Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatasi operasional kendaraan menuai pro dan kontra. Hari ini, kepadatan penumpang angkutan umum terlihat di tempat pemberhentian dan naik penumpang.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembatasan operasional angkutan umum di Jakarta menuai pro dan kontra. Sebagian warga Ibu Kota menilai, langkah ini bisa efektif menghentikan laju penyebaran virus korona jenis baru yang menyebabkan pandemi Covid-19. Padahari pertama pembatasan ini, terlihat antrean penumpang di halte, stasiun, dan tempat naik serta turun penumpang lain.
Burhan (34), warga Petamburan, Jakarta Barat, berada di tengah antrean saat hendak berangkat kerja ke Blok M menggunakan bus Tranjakarta dari Halte Slipi-Petamburan. Dia menunggu di luar halte, persisnya di pelataran jembatan penyeberangan orang yang terhubung ke halte. Dia tidak bisa merangsek masuk karena ada antrean penumpang di dalam halte. Sebagian penumpang mengenakan masker, sedangkan sisanya tidak mengenakan.
Dia setuju dengan kebijakan pengurangan rute untuk mengurangi interaksi warga menghadapi pandemi virus korona baru. Akan tetapi, menurut dia, perlu dievaluasi waktu keberangkatan setiap 20 menit. ”Terlalu lama menunggu, malah terjadi penumpukan di halte karena belum semua kantor ada kebijakan kerja jarak jauh. Padahal, tujuannya (kebijakan) mengurangi interaksi,” ucap Burhan, Senin (16/3/2020).
Di tempat lain, belum semua pengguna Transjakarta tahu tentang kebijakan pengurangan rute ini, Wahyu (27) salah satunya. Karyawan swasta ini baru tahu kalau rute ke Tangerang ditiadakan saat hendak berangkat dari Halte Bundaran Senayan. ”Baru tahu dari petugas di halte. Tidak cek media sosial dan berita,” ujar Wahyu.
Alhasil, dia beralih moda ke kereta rel listrik (KRL) melalui Stasiun Grogol, Jakarta Barat. Normalnya, rute Transjakarta ke Tangerang dapat diakses melalui Bundaran Senayan-Poris Plawad dan Pasar Baru-Poris Plawad. Imbas kebijakan ini, rute diperpendek Kalideres-Pasar Baru.
Wahyu mendukung langkah ini selama ada skenario lain yang lebih baik. Menurut dia, tidak semua pengguna menggunakan jasa KRL, sebagian merasa lebih efektif menggunakan bus Transjakarta.
Sementara itu, pandangan berbeda disampaikan oleh Vivi Samdjoen melalui akun Twitter-nya. Dia mempertanyakan upaya social distancing yang justru menyebabkan penumpang menumpuk di halte dan stasiun. Untuk itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berkoordinasi dengan perusahaan untuk meninjau pola kerja dan waktu kerja supaya penumpang tidak menumpuk saat menuju tempat kerja.
Hal serupa disampaikan Martogi Nursaida di akun Twitter-nya pukul 08.48. Dia menyampaikan, seharusnya Pemprov DKI menyosialisasikan terlebih dulu kepada perusahaan-perusahaan kebijakan ini dan menganjurkan kerja dari rumah atau pengaturan waktu juga. Justru kebijakan mendadak lebih membahayakan karena penumpang menumpuk di halte dan stasiun.
Sebelumnya, Minggu (15/3), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan pembatasan pergerakan penumpang Transjakarta, moda raya terpadu (MRT), dan kereta layang ringan (LRT). Pembatasan ini dilakukan untuk menghentikan penyebaran virus korona jenis baru yang menyebabkan pandemi Covid-19.
Secara teknis, pembatasan itu dilakukan dengan mengurangi jam operasional, jumlah unit, dan jumlah penumpang yang diangkut. ”Mulai Senin tanggal 16 Maret hingga dua pekan nanti, ketiga jenis angkutan umum akan beroperasi pukul 06.00 hingga 18.00,” kata Anies Baswedan dalam jumpa pers, Minggu (15/3), sebagaian dikutip di kompas.id.
Segala jenis armada malam hari yang beroperasi di atas pukul 22.00 ditiadakan. Adapun frekuensi angkutan-angkutan umum ini dari setiap 5-10 menit menjadi setiap 20-30 menit.
”Kebijakan ini memang sukar, tetapi warga harus menyadari agar jangan bepergian keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Warga Jakarta juga jangan keluar kota agar tidak memperbesar risiko penularan virus atau mengakibatkan kesulitan jika sakit di luar Jakarta,” ujar Anies.