Pasien demam berdarah dengue harus secepatnya ditangani untuk mencegah terjadi komplikasi penyakit yang semakin parah.
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien demam berdarah dengue harus secepatnya ditangani untuk mencegah terjadi komplikasi penyakit yang semakin parah. Untuk itu, deteksi dini dengan mengenali gejala awal penyakit ini sangat diperlukan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, kematian akibat DBD terjadi karena penanganan pasien yang terlambat. Hal ini bisa terjadi karena pasien terlambat dirujuk sehingga datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dalam kondisi kritis.
”Untuk mencegah kematian akibat DBD ada dua hal yang harus diperhatikan, yakni kesadaran masyarakat mengenai gejala dan tanda infeksi serta jangan terlambat membawa pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mumpuni,” ujar Siti saat dihubungi di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Gejala DBD memang tidak khas sehingga masyarakat kurang waspada. Adapun gejala awal yang muncul berupa demam tinggi, lemas, dan nyeri di seluruh tubuh. Biasanya, demam turun pada hari keempat dan kelima sehingga pasien mengira sudah membaik.
Padahal, saat kondisi inilah pasien berada pada fase kritis. Dalam pemeriksaan, trombosit pasien menurun sementara sel darah merah meningkat. Hal ini bisa menyebabkan pasien mengalami dengue shock syndrome sehingga mengalami kebocoran pada pembuluh darah.
Siti mengatakan, selain penanganan yang cepat, kemampuan tenaga kesehatan dalam tata laksana pasien DBD juga perlu ditingkatkan. Pasien yang datang dalam kondisi shock membutuhkan perawatan intensif terutama untuk memenuhi kebutuhan cairan dari dalam tubuh pasien.
Sejak 1 Januari 2020 hingga 9 Maret 2020, Kementerian Kesehatan mencatat jumlah kematian akibat DBD di seluruh Indonesia sebanyak 100 orang. Kasus kematian akibat DBD paling banyak dilaporkan di Nusa Tenggara Timur (32 kasus), menyusul Jawa Barat (15) dan Jawa Timur (13).
Sementara itu, jumlah kasus penderita DBD telah mencapai 16.099 kasus. Kepala Subdirektorat Arbovirus Kementerian Kesehatan Guntur Argana menambahkan, jumlah kasus masih terus meningkat di sejumlah wilayah. Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, masih memberlakukan status kejadian luar biasa (KLB) DBD.
Sejak Minggu keempat tahun 2020, kasus DBD di Kabupaten Sikka bertambah dari 69 kasus menjadi 175 kasus pada minggu kesembilan. ”Penguatan surveilans DBD dilakukan dengan pengelolaan program DBD. Sosialisasi dan penguatan gerakan satu rumah satu jumantik (juru pengamat jentik) juga dilakukan di lingkungan tempat tinggal dan sekolah,” katanya.
Pencegahan
Dalam mengantisipasi DBD, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat, menggencarkan kembali gerakan pemberantasan sarang nyamuk melalui puskesmas dan posyandu. Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim menegaskan, Pemerintah Kota Bogor telah menginstruksikan camat dan lurah untuk memantau tindakan pencegahan penyebaran penyakit DBD di lingkungan masing-masing.
Tindakan tersebut menerapkan langkah menguras, mengubur dan membersihkan genangan air atau 3M. Gerakan pembersihan lingkungan lebih penting dan efektif memberantas jentik nyamuk jika dibandingkan dengan pengasapan (fogging) yang hanya membunuh nyamuk dewasa.
”Membersihkan genangan air di talang rumah juga penting. Prinsipnya bahwa genangan air digunakan nyamuk bertelur dan berkembang biak,” ungkap Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno. Aksi serupa juga dilakukan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Banten. Wakil Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie mengatakan, pengasapan tetap dilakukan meski sebatas mengusir nyamuk dewasa.
Hal terpenting adalah peran masyarakat menjaga kebersihan lingkungan agar jentik nyamuk tidak berkembang biak. ”Saya sudah beri instruksi para camat dan lurah agar aktivitas masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, termasuk jumantik diaktifkan lagi. Kuncinya kebersihan lingkungan,” ujarnya.
Keterlibatan masyarakat
Bagaimanapun, pencegahan DBD membutuhkan keterlibatan seluruh pihak, termasuk masyarakat. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Yulianto Prabowo di Kota Semarang, mengatakan, penanganan paling tepat terkait DBD, yaitu dengan promotif dan preventif, yakni pencegahan agar penderita penyakit itu tak terus bertambah.
”Kami mendorong pemberantasan sarang nyamuk atau tempat hidup jentik nyamuk. Maka, dibutuhkan juru pemantau jentik di setiap rumah, sekolahan, kantor, dan institusi lainnya,” kata Yulianto. Salah satu upaya pencegahan DBD di Kota Semarang, yakni melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010. Ada juga kebijakan siswa SMP dan SD bercelana panjang untuk mengantisipasi gigitan nyamuk di bawah bangku sekolah (Kompas, 28/2/2019).
Tanpa keseriusan masyarakat menjaga kebersihan lingkungan, upaya pencegahan DBD belum optimal. Di Kabupaten Cirebon, Jabar, Wilayah diserang DBD berada di timur Cirebon yang didominasi lahan tebu, bambu, dan sawah. Tumpukan sampah di pinggir jalan menuju daerah itu mudah ditemui. Bahkan, banjir dua kali melanda wilayah Pasaleman.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana mengatakan, penurunan jumlah kasus merupakan bukti keberhasilan pihaknya mencegah DBD. Dari Pontianak, Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harisson menuturkan, perlu pemberdayaan agar masyarakat mau membereskan rumah dan melaksanakan 3 M.
Yang terpenting gerakan pemberantasan sarang nyamuk. Semua elemen masyarakat harus terlibat. ”Kalbar rawan DBD saat musim hujan. Kasus DBD di Kalbar meningkat biasanya pada Oktober, November dan Desember. Terkadang juga masa peralihan musim hujan ke kemarau. Angka kematian atau CFR Kalbar di bawah 1 persen,” papar Harisson. (TAN/MTK/IGA/DIT/IKI/ESA)