Kebingungan Warga di Tengah Instruksi Pembatasan Skala Besar
Keputusan untuk menerapkan pembatasan sosial berskala besar masih memicu kesimpangsiuran di kalangan warga. Sebagian dari mereka masih belum memahami konsep pembatasan ini, apalagi hingga dilakukan dalam skala besar.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Salah satu sudut gang di Kelurahan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak sepi meski dipadati hunian yang saling berimpit. Meski di tengah kesepian itu, di sebagian sisi jalan gang tetap terdengar riuh suara televisi serta obrolan beberapa orang dari dalam rumah.
Selasa (31/3/2020) siang, Kunaenah (52), salah seorang penghuni gang di sana, memutuskan tidak keluar rumah selain untuk ke pasar saja. Hal serupa dilakukan ibu-ibu tetangga sesama anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) RW setempat. Alasan warga tidak keluar rumah adalah instruksi pemerintah untuk mengurangi aktivitas bepergian karena persebaran virus SARS-CoV-2 penyebab pandemi Covid-19.
Bagi Kunaenah, tidak mudah untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Berdiam di rumah selama hampir tiga pekan, perempuan yang mengajar untuk sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini kesulitan menjalani proses pembelajaran daring. Kesulitan yang paling ia rasakan adalah untuk memonitor tugas siswa. Belakangan, dia harus membeli kuota internet ekstra untuk mengirim video penjelasan materi melalui aplikasi percakapan Whatsapp.
Kemudian, baru Selasa ini, Kunaenah mendengar kabar pemerintah akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) disertai status darurat kesehatan masyarakat. Presiden Joko Widodo dalam telekonferensi di Istana Kepresidenan Bogor, Senin, menekankan pembatasan jarak fisik yang lebih tegas, disiplin, dan efektif. Instruksi tersebut sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, ”Pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, bisa dilakukan tindakan seperti karantina rumah, wilayah, rumah sakit, atau pembatasan sosial berskala besar”.
Pembatasan berskala besar yang dimaksud setidaknya meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum (Kompas, 30/3/2020). Mendengar penjelasan langkah pembatasan tersebut, Kunaenah sulit membedakan pembatasan sosial yang berlaku saat ini dengan pembatasan yang akan berlaku nanti.
”Saya kurang paham dengan istilah pembatasan skala besar tersebut. Apa hal yang berbeda dari pembatasan yang berlaku sekarang? Selama ini tidak ada instruksi dari pengurus warga dan kelurahan, sebagian warga juga berdiam di rumah karena takut terpapar Covid-19,” ujar perempuan dua anak ini.
Kebingungan Kunaenah dan sejumlah warga RW 007 Karet Tengsin dapat dipahami. Sebab, pemahaman mengenai pembatasan sosial berskala besar yang diinstruksikan pemerintah hingga kini belum spesifik menjelaskan pembatasan yang berkaitan dengan aktivitas warga.
Kesimpangsiuran pemahaman warga pun bertambah seiring jumlah pasien positif Covid-19 yang terus meningkat. Per 31 Maret, jumlah pasien positif Covid-19 mencapai 1.528 orang dengan jumlah 136 orang meninggal. Dari jumlah ribuan kasus, 757 pasien dalam pantauan berada di wilayah Jakarta, menurut data situs Corona.jakarta.go.id per 31 Maret pukul 18.00.
Informasi terkait pembatasan sosial berskala besar di kalangan warga pun akhirnya menjadi simpang siur. Di RW 001 Kelurahan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, misalnya, warga sulit memahami beda pembatasan sosial skala besar dan pembatasan yang sebelumnya. Ketua RW 001 Cikini Hanafi malah menilai pembatasan itu hanya bersifat imbauan yang tidak tegas.
”Saya dan warga di sini sebenarnya bingung soal pembatasan sosial itu. Karena warga berpikiran langkah tersebut belum cukup efektif, akhirnya Minggu (29/3/2020) kemarin, warga sepakat melakukan karantina mandiri khusus untuk wilayah RW 001,” ujar Hanafi.
