Mengatasi Kepepet dengan “Bank Sobek”
Minimnya pengetahuan ihwal perbankan membuat sebagian pedagang kecil terperosok jeratan rentenir yang menawarkan kemudahan pinjaman. Bunga tinggi pun mereka bayar demi mengatasi kebutuhan mendesak.
Sebagian pedagang kecil di Jakarta mengandalkan jasa pinjaman uang berbunga tinggi untuk mengatasi keperluan mendesak. Minimnya pengetahuan ihwal perbankan membuat mereka terperosok jeratan rentenir yang menawarkan kemudahan pinjaman.
Beberapa pedagang di sejumlah pasar menyebut penyedia pinjaman dengan bunga 20 persen itu sebagai ”bank sobek”. Istilah itu muncul karena ada kertas berwarna hijau atau kuning yang disobek setiap mereka mengangsur cicilan.
Imam (57), pedagang es di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, pernah menggunakan jasa bank sobek ini. Ia meminjam Rp 2 juta sekitar dua tahun lalu. ”Saat itu kepepet banget,” katanya saat ditemui, Rabu (4/3/2020).
Uang Rp 2 juta itu dia cicil selama dua bulan. Total bunganya Rp 400.000 atau 20 persen dari pinjaman. Menurut dia, tidak ada syarat khusus yang dibutuhkan sehingga orang-orang yang kepepet amat dimudahkan. ”Tinggal ngomong saja kepada mereka. Butuh berapa. Apalagi kalau mereka sudah tahu kita pedagang yang sudah lama di sini dan tidak pernah terlambat pada pembayaran sebelumnya. Langsung cair itu,” katanya.
Baca juga: Mengepung Para Penjahat Dompet Digital
Bank sobek juga menjadi andalan sejumlah pedagang minuman di depan Stasiun Tanah Abang, Jakarta. Tatkala paceklik uang melanda, bank sobek jadi solusinya.
”Banyak banget bank sobek di sini. Nanti deh gua kasih tau yang mana orangnya,” kata Mia (42), Senin (2/3/2020). Mia pun nasabah bank sobek. ”Kalau mereka ngaku-nya koperasi. Tetapi, ya, gua enggak ngerti juga dah. Yang penting bisa meminjam,” katanya.
Ia saat ini sedang meminjam uang Rp 500.000. Dari jumlah itu, ia mendapat Rp 450.000. Sebanyak Rp 25.000 dipotong untuk biaya administrasi, sementara Rp 25.000 digunakan untuk simpanan pokok. ”Kalau angsuran kita tinggal terakhir dan tidak akan meminjam lagi, simpanan pokok itu bisa dipakai untuk membayar cicilan terakhir,” katanya.
Pinjaman itu ia cicil selama 24 kali. Besarnya Rp 25.000 per hari. Artinya, total Mia harus membayar Rp 600.000. Bunga pinjaman yang harus dibayar Mia sebesar Rp 150.000 dari pinjaman Rp 450.000, atau 25 persen. ”Itu ada kertasnya yang ditandai sebanyak 24 kotak. Setiap kotak itu dirobek ketika kita membayar cicilan,” ujarnya.
Baca juga: Rentenir Digital Berkeliaran
Uang itu dia gunakan untuk keperluan pendidikan dua anaknya yang berada di SD dan SMP. Keduanya sedang mengikuti bimbingan belajar untuk memperdalam materi yang diajarkan di sekolah. Di sisi lain, dagangan makin seret. Jika biasanya dia beromzet Rp 300.000 per hari, kini hanya Rp 100.000-Rp 150.000. Dengan pendapatan segitu, ia hanya mengantongi Rp 50.000 untung per hari.
”Gua tinggal di Depok, Jawa Barat. Ke sini naik motor. Berapa buat bensin, makan. Terus anak-anak bilang butuh biaya les. Ya sudah, lapor ke bank sobek,” katanya.
Mia menyadari, bunga pinjaman sebesar 20 persen itu sangat besar. Namun, bank sobek lebih mudah diakses dibandingkan bank. ”Kalau bank mah ribet. Syarat-syaratnya, surveilah, terus belum tentu juga bisa cair,” katanya.
Setelah wawancara selesai, Mia menunjuk seorang pria yang membawa tas sandang. Pria itu memarkir sepeda motornya di depan gerobak pedagang minuman. ”Noh, itu tuh bank sobek,” kata Mia.
Kalau bank mah ribet. Syarat-syaratnya, surveilah, terus belum tentu juga bisa cair.
Pria itu mengeluarkan kertas berwarna hