Kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman Covid-19 terbilang tinggi. Namun, kecemasan terhadap ancaman virus itu juga diikuti masyarakat dengan beragam inisiatif preventif yang sejalan dengan standar kesehatan.
Oleh
Albertus Krisna
·4 menit baca
Siapa sangka wabah Covid-19, atau dikenal dengan sebutan coronavirus disease2019, telah mengguncang dunia dalam waktu cepat. Bermula dari laporan pertama yang diterima Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 31 Desember 2019. Tercatat ada 41 orang yang terinfeksi di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Dua bulan berselang, per 5 Maret 2020, jumlahnya melonjak drastis menjadi 95.270 kasus di 79 negara. Angka kematiannya mencapai 3,4 persen atau 3.280 orang.
Angka kematian Covid-19 ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan dampak sejumlah epidemi penyakit virus lainnya, seperti MERS yang dilaporkan pertama kali di Arab Saudi tahun 2012. Virus ini menjangkiti 2.500 orang di 11 negara dan 858 di antaranya meninggal. Kemudian, virus SARS yang pada 2002 menyerang 8.100 orang di 26 negara dengan angka kematian 9,5 persen.
Kasus Covid-19 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada Senin, 2 Maret 2020. Indonesia tercatat menjadi negara ke-65 yang dilaporkan terjangkit virus ini.
Kewaspadaan
Sebagian besar masyarakat telah mewaspadai kemungkinan merebaknya virus korona sebelum munculnya dua pasien terduga Covid-19. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada akhir Februari lalu. Tiga perempat lebih responden mencemaskan kemunculan virus ini di lingkungan sekitar mereka. Kekhawatiran ini seragam diungkapkan responden di 17 kota besar di Indonesia.
Namun, setelah pemerintah resmi mengumumkan munculnya dua terduga atau suspect, angka kekhawatiran justru menurun. Hasil jajak pendapat Kompas 2-3 Maret 2020 menyebutkan, ada dua pertiga lebih responden yang mengaku resah.
Menurunnya tingkat kekhawatiran ini bisa jadi karena sebelumnya telah ada sosialisasi mengenai gejala dan cara penularan penyakit ini. Separuh lebih responden mengatakan telah mendapatkan sosialisasi mengenai wabah Covid-19 melalui pemerintah, media sosial, atau kerabat.
Penyakit Covid-19 diketahui dapat menular antarmanusia melalui tetesan kecil (droplet) hidung atau mulut. Virus ini menyebar ketika penderita batuk atau bersin. Seseorang yang berada dekat dengan penderita berpotensi tertular ketika tetesan kecil tersebut terhirup saluran napas.
Virus ini juga bisa menular saat tetesan kecil tersebut mendarat pada suatu obyek benda, kemudian tanpa sengaja tersentuh oleh orang lain. Kontaminasi bisa terjadi saat tangan mengusap mata, hidung, atau mulut.
Pencegahan
Namun, rasa khawatir warga tersebut dibarengi dengan sejumlah upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dilakukan masyarakat tersebut sudah sesuai dengan imbauan yang digaungkan WHO.
Upaya pencegahan itu antara lain mencuci tangan setelah bepergian yang disebutkan sekitar lebih dari sepertiga responden. Pencegahan lain, pemakaian masker yang diungkapkan sepertiga lebih responden. Selanjutnya, 9 persen responden memilih untuk menguatkan ketahanan tubuh dengan minum suplemen/vitamin.
Pemerintah pun tidak absen melakukan sejumlah upaya pencegahan agar virus ini tidak masuk ke Indonesia. Contohnya, pengawasan di 30 bandara dan 18 pelabuhan internasional di Indonesia. Pengawasan dilakukan menggunakan alat thermo-scanner untuk mendeteksi panas tubuh penumpang di terminal kedatangan luar negeri. Jika lebih dari 38 derajat celsius, penumpang akan diarahkan ke ruang isolasi khusus.
Upaya tersebut mendapat apresiasi 63 persen warga. Petugas di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kota Batam hingga 3 Maret lalu telah menemukan 27 penumpang pengidap Covid-19. Mereka dikarantina di dua kapal yang berbeda di perairan Batam.
Antisipasi lainnya, pemerintah telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan. Fasilitas yang disediakan di rumah sakit ini khususnya ruangan isolasi bertekanan negatif untuk menghilangkan penyebaran kontaminasi menular melalui jalur udara.
Namun, hanya sekitar 40 persen responden yang menilai rumah sakit rujukan tersebut telah memadai. Kegagapan petugas medis terhadap penderita Covid-19 menjadi salah satu alasannya. Contohnya, dua WNI yang pertama kali dilaporkan di Indonesia. Sebelum dinyatakan positif Covid-19, keduanya didiagnosis terkena sakit tifus dan bronkitis pneumonia.
Sebagai jenis virus baru, informasi yang benar terkait korona perlu ditegakkan. Pasalnya, masih ada tidak sedikit juga responden (42 persen) yang belum pernah menerima sosialisasi mengenai Covid-19.
Meski tingkat kekhawatiran turun, tetap terjadi kepanikan yang tidak wajar, misalnya warga berbondong-bondong membeli masker dan cairan pembersih tangan. Ketakutan serupa terjadi saat menghadapi orang yang pernah berasal atau pernah berkunjung ke negara endemik korona.
Mayoritas responden (59 persen) mengaku takut berinteraksi dengan WNI dari China ataupun turis China meski sebenarnya mereka tidak dalam kondisi sakit. Jika hal tersebut tidak diantisipasi, potensi stigma negatif kepada penderita justru semakin menjadi-jadi.
Hal senada diserukan WHO melalui laman resminya. Direktur Jenderal WHO Tedron Adhanom Ghebreyesus kembali menggaungkan semangat ”solidaritas, bukan stigma”. Stigma dapat menciptakan ketakutan dan merendahkan penderita serta membuat seseorang menghindari pertolongan, pemeriksaan, pengujian, atau karantina.
Kewaspadaan terhadap kemunculan Covid-19 memang sangat diperlukan. Meski demikian, jangan sampai kekhawatiran menjadi ketakutan yang berlebihan. Melakukan antisipasi dengan wajar dan menghindari stigma negatif kepada orang yang masih masuk kategori ”pengawasan” ataupun ”pemantauan” bisa menjadi langkah yang tepat. (LITBANG KOMPAS)