Riset Jakarta Property Institute terhadap 350 kaum milenial diluncurkan di Jakarta, kemarin. Dari jumlah itu, 54 persennya mengatakan berminat tinggal di hunian vertikal selama harga sewa atau harga belinya terjangkau.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Generasi langgas atau milenial, yaitu orang-orang yang lahir pada 1980 hingga 2000, ternyata berminat tinggal di hunian vertikal di Jakarta, baik berupa apartemen maupun rumah susun. Hal ini merupakan kesempatan bagi pemerintah daerah membangun perumahan rakyat vertikal dengan harga terjangkau.
Demikian hasil survei dan penelitian Jakarta Properti Institute (JPI) terhadap 350 kaum milenial yang diluncurkan di Jakarta, Kamis (5/3/2020). Dari jumlah tersebut, 54 persen mengatakan berminat tinggal di hunian vertikal selama harga sewa ataupun harga belinya terjangkau.
”Mayoritas responden adalah karyawan swasta bergaji Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan,” kata peneliti JPI, Urfi Amalia. Mereka bersedia menyisihkan maksimal Rp 3 juta setiap bulan untuk mencicil atau paling kurang menyewa hunian vertikal.
Sebanyak 67 responden mengaku tinggal bersama orangtua di rumah tapak. Lokasinya di Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Mereka biasanya membutuhkan 31-60 menit untuk pergi ke tempat kerja setiap hari dengan angkutan umum, seperti KRL, MRT, transjakarta, maupun transportasi yang dipesan secara daring.
Menurut Urfi, responden mengaku kelelahan dengan komuter yang membutuhkan waktu lama. Semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk berangkat kerja, semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkan. Oleh sebab itu, mereka ingin memiliki hunian di Jakarta dan tidak mempermasalahkan jika wujudnya vertikal selama memiliki minimal tiga ketentuan, yakni ketersediaan angkutan umum, fasilitas kesehatan, dan dekat dari tempat kerja.
Sisa 46 persen responden yang menjawab tidak mau tinggal di hunian vertikal ternyata hanya sedikit yang mengutarakan benar-benar lebih menyukai rumah tapak. Kebanyakan dari mereka tidak berminat pindah ke apartemen karena harga mahal, sempit, dan tidak bisa menjadi hal milik. Penghuni apartemen dan rumah susun hanya memiliki hak guna bangunan (HGB) selama 30 tahun.
”Kecemasan ini bisa diatasi pemerintah. Pertama dengan memperpanjang HGB menjadi 99 tahun seperti di Singapura. Kedua dengan membangun hunian vertikal murah di pasar-pasar milik badan usaha milik daerah,” kata Urfi.
Pasar yang dinilai JPI potensial untuk dibangun hunian vertikal antara lain Pasar Mampang Prapatan di Jakarta Selatan, Pasar Mede juga di Jakarta Selatan, dan Pasar Kebon Melati di Jakarta Pusat. Pembangunan hunian vertikal tetap wajib memperhatikan struktur kekuatan bangunan. Jika gedung pasar sudah tua, ada kemungkinan harus dirobohkan dan dibangun kembali dengan apartemen atau rusun di atasnya.
Menyelamatkan pasar
Direktur Eksekutif JPI Wendy Haryanto menerangkan bahwa keberadaan hunian vertikal di atas pasar akan menyelamatkan pasar tersebut. Sekarang ini banyak pasar tradisional mulai ditinggalkan pembeli karena beralih ke pasar modern. Suasana pasar tradisional yang identik becek, bau, dan kotor semakin tidak digemari konsumen.
”Adanya apartemen, apalagi untuk kaum milenial, mendorong pasar bersih dan tertata. Mereka juga akan mendapatkan konsumen tetap, yaitu para penghuni apartemen,” katanya.
Direktur Program JPI Mulya Amri menjelaskan, generasi milenial memiliki pola hidup berbeda daripada generasi orangtua. Generasi masa lalu menganggap hunian harus berupa rumah tapak dengan dapur, kamar mandi, tempat mencuci piring dan baju, serta jika mampu mempekerjakan pembantu rumah tangga (PRT).
Generasi milenial memiliki pergerakan dinamis. Otomatis berpengaruh kepada kebutuhan dan penghargaan mereka terhadap ruang. Kaum milenial tidak membutuhkan hunian luas, terutama mereka yang baru meniti karier ataupun yang memilih hidup melajang. Mereka hanya membutuhkan hunian untuk istirahat.
”Fenomena ini dibaca pengembang gedung-gedung apartemen. Apartemen studio yang hanya terdiri dari ruang kosong, rak, dan kamar mandi laku keras dibandingkan apartemen dengan tiga lamar,” ucapnya.
Kepraktisan hidup menjadi kunci. Keberadaan penatu murah membuat kaum milenial tidak perlu membeli mesin cuci. Layanan pembelian dan pengantaran makanan secara daring membuat mereka tak perlu repot memasak. Pola hidup seperti ini tidak perlu mempekerjakan asisten rumah tangga atau ART.
Demikian pula dengan kaum milenial yang berkeluarga. Selama di unit apartemen atau di dekatnya tersedia tempat penitipan anak, mereka tidak perlu lagi menggaji pengasuh.
Mulya menjabarkan, mahalnya harga hunian vertikal adalah karena harga tanah yang mahal di Jakarta. Padahal, dari segi biaya membangun gedung dan mempekerjakan para tukang relatif sama di Jabodetabek.
”Solusinya adalah membangun hunian vertikal dengan banyak unit sehingga harga tanah beserta Pajak Bumi dan Bangunan bisa dibagi rata kepada semua penghuni dan menjadi murah,” katanya.
Suara komuter
Melinda A (27), karyawan swasta di wilayah Senayan, mengatakan membutuhkan waktu 45 menit untuk ke kantor setiap hari. Tinggal di wilayah Pamulang, Tangerang Selatan, ia naik ojek daring dari rumah menuju stasiun MRT Lebak Bulus.
”Kalau musim hujan seperti sekarang, yang lama itu justru dari Pamulang ke Lebak Bulus. Macetnya luar biasa, bisa sampai satu jam. Padahal, naik MRT dari Lebak Bulus sampai Istora Senayan hanya butuh 15 menit,” katanya.
Akibatnya, ia sudah harus bersiap kerja sejak pukul 05.00. Hal ini melelahkan karena setiap senja ia juga butuh waktu satu jam untuk pulang selepas kerja. Melinda mengutarakan tidak berminat mencari kos karena umumnya di Jakarta Selatan sudah penuh. Ia berminat mencari apartemen jika tersedia dengan harga murah karena menurutnya privasi lebih terjaga di hunian vertikal.