Ironi Barang Rampasan
Barang rampasan seharusnya mampu meminimalkan kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana. Namun, lemahnya perawatan membuat tujuan itu jauh panggang dari api.
Barang rampasan seharusnya mampu meminimalkan kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana. Namun, lemahnya perawatan membuat tujuan itu jauh panggang dari api. Mahkamah Agung ingin mencegah persoalan ini terus berlanjut. Barang rampasan sudah dapat dilelang tanpa harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap.
Ratusan kendaraan bermotor memenuhi areal lahan seluas separuh lapangan sepak bola, di kawasan Koja, Jakarta Utara, awal Maret. Sepeda motor mendominasi, selain mobil dan truk. Sebagian besar di antaranya dibiarkan terpapar langsung teriknya matahari saat siang hari atau air hujan ketika turun hujan. Hanya beberapa mobil menggunakan penutup terpal ataupun terlindungi di bawah atap.
Sejak awal 2019, areal lahan itu dimanfaatkan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara (Jakut) sebagai gudang barang bukti benda sitaan negara. Sebelumnya, barang sitaan ataupun rampasan negara diparkir di halaman kantor Kejari Jakut, bahkan saking banyaknya terkadang meluber ke seputaran kantor.
Sebagian besar kendaraan yang disimpan di situ terkait dengan perkara tindak pidana narkoba dan pencurian, baik sebagai hasil kejahatan, alat kejahatan, maupun obyek kejahatan. Selain itu, terdapat truk tangki yang merupakan alat kejahatan untuk kasus pemalsuan air bersih.
Di setiap kendaraan terdapat keterangan tahun perkara. Yang paling lama tahun 2008. Lamanya tahun perkara itu juga terlihat dari wujud kendaraan. Kerangka kendaraan mulai berkarat, cat terkelupas, ban kempes, serta bagian kendaraan tak lagi lengkap.
”Kalau kondisinya sudah seperti ini, nanti kalau dilelang hanya akan dihargai sebagai besi kiloan,” kata Prabu Ranggono, staf Bagian Barang Bukti Kejari Jakut. Di antara kendaraan itu ada motor bebek Supra X 125 cc dengan tahun pembuatan 2008. Saat ini, di beberapa laman jual beli, harga jualnya bisa mencapai Rp 4 juta dengan kondisi mulus.
Jika dihargai sebagai besi kiloan, menurut Prabu, paling banter harganya di kisaran ratusan ribu, tidak mencapai jutaan rupiah. Artinya, dari satu kendaraan saja, nilainya sudah susut lebih dari 50 persen. Padahal yang kondisinya serupa dengan motor bebek itu ada puluhan jumlahnya.
Barang sitaan negara harus menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebelum diputuskan untuk dilelang atau tidak. Barang rampasan negara itu sebenarnya sudah bisa dilelang karena perkara sudah berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, proses lelang tidak setiap saat bisa dilakukan. Sebab, hal itu tergantung pada rencana anggaran yang ada, termasuk anggaran untuk lelang.
Kejari Jakut sebenarnya sudah berupaya menjaga kondisi kendaraan tersebut tetap baik. Prabu mencontohkan, setiap sebulan sekali, kendaraan dicuci. Setiap kali mencuci, setidaknya dibutuhkan lima orang dengan upah Rp 250.000 per orang. Selain itu, sebagian besar kendaraan, terutama kendaraan roda empat, rutin dihidupkan secara berkala untuk menjaga mesin kendaraan.
Kejari Jakut juga mengalokasikan anggaran untuk membeli penutup terpal bagi mobil. Hanya karena anggaran terbatas, jumlah penutup terpal yang dibeli belum sesuai kebutuhan. Keterbatasan anggaran itu pula yang membuat Kejari Jakut belum bisa optimal menjaga setiap barang sitaan ataupun rampasan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kepala Kejari Jakut I Made Sudarmawan mengatakan, anggaran perawatan kendaraan tahun ini sekitar Rp 48 juta. ”Dengan keterbatasan anggaran, yang penting adalah menjaga fisik barang bukti agar tetap utuh. Juga untuk barang bukti yang kemudian dirampas untuk negara, kami berusaha menjaga agar nilainya tidak turun drastis,” kata Sudarmawan.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, barang bukti sitaan ataupun rampasan seharusnya disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) yang dikelola Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Meski demikian, Korps Adhyaksa juga memiliki gudang barang bukti yang biasanya dikelola oleh setingkat kejaksaan negeri.
Akan tetapi, sejauh ini, tidak ada anggaran khusus untuk perawatan barang sitaan. Kalaupun ada, jumlahnya minim. Menjaga barang sitaan atau barang rampasan, terutama kendaraan bermotor, agar nilainya tidak turun drastis diakuinya menjadi tantangan yang tidak ringan. Sebab, nilai kendaraan bermotor secara umum semakin lama akan semakin turun. Sementara proses sebuah perkara hingga keluar putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu bertahun-tahun.
Dilelang
Dalam sebuah diskusi yang digelar akhir tahun lalu, Direktur Pelayanan Tahanan dan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Heni Yuwono menyatakan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa aset sitaan seharusnya disimpan di Rupbasan.
Menkumham pun diamanahi membentuk Rupbasan di setiap ibu kota kabupaten/kota. ”Namun, total Rupbasan kita baru 64 unit di seluruh Indonesia,” ujar Heni. Pemerintah kekurangan anggaran untuk membangun Rupbasan baru. Lokasi pembangunan pun belum tentu ada. Akibatnya, aset disimpan di setiap instansi yang terkait dengan penanganan perkara.
”Maka, sejumlah aset sitaan tak terlacak. Nilainya mungkin bisa triliunan rupiah dan dapat menyusut jika tak dirawat,” ucapnya. Berdasarkan catatan Kemenkumham per 18 Desember 2019, nilai total aset sitaan dan rampasan mencapai Rp 411,36 miliar. Aset itu terdiri atas 12 jenis barang, antara lain mobil, sepeda motor, kapal/pesawat, kayu, uang, dan perhiasan. Selain itu, ada logam nonmulia, surat berharga, tanah atau bangunan, bahan bakar minyak dan gas, serta barang elektronik.
Padahal, mengacu pada Pasal 45 KUHAP, pemanfaatan aset sitaan bisa saja dilakukan sebelum ada putusan inkracht. ”Akan tetapi, Pasal 45 KUHAP itu masih jarang sekali digunakan,” kata Heni. Hari Setiyono tak menampik hal ini. Namun, menurut dia, ada frasa ”sejauh mungkin” di Pasal 45 Ayat (1) yang menimbulkan multitafsir. ”Pada praktiknya jarang dilakukan karena kata-kata itu tidak mudah untuk diartikan,” katanya.
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Surya Jaya menyayangkan banyaknya aset yang terbengkalai sehingga nilainya susut. Penegakan hukum seharusnya tidak terfokus pada pidana penjara, tetapi juga pemulihan kerugian negara.
Perbaikan
Untuk mencegah persoalan ini terus berulang, setidaknya ada tujuh hal yang dilihatnya harus dibenahi. Pertama, terkait manajemen barang sitaan, sumber daya pengelola barang sitaan, dan kewenangan yang terkait barang sitaan. Kemudian regulasi yang mengatur barang sitaan serta mengenai kelembagaan. Dua hal lainnya, ketersediaan anggaran serta sarana dan prasarananya.
Sebagai bagian dari hal itu, MA tengah menyusun peraturan MA yang mengatur tentang pengelolaan barang sitaan dengan merujuk pengelolaan barang sitaan di Belanda. Di Belanda, barang sitaan dikelola profesional. Barang sitaan didaftar secara daring oleh penegak hukum sehingga ada basis data yang terpusat. Status barang sitaan ditentukan lebih awal dan kemudian dilelang.
Uang hasil lelang akan disimpan untuk kemudian diserahkan ke pihak sesuai putusan pengadilan, bisa kembali ke pemilik atau masuk kas negara. ”Sebelum dilelang, barang difoto dan dibuat berita acara pemeriksaan (BAP). Jadi, BAP barang bukti itu yang nantinya diajukan ke pengadilan sebagai barang bukti,” ujar Surya. Berkaca pada praktik di Belanda, arah peraturan MA yang tengah disusun itu ingin mempercepat lelang.
Barang setelah disita bisa dilelang, selanjutnya hasilnya disimpan negara. Ketika putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sudah keluar, uang bisa masuk ke kas negara jika barang itu dirampas negara. Sebaliknya, jika tidak, uang diserahkan ke pemilik barang. Meski demikian, rancangan peraturan MA itu hanya menyangkut tata cara. Untuk pengaturan yang lebih komprehensif, dibutuhkan sebuah undang-undang.
Selain itu, diperlukan perubahan paradigma dari para penegak hukum yang selama ini memandang aset hanya sebagai barang bukti menjadi aset yang memiliki nilai ekonomi. Barang sitaan memang memerlukan pengelolaan yang lebih serius. Jika tidak ada terobosan, akan semakin banyak barang sitaan yang nilainya tidak lebih dari besi kiloan.