Meski masih dalam bentuk komunitas-komunitas kecil, kesadaran merawat dan menjaga sungai mulai disadari masyarakat. Bagi mereka, agar hidup nyaman, sungai perlu dijaga.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
Bertahun-tahun menderita akibat luapan banjir menyadarkan masyarakat bantaran sungai untuk berbenah. Sungai disadari sebagai sumber kehidupan yang semestinya dilestarikan agar tidak menjadi bencana yang memorakporandakan kehidupan manusia.
Warga bantaran Sungai Cileungsi, terutama di Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi, sudah akrab dengan bencana. Pada saat musim hujan rumah mereka rentan kebanjiran. Sementara itu, pada saat musim kemarau, mereka harus hidup dibayangi aroma busuk limbah industri yang menguar dari sungai.
Ketua Komunitas Peduli Sungai Cileungsi Cikeas (KP2C) Puarman, Minggu (29/3/2020), di Bekasi, Jawa Barat, mengatakan, bencana yang rutin dialami masyarakat bantaran Sungai Cileungsi menumbuhkan kesadaran untuk saling mengingatkan. Di setiap musim hujan, setiap warga saling mengingatkan untuk segera memindahkan barang dan melakukan evakuasi jika tinggi muka air di hulu Cileungsi tinggi.
”KP2C punya petugas dan CCTV (kamera pemantau) di hulu Cileungsi. Jadi begitu ada kenaikan tinggi muka air di hulu sungai, masyarakat kami berikan informasi,” kata Puarman.
Peringatan itu diberikan kepada 10.400 anggota KP2C agar enam jam sebelum banjir tiba, masyarakat sudah mengambil keputusan untuk evakuasi dan memindahkan barang-barang jika terjadi banjir. Peringatan itu bermanfaat bagi warga karena sebagian besar warga bekerja jauh dari rumah sehingga jika tidak diingatkan peralatan dalam rumah akan ikut terendam banjir.
Komunitas ini selain memberikan peringatan dini banjir atau yang disebut dengan misi kebencanaan, ada juga misi pelestarian. Cara yang dilakukan KP2C untuk menjaga sungai tidak tercemar, yakni melaporkan kepada pemerintah daerah jika terjadi perubahan warna air di musim kemarau.
”CCTV yang kami miliki di musim kemarau kami manfaatkan untuk memantau warna air sungai. Kalau air sungai berubah, sudah ada indikasi awal ada pencemaran,” katanya.
Hasil pemantauan dan pelaporan indikasi pencemaran Sungai Cileungsi mulai membuahkan hasil. Pada 20 September 2019, Ombudsman Jakarta Raya merilis laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) dalam rangka percepatan penanganan pencemaran Sungai Cileungsi. Dari hasil inspeksi mendadak dan investigasi, Ombudsman Jakarta Raya menemukan kalau Sungai Cileungsi masih tercemar hingga Agustus 2019. Dalam data Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KHLK disebutkan, pencemaran Sungai Cileungsi diduga dilakukan oleh 54 perusahaan.
”Sungai Cileungsi itu limbah yang paling dominan itu limbah industri. Pencemaran kedua dari limbah domestik, tetapi tidak terlalu signifikan,” kata Puarman.
Ia menambahkan, persoalan di Cileungsi sudah mendapat perhatian dari pemerintah. Sebab, ada rencana untuk membangun Bendungan Narogong di hulu Cileungsi dengan tujuan memenuhi defisit air minum antara Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.
”Tetapi nanti air dari bendungan itu akan dialirkan pakai apa. Kalau melalui sungai, kuncinya sungai harus dibersihkan dulu,” kata Puarman.
Jalur nelayan tradisional
Kesadaran untuk menjaga kelestarian sungai juga gencar dikampanyekan Komunitas Muaragembong Kita di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Komunitas yang awalnya didirikan dengan tujuan memperkenalkan ke masyarakat luar tentang Muara Gembong itu kini aktif menyosialisasikan kepada warga untuk hidup bersih dengan memperhatikan kebutuhan sanitasi yang layak.
Pendiri komunitas Muaragembong Kita, Yusuf Maulana, mengatakan, salah satu kegiatan sosial yang dilakukan itu yakni pembangunan toilet umum dan sarana air bersih bagi warga Kampung Beting yang bekerja sama dengan mahasiswa, sukarelawan, dan lembaga-lembaga sosial untuk mengampanyekan kebiasaan hidup bersih dengan tidak buang air besar di sungai.
Menurut Yusuf, sebelum tahun 2017, masyarakat di Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, yang berjumlah sekitar 1.000 jiwa memanfaatkan Sungai Muara Beting—anak Sungai Citarum—untuk buang air besar dengan membangun jamban-jamban tradisional yang saluran pembuangannya langsung dialirkan ke sungai.
Situasi itu selain mencemari sungai juga mempersempit jalur sungai yang sejatinya merupakan jalur perahu nelayan tradisional.
”Di tahun 2017, kami bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Seacology melalui programnya, Sanitation and Water Tank, membangun toilet umum dilengkapi dengan tempat mencuci. Akhirnya dimanfaatkan dan secara pelan-pelan masyarakat sadar untuk tidak lagi buang kotoran di sungai,” katanya.
Sampai saat ini, Komunitas Muaragembong Kita terus mengedukasi warga setempat untuk mengubah kebiasaan buang kotoran di sungai. Salah satu cara yang dilakukan itu, yakni membangun taman belajar masyarakat.
”Kami fokusnya lebih ke literasi anak-anak karena wilayah itu kritis, mulai dari abrasi dan rob. Jadi, anak-anak itu kami berikan literasi untuk membiasakan hidup bersih dengan harapan akan menular ke orangtua mereka masing-masing,” katanya.