lepas dari informasi yang diterima masyarakat. Gencarnya pemberitaan mengenai Covid-19, dalam batas tertentu, membawa dampak psikologis ke masyarakat.
”Kematian sebetulnya terjadi setiap hari, tetapi tidak semua kematian diberitakan. Pemberitaan kematian akibat Covid-19 serta pertumbuhan angkanya yang bisa dilihat di statistik mempunyai efek teror terhadap warga meskipun hal itu merupakan tanggung jawab ilmiah pemerintah untuk melaporkan,” ujarnya.
Di sisi lain, informasi mengenai penularan virus ini terus berubah. Awalnya pemerintah menyatakan bahwa masker hanya digunakan bagi yang sakit. Kemudian, pemerintah mengubah kebijakan itu dengan menyatakan bahwa masker untuk semua orang.
”Kebijakan semua pakai masker memberi kesan bahwa penularan bisa lewat udara. Sebagian besar ketakutan itu karena kita tidak paham secara ilmiah lewat apa sebetulnya virus ini menular. Lalu warga berinisiatif mengambil sikap ekstrem: membatasi atau menutup sama sekali akses menuju perumahan. Tetapi, itu, kan, merugikan, mustahil kita akan begini terus dengan menutup diri terhadap dunia luar,” katanya.
Semua sikap yang terbangun lewat proses modernisasi, seperti keterbukaan dan kemauan untuk menjalin kontak dengan lain, merosot akibat ketakutan ke level paling mendasar, yakni rasa takut terhadap orang dari kelompok lain.
Dia melanjutkan, fenomena pembatasan tersebut berefek buruk jika berlangsung dalam jangka panjang. Di tengah masyarakat akan terbangun mentalitas isolasi yang tak hanya untuk menghindari Covid-19, melainkan juga berkembang sikap yang berangkat dari rasa curiga terhadap orang di luar kompleks.
”Ini mendegradasi capaian kita sebelumnya, yakni globalisasi, nasionalisasi, dan urbanisasi. Intinya semua sikap yang terbangun lewat proses modernisasi, seperti keterbukaan dan kemauan untuk menjalin kontak dengan lain, merosot akibat ketakutan ke level paling mendasar, yakni rasa takut terhadap orang dari kelompok lain,” tuturnya.