Covid-19 tak hanya berdampak pada perusahan dan karyawan perusahan. Sejumlah pedagang kaki lima yang selama ini berjualan di lokasi industri juga terancan merugi jika pabrik ditutup.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
KOMPAS/STEFANUS ATO
Sejumlah pekerja pabrik di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, mengerumuni dagangan salah satu pedagang kali lima di tempat itu, Sabtu (14/3/2020). Pedagang yang berjualan di sana mengandalkan karyawan yang bekerja di kawasan industri itu.
Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, sepi dari aktivitas karyawan, Sabtu (14/3/2020) sore. Di tempat itu, hanya sejumlah pedagang kaki lima, seperti pedagang kopi, pedagang mi, dan pedagang nasi uduk, yang tengah menanti pelanggan.
Sejumlah perusahaan besar, seperti pabrik otomotif, telepon seluler, dan pabrik baja, pada Sabtu dan Minggu memang meliburkan sebagian besar karyawannya. Pedagang kaki lima yang berjualan di sana juga mengurangi porsi dagangan mereka agar tak merugi.
Menjelang pukul 18.00, sejumlah karyawan yang baru selesai bekerja secara bergilir mengerumuni salah satu pedagang mi di tempat itu. Pria separuh baya itu juga dengan sabar melayani satu per satu pesanan para karyawan tersebut.
”Hari libur seperti ini sepi, kadang enggak ada yang beli. Makanya kalau Sabtu dan Minggu saya hanya jual mi dan minuman,” kata Woko (51), salah satu pedagang di kawasan industri itu.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Suasana di sejumlah Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Sabtu (15/3/2020). Sebagian karyawan yang bekerja di perusahan manufaktur khawatir dengan sebaran Covid-19 karena dapat mengganggu aktivitas produksi perusahan.
Pada hari biasa, Woko mampu meraup penghasilan Rp 500.000-Rp 750.000 setiap hari dari para karyawan perusahaan di sana. Dari jumlah itu, pendapatan bersih yang ia kantongi untuk memenuhi kebutuhan keluarga hanya Rp 250.000-Rp 300.000.
”Untungnya sedikit, kan harus belanja lagi. Satu porsi mi saya untung paling Rp 2.000 karena harus pakai telur, sayur, dan cabe,” katanya.
Meski pendapatanya tak seberapa, uang dari berjualan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, termasuk membiayai kebutuhan sekolah anak bungsunya yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas. Lelaki itu sudah 10 tahun hidup sebagai pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan industri tersebut.
”Kalau di sini, baru jalan dua tahun karena sebelumnya saya jualan di kawasan perumahan di Cikarang Pusat. Tetapi, sekarang sudah enggak diperbolehkan,” kata lelaki lima anak itu.
Tak jauh dari Woko, ada juga Syamsul (30), pedagang kopi kemasan. Pada hari biasa, pendapatan yang ia peroleh Rp 150.000 per hari. ”Sudah satu tahun jualan kopi. Sebelumnya, kerja di perusahaan di sekitar sini juga. Tetapi, waktu itu hanya kontrak dua tahun dan tidak diperpanjang perusahaan,” katanya.
Woko dan Syamsul hanya dua dari sekitar ratusan pedagang kecil yang setiap hari mengadu nasib dengan berjualan di sana. Tinggi rendahnya belanja karyawan berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Informasi tentang Covid-19 yang memicu kekhawatiran banyak pihak di Jakarta dan sebagian wilayah di Jabodetabek juga belum sampai ke mereka. Mereka tetap menjalankan kegiatan usaha seperti biasa setiap hari.
Jika merujuk pada catatan Kompas, sejumlah perusahaan sudah mengurangi kuota produksi. Hal itu terjadi karena 60 persen bahan baku industri manufaktur di Indonesia bergantung pada China.
Misalnya, industri alas kaki yang sudah menurunkan 20 persen produksi sejak dua bulan lalu. Padahal, menjelang Lebaran, kuota produksi seharusnya ditingkatkan untuk menjawab permintaan pasar yang cukup tinggi.
Penurunan kuota produksi itu direspons pemerintah dengan menanggung Pajak Penghasilan (PPh) untuk karyawan selama enam bulan sehingga mereka menerima gaji penuh. Pemerintah juga menangguhkan PPh Pasal 22 yang berkaitan dengan kegiatan impor bagi 500 importir bereputasi tinggi dan PPh Pasal 25 bagi badan usaha.
Tidak menjamin
Namun, stimulus bagi karyawan dinilai tidak sepenuhnya menjamin daya beli karyawan. Sebab, jika pandemi Covid-19 terus meluas dan melampui perkiraan, nasib karyawan terkatung-katung.
”Bagaimana nasib karyawan kalau perusahan berhenti produksi dan kami tidak bisa bekerja. Nasib kami dan keluarga kami seperti apa. Dari dulu kami sudah sering suarakan, kita jangan terlalu bergantung dari negara luar,” kata Riki (40), salah satu karyawan perusahaan otomotif di Kawasan Industri Jababeka.
China dan Korea Selatan saat pandemi Covid-19 menyerang, salah satu cara yang dilakukan adalah mengalokasikan dana jaringan sosial. Alokasi itu bertujuan mengantisipasi penurunan daya beli kelas menengah ke bawah yang dirumahkan sementara akibat penutupan sejumlah pabrik. China bahkan mempercepat pembayaran asuransi pengangguran. Sementara Korea Selatan meningkatkan tunjangan pencari kerja untuk dewasa dan mudah dan diperluas untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.
Sementara di Indonesia, pemerintah merencanakan belanja APBN Rp 2.540,4 triliun. Dua di antara sejumlah komponen utama belanja itu untuk kesehatan Rp 132 triliun dan perlindungan sosial Rp 372,5 triliun (Kompas/12/3/2020).
Pemerintah juga menambah anggaran bantuan sosial dari Rp 150.000 per keluarga penerima manfaat (KPM) per bulan menjadi Rp 200.000 per PKM. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, berkaca dari krisis keuangan di 2008-2009, Indonesia mempunyai daya tahan sehingga pemulihan perekonomian berlangsung cepat. Pemerintah fokus pada kelas menengah melalui relaksasi Pajak Penghasilan (Kompas/14/3/2020).
Daya beli masyarakat penting distabilkan di tengah pandemi Covid-19 yang sudah menjalar ke berbagai lini ekonomi, mulai dari pariwisata, industri, ekspor, dan impor, pasar saham, pasar keuangan, hingga perbankan. Berbagai lini ekonomi, termasuk sektor industri pengolahan, merupakan salah satu tumpuan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Dampak berkurangnya daya beli masyarakat itu setidaknya mulai dirasakan sejumlah karyawan yang bekerja di perusahaan pembuatan telepon seluler di Kawasan Industri Jababeka, misalnya Raiza (40), karyawan perusahaan asal Jakarta itu.
KOMPAS/STEFANUS ATO
Suasana di sejumlah Kawasan Industri Jababeka, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Sabtu (15/3/2020). Sebagian karyawan yang bekerja di perusahan manufaktur khawatir dengan sebaran Covid-19 karena dapat menggangu aktivitas produksi perusahaan.
Sebelum Covid-19 berdampak ke perusahaannya, Raiza biasanya hanya pulang dan berkumpul bersama keluarga setiap minggu. Selama ini, ia memilih menyewa kontrakan untuk tinggal tak jauh dari tempat ia bekerja. Namun, sejak minggu lalu, ia memutuskan berangkat kerja dari Jakarta untuk mengurangi pengeluaran sewa kontrakan.
”Kerja lembur kami dihilangkan. Jadi, otomatis penghasilan saya bulan depan pasti berkurang karena tidak ada tambahan dari lembur,” katanya.