Imbauan yang dikeluarkan pemerintah tidak bergigi karena tidak memiliki kekuatan hukum. Menjaga tidak adanya keramaian dan memastikan pembatasan sosial butuh ketegasan hukum.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegasan pemerintah, baik pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam menerapkan aturan pembatasan sosial dan pelarangan keramaian ditunggu. Sanksi yang tegas merupakan keniscayaan pada masa pandemi penularan virus korona jenis baru ini.
”Kalau sebatas imbauan tidak memiliki kekuatan hukum maupun kewajiban masyarakat untuk mematuhinya,” kata pakar kebijakan publik dari PH and H Public Policy Interest Group Agus Pambagio di Jakarta, Rabu (25/3/2020).
Ia menjelaskan pengalaman pembuatan kebijakan publik selama ini selalu berhadapan dengan kendala utama ketidakpedulian masyarakat dengan aturan. Mengetahui sifat masyarakat yang tidak bisa sepenuhnya diharapkan memiliki inisiatif melakukan pembatasan sosial, butuh ketegasan dalam implementasi.
Sejauh ini, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Polda Metro Jaya dan Satuan Polisi Pamong Praja untuk membubarkan keramaian, misalnya di tempat-tempat yang lazim dijadikan tongkrongan warga. Akan tetapi, tidak ada tindak lanjut untuk memastikan warga yang dibubarkan memang pulang ke rumah masing-masing, bukan berpindah tongkrongan.
”Harus ada hukuman seperti denda atau jika tempat mencukupi, hukuman kurungan beberapa hari demi memberi efek jera. Ide ini mungkin terkesan ekstrem, tetapi masyarakat perlu mengetahui saat pandemi adalah saat darurat. Sama sekali tak bisa disamakan dengam kondisi normal. Kesadaran akan situasi darurat ini yang belum bisa dicerna oleh kebanyakan orang,” tutur Agus.
Keringanan beraktivitas di luar rumah sejauh ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki piket kerja atau bekerja di sektor informal, seperti pedagang dan kurir barang. Akan tetapi, mereka juga dikenai kewajiban untuk tidak membuat keramaian. Misalnya, para pengemudi taksi dan ojek tetap harus menjaga jarak ketika menunggu penumpang. Kafe dan rumah makan yang melayani pesanan melalui aplikasi daring harus memastikan ada pembatasan jumlah orang yang boleh menunggu.
Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta per 25 Maret pukul 16.30, jumlah pasien yang positif terinfeksi virus korona baru penyebab penyakit Covid-19 ada 790 orang. Sebanyak 31 orang dinyatakan sembuh. Sebaliknya, ada 58 orang yang meninggal.
Tercatat ada 882 pasien dalam pengawasan. Mereka yang sembuh ada 290 orang dan telah pulang ke rumah. Adapun yang masih menjalani perawatan ada 592 orang. Untuk orang dalam pemantauan jumlahnya ada 1.840 orang dengan 1.383 telah selesai dipantau. Sebaran kasus Covid-19 merata di seluruh area Jakarta.
Ketegasan juga diperlukan dalam mengatur keramaian di semua tempat ibadah. Walaupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa menunda pelaksanaan shalat Jumat dan Pemprov DKI Jakarta bahkan melarang pelaksanaan ibadah itu selama dua pekan ini, masjid-masjid tetap menjadi lokasi keramaian warga yang melaksanakan shalat berjemaah.
”Pemerintah harus tegas betul membuat aturan. Pilih antara menutup rumah-rumah ibadah selama masa pandemi atau meminta masyarakat yang ingin beribadah di masjid, gereja, atau kuil mengisolasi diri. Rumah ibadah menjadi salah satu alternatif isolasi. Selama tidak ada ketegasan, risiko keramaian terus ada,” kata Agus.
Pendidikan masyarakat
Berbagai lini digunakan oleh gerakan masyarakat yang berinisiatif melakukan pendidikan publik. Salah satunya adalah aplikasi Kesan dan situs Kesan.id yang terus menggaungkan mengenai penundaan kegiatan keagamaan yang mengakibatkan keramaian. Hal ini mereka lakukan karena melihat masyarakat masih mengadakan keramaian dengan alasan beribadah.
Pendiri Kesan, Hamdan Hamedan, mengatakan, ia dan tim menggali kembali sejarah pandemi yang tercatat dalam penyebaran agama Islam global. Salah satunya adalah wabah penyakit pes pada abad 639 Masehi di Palestina yang merupakan akibat dari penyebaran wabah di Bizantium. Total ada 25.000 umat Islam meninggal akibat terinfeksi.
”Sama seperti situasi sekarang, para pemimpin umat Islam di kala itu juga meminta umat hidup berpencar dan jangan meninggalkan kota guna mencegah penyebaran penyakit. Justru, pada kondisi tersebut tidak melakukan ibadah berjemaah di masjid merupakan sebuah ijtihad untuk kebaikan bersama,” tuturnya.
Antisipasi
Pemprov DKI Jakarta melakukan antisipasi lonjakan kasus positif Covid-19 jika nanti melonjak hingga 8.000 kasus. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, membagi kasus-kasus ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok parah atau kritis 8 persen, berat 12 persen, dan ringan 80 persen.
Kelompok parah dan berat membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit seperti alat bantu pernapasan yang canggih. Kelompok ringan yang merupakan mayoritas bisa ditangani di fasilitas kesehatan umum, termasuk wisma atlet di Kemayoran.
Agar dapat menekan laju lonjakan, Anies mengimbau masyarakat agar tetap melakukan pembatasan sosial, menghindari transportasi massal apabila sudah penuh, dan segera pulang apabila jadwal kerja telah selesai. Camat, lurah, serta rukun tetangga dan rukun warga diminta memastikan warga tidak berkumpul semasa pandemi.