Karantina Wilayah Skala Kecil Masih Dibutuhkan Warga
Karantina wilayah dalam skala kecil masih dibutuhkan warga karena kebijakan yang berjalan selama ini belum efektif menghadang virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat memutuskan pembatasan sosial berskala besar sebagai langkah penanganan pandemi Covid-19. Berbekal sedikit informasi mengenai hal ini, sebagian warga menanti langkah konkret kebijakan itu. Untuk sementara, warga masih memerlukan karantika skala kecil untuk menghindari serangan virus.
Presiden Joko Widodo mengumumkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Setidaknya ada dua pasal yang menjadi sorotan dalam peraturan tersebut. Pertama, Pasal 4 terkait teknis peraturan yang menyebutkan pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, serta pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Pembatasan kegiatan harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk serta memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Menurut Andris (31), warga Menteng Dalam, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, peraturan tersebut sama seperti kebijakan sebelumnya yang kurang teknis sehingga sulit dipahami banyak orang. Dibutuhkan langkah taktis untuk menggerakkan seluruh instrumen negara, seperti memastikan semua warga patuh berdiam di rumah, memastikan distribusi kebutuhan dasar untuk mereka yang terdampak dan rentan, serta pengamanan distribusi logistik kebutuhan pokok.
”Memang pemerintah harus tegas, termasuk membatasi ruang gerak di tengah pandemi. Caranya memaksimalkan instrumen yang ada,” ucap Andris.
Ketentuan berikutnya yang dia soroti ialah Pasal 6 tentang mekanisme pembatasan sosial berskala besar. Pemberlakuannya diusulkan kepala daerah kepada menteri kesehatan. Menteri menetapkannya dengan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ketua gugus juga dapat mengusulkan pembatasan sosial berskala besar di wilayah tertentu. Apabila disetujui, kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan pembatasan sosial berskala besar.
Sebagian warga berpendapat sanksi tegas dibutuhkan untuk menegakkan pembatasan sosial berskala besar. Sebab, selama pembatasan sosial, masih banyak warga berkerumun sehingga rentan terjadi penularan virus. Di sisi lain, warga kesulitan melaksanakan pembatasan sosial di permukiman padat penduduk.
Alhasil warga berinisiatif melakukan karantina wilayah dalam skala kecil mulai dari rukun warga hingga rukun tetangga. Setidaknya itu berlaku di RW 002 dan 004 Kramatjati, Jakarta Timur. Karantina wilayah dalam skala kecil berlangsung di daerah lain. ”Masih susah untuk pembatasan sosial. Apalagi yang tinggal di kontrakan dengan fasilitas mandi, cuci, kakus bersama-sama. Kalau seperti itu, bagaimana mau dibatasi,” tutur Darma, anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan Kramatjati.
Karantina wilayah dalam skala kecil tak terelakkan karena setiap wilayah punya tingkat kerentanan berbeda sehingga tidak bisa sekadar pembatasan. Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Na Endi Jaweng, pembatasan sosial berskala besar dipilih lantaran ketiadaan sumber daya untuk pengawasan. Padahal, kebutuhan di lapangan mengarah kepada karantina wilayah.
”Situasi yang ada di level warga, kan, seperti itu (karantina wilayah). Tetapi, secara hukum dipilih pembatasan sosial. Harus ada komunikasi yang baik agar terbangun kesadaran bersama dan konsekuensi dari keputusan itu harus ada dukungan dan jaminan keamanan,” papar Robert.
Untuk itu, peraturan pemerintah harus dilanjutkan dengan pedoman agar daerah dapat mengetahui detailnya. Di sisi lain, pengawasan, penegakan, dan membangun kesadaran wajib dilakukan dengan ketat.
Ujian sesungguhnya dari peraturan pemerintah itu ada di lapangan. Bagaimana pengawasan dan instrumen pendukungnya bekerja hingga kesadaran warga sebagai baris depan.
Robert mengatakan, seharusnya pusat dan daerah sejalan dalam kebijakan kewilayahan. Karantina wilayah, misalnya, merupakan kewenangan pusat dengan pertimbangan hal krusial berdasarkan usul daerah. ”Pemerintah pusat bisa memberikan kewenangan diskresi kepada daerah untuk mengambil kebijakan berdasarkan situasi wilayah,” ujarnya.
Contohnya Jabodetabek sebagai episentrum Covid-19. Seharusnya pengawasan berlangsung lebih ketat. Salah satunya pengawasan terhadap perantau yang mudik dapat dilakukan lebih awal sebab mereka kemungkinan menjadi pembawa SARS-CoV-2.
Semuanya, menurut Robert, dapat berjalan dengan koordinasi antara pusat, daerah, dan antardaerah. ”Jangan biarkan begitu saja warga mudik. Ada upaya pencegahan supaya daerah tujuan tidak terbebani. Apalagi daerah asal pemudik biasanya punya tingkat ekonomi dan sumber daya yang rendah,” tuturnya.
Ombudsman Republik Indonesia dalam sarannya ke pemerintah terkait pembatasan sosial berskala besar juga meminta pemerintah mengantisipasi kemungkinan karantina wilayah.
Pemerintah tetap mencermati secara terukur, mengantisipasi, dan mempersiapkan kemungkinan daerah harus masuk tahap karantina wilayah dan percepatan mekanisme pengendalian sosial. Kemudian, pemerintah menunjuk institusi pengelola jaringan logistik, mempersiapkan rencana mitigasi dan prosedur standar operasi pengamanan rantai pasok apabila karantina wilayah diterapkan, termasuk kesiapan skema pelibatan jaringan kerja industri logistik, serta tranportasi dan jaringan retail yang telah ada.
Sementara kepada pemerintah daerah disarankan agar segera menerapkan langkah-langkah prioritas pembatasan sosial berskala besar dan tetap mempersiapkan rencana mitigasi untuk mengantisipasi kemungkinan karantina wilayah sesuai perkembangan situasi.
Saran
Ombudsman juga menyarankan Presiden mengingatkan para menteri dan pimpinan lembaga untuk memperhatikan keseimbangan prioritas antara program sektor kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi secara konsisten agar pemanfaatan sumber daya tidak bias.
Selanjutnya memastikan skema yang diterapkan tidak terkendala oleh identitas domisili berdasarkan kartu tanda penduduk mengingat banyak pekerja informal memiliki kartu tanda penduduk di daerah asal.
Terakhir, melakukan investigasi dan memberikan sanksi tegas kepada para pemegang otoritas yang lalai dan turut serta mempermudah masuknya warga negara asing yang tidak sesuai ketentuan selama diterapkan pembatasan sosial.