Anak Penyandang Disabilitas Jadi Korban Pemerkosaan
Anak di bawah umur penyandang disabilitas kembali jadi korban kekerasan di Jakarta Utara. Ia diperkosa oleh tetangganya sendiri setelah diajak menonton film porno.
Oleh
STEFANUS ATO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap anak di bawah umur penyandang disabilitas terjadi di Cilincing, Jakarta Utara. Sebelum korban diperkosa, pelaku memperlihatkan rekaman video porno yang membuat korban terangsang.
Kepala Kepolisian Sektor Cilincing Komisaris Imam Tulus Budiono mengatakan, pelaku yang diketahui bernama Iwan (47) dan korban berinisial LA (13) sudah saling mengenal karena tinggal bertetangga di wilayah Kampung Baru, Kelurahan Cilincing. Kedekatan itu dimanfaatkan pelaku untuk membujuk dan menyetubuhi korban. Selama kurun waktu Januari-Februari 2020, pelaku sudah tiga kali mencabuli korban.
”Awal mulanya pelaku memperlihatkan video porno di handphone pelaku,” kata Imam, Senin (9/3/2020), di Jakarta Utara.
Imam menambahkan, pelaku berjanji memberi korban uang Rp 200.000 setelah mereka selesai melakukan hubungan seksual. Namun, pelaku hanya memberi korban uang Rp 20.000.
”Setelah tiga kali (jadi korban), korban melaporkan tindakan pelaku kepada orangtuanya, kemudian orangtua korban melapor ke polisi. Saat ada laporan ke polisi, pelaku melarikan diri ke Cakung,” katanya.
Pelaku kemudian ditangkap aparat Polsek Cilincing pada 3 Maret 2020. Akibat perbuatan tersebut, pelaku terancam pidana penjara maksimal 15 tahun karena melanggar Pasal 31 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pelaku kepada wartawan mengaku khilaf. Ia juga tidak sengaja memperlihatkan video porno itu kepada korban saat bersama-sama menonton video lucu yang ada di handphone-nya.
”Video itu dikirim oleh teman. Jadi, saat sedang putar video lain, tiba-tiba video itu (porno) keluar,” katanya.
Tak diawasi
Imam menambahkan, meski korban penyandang disabilitas, orangtua korban selama ini tidak mengawasi segala aktivitas korban. Hal ini pula yang menyebabkan korban bebas berkeliaran ke mana saja.
”Orangtuanya tidak selalu berdampingan sama LA. Anaknya dianggap mengalami keterbelakangan mental, jadi tidak mungkin ada yang menyentuhnya,” kata Imam.
Kasus pencabulan terhadap LA menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas masih menjadi persoalan di Indonesia. Padahal, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah menjamin pelaksanaan dan pemenuhan hak asasi manusia penyandang disabilitas secara setara dan penuh.
Data Komisi Nasional Perempuan selama 2014-2018 menyebutkan, ada 89 kasus kekerasan pada perempuan disabilitas. Dari jumlah itu, 64 persen kekerasan yang dialami perempuan penyadang disabilitas adalah kekerasan seksual.
Catatan Komnas Perempuan juga menunjukkan pelaku kekerasan rata-rata merupakan orang dekat, seperti ayah, adik, kakak, tetangga, paman, dan guru (Kompas.id, 18/3/2019).