Warga Dukung Karantina Wilayah Episentrum Covid-19
Warga mendukung karantina wilayah episentrum penyebaran virus korona SARS-Cov-2. Dukungan ini disampaikan agar kasus tidak meluas ke daerah lain dengan syarat ada jaminan logistik selama masa karantina.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana karantina wilayah episentrum virus korona jenis baru menguat seiring meningkatnya kasus positif Covid-19. Warga mendukung wacana ini asalkan ada jaminan logistik selama masa karantina.
Anastasya (27), pekerja kantoran di Jakarta Selatan, cemas dengan kondisi Jakarta dan sekitarnya saat ini. Apalagi nyaris setiap hari terdengar lalu lalang ambulans di sekitar kawasan indekosnya.
Rasa-rasanya ingin segera mengungsi dari Jakarta. Tetapi, apa daya, dia khawatir menjadi pembawa virus kepada orang lain. ”Rusuh enggak kalau karantina wilayah, nanti warga rebutan bahan makanan. Perkara telur sama beras bisa ribut sampai baku hantam,” ujar Anastasya.
Untuk itu, kata Anastasya, pemerintah harus menjamin bantuan, ketersediaan, dan pasokan logistik kepada warga kalau menerapkan karantina wilayah.
Demikian juga dengan Liam (30), pengojek daring. Dia setuju pemberlakuan karantina wilayah selama pemerintah menjamin kebutuhan sehari-hari warga. ”Kalau pemerintah sudah memberlakukan kebijakan itu, sebagai warga negara akan patuh. Asal kebutuhan pangan tercukupi dan terjamin. Ojek daring tetap bekerja karena ada kebutuhan pangan yang harus dipenuhi dan itu mutlak,” ucap Liam.
Hal yang sama diutarakan Alin (31), orangtua tunggal di Kemayoran, Jakarta Pusat. Karantina wilayah tanpa bantuan dari pemerintah akan menyulitkan pekerja harian seperti dirinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Kalau ada insentif, bisa diterapkan,” kata Alin.
Saran karantina wilayah juga datang dari Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penutupan wilayah atau provinsi terjangkit infeksi Covid-19 selama minimal 14 hari diharapkan dapat memutus rangkaian penularan infeksi dan memudahkan penghitungan kebutuhan sumber daya untuk penanganan di rumah sakit.
Karantina wilayah menjadi pilihan karena Dewan Guru Besar FKUI melihat pembatasan sosial belum konsisten diterapkan. Warga masih memadati transportasi publik, tempat wisata, sebagian perkantoran, tempat makan, taman terbuka, dan pusat perbelanjaan.
Menurut Dewan Guru Besar, pada 3,5 pekan pertama, penutupan wilayah dapat mengurangi 81,3 persen kasus infeksi ekspor. Penurunan ini sangat berguna untuk daerah yang belum atau minimal terjangkit untuk melakukan koordinasi sistem kesehatan. Sebab, melandaikan kurva dan memperlambat proses penularan Covid-19 merupakan hal paling krusial karena sistem kesehatan saat ini belum mampu menerima beban kasus infeksi Covid-19 yang masif.
Pemerintah juga diharapkan menghitung biaya dengan cermat untuk menjamin hajat hidup minimal warga miskin selama dua pekan karena kegiatan perekonomian akan lumpuh total. Jakarta, misalnya, melakukan penutupan wilayah dengan penduduk 9,6 juta jiwa. Keperluan untuk makan tiga kali sehari dengan total Rp 25.000 (untuk membeli beras dan tahu) menghabiskan Rp 240 miliar, kebutuhan listrik Rp 4.543 menghabiskan Rp 43 miliar, kebutuhan air Rp 735 menghabiskan Rp 7 miliar.
Salah satu warga berstatus orang dalam pemantauan di Jakarta Selatan setuju karantina wilayah berkaca dari pengalamannya ketika memeriksakan diri di salah satu rumah sakit.
Menurut dia, layanan kesehatan tidak siap menghadapi banyaknya warga yang memeriksakan diri dan kebingungan dalam melakukan tindakan. Alhasil dia seperti diping-pong ke sana kemari. ”Setuju saja karantina wilayah jika pemerintah memperhatikan dan menjamin kesejahteraan dan kebutuhan warga. Kalau belum siap, mending disiapkan secara matang,” tutur pria berusia 35 tahun itu.
Sementara Nana (25), pekerja kantoran di Jakarta Pusat, merasakan tidak maksimalnya pembatasan sosial. Padahal, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan imbauan untuk bekerja dari rumah dan meminimalkan kegiatan.
Nyatanya, masih ada interaksi satu sama lain karena tidak semua mengikuti imbauan gubernur. Bahkan, polisi meningkatkan intensitas patroli untuk membubarkan kerumunan. ”Pembatasan sosial tidak maksimal karena masih ada warga yang keluyuran. Kalau pemerintah tidak tegas, Covid-19 bakal meluas dan penanganannya lama,” ujar Nana.
Karena itu, Nana setuju pemerintah menerapkan karantina wilayah. Akan tetapi, penerapannya dibarengi sanksi apabila ada yang melanggar. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan kecukupan kebutuhan sehari-hari selama karantina dan penyaluran yang tepat.
Hingga Jumat (27/3/2020) sore, laman resmi pemerintah tentang situasi Covid-19 merilis ada 1.046 kasus, dengan rincian 913 dalam perawatan, 46 sembuh, dan 87 meninggal.