Permukiman padat
Jangankan terkait instruksi pembatasan sosial, kebijakan menjaga jarak saja masih sulit diterapkan di sebagian wilayah permukiman padat di Jakarta. Di RW 005 Krukut, Taman Sari, Jakarta Barat, misalnya, sejumlah warga masih berkumpul tanpa batasan jarak fisik di sekitar permukiman.
Eka (39), warga setempat, bercerita, instruksi untuk jaga jarak belum dijalankan secara tegas oleh pengurus RT dan RW di Kelurahan Krukut. Ditambah lagi, kesadaran warga minim meski terdapat sejumlah papan pengumuman mengenai cara penularan Covid-19.
Pernyataan Eka pun terbukti. Pada Selasa sore, sejumlah warga masih berkumpul untuk melaksanakan pengajian bersama. Hidayat (31), warga lain, menyatakan, pengajian tersebut masih rutin berjalan setidaknya selama dua pekan terakhir.
Sosiolog Universitas Indonesia, Paulus Wirutomo, menilai, pemerintah masih belum menuntaskan tugas penyampaian pembatasan sosial. Menurut dia, terminologi pembatasan sosial selama ini belum terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah.
Paulus meningatkan, tanpa upaya ekstra untuk mengingatkan warga, instruksi pembatasan skala besar sekalipun tidak akan tercapai. Selama ini, pendekatan sosialisasi berbasis komunitas yang dilakukan pemerintah, terutama di wilayah Jakarta, belum berlangsung efektif. ”Kawasan permukiman padat ini butuh perhatian ekstra karena mengaturnya sudah pasti sulit. Semua elemen masyarakat mesti terlibat dan semuanya harus memahami bahaya Covid-19,” katanya.
Ia juga menyarankan, instruksi pembatasan sebaiknya berlangsung secara praktis. Dalam taraf tertentu, sebagian warga sulit memahami terminologi pembatasan sosial. Informasi akan lebih mudah dimengerti apabila memakai istilah lebih mudah, misalkan jaga jarak. Alasan mengapa harus menjaga jarak pun perlu disampaikan secara mendetail.
Ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono, menilai, pembatasan sosial berskala besar bukanlah kebijakan yang progresif. Pandu menduga, pemerintah saat ini menghindari dampak kelumpuhan ekonomi selama masa karantina. Ia menambahkan, tanpa langkah progresif seperti karantina wilayah, warga kini harus bersiap menghadapi kondisi terburuk. Sebelumnya, Iwan Ariawan, Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril dari FKM UI telah membuat pemodelan dengan sejumlah skenario terkait penanganan Covid-19.
Skenario terburuk, yakni jika tanpa intervensi, orang yang terinfeksi Covid-19 dengan kategori parah sehingga butuh layanan rumah sakit bisa mendekati 2,5 juta orang pada pertengahan Mei 2020. Dengan intervensi seperti saat ini, yakni melalui anjuran menjaga jarak sosial dan membatasi kerumunan massal dengan cakupan rendah, masih bisa terjadi 1,8 juta orang yang harus dirawat.
Sementara itu, intervensi moderat melalui tes massal dengan cakupan rendah serta praktik pembatasan sosial melalui penutupan seluruh kegiatan sekolah dan bisnis, orang yang butuh dirawat karena Covid-19 mencapai 1,2 juta orang. Lain lagi apabila pemerintah menerapkan intervensi tertinggi, yaitu karantina wilayah untuk membatasi pergerakan dan dengan tes massal skala luas, orang yang butuh perawatan intensif mencapai 600.000 orang.
Dengan sejumlah kondisi tersebut, semua pilihan saat ini ada di tangan pemerintah. Sejauh mana keseriusan untuk menangani wabah Covid-19, apa dengan intervensi penuh atau berpuas dengan intervensi seperti saat ini saja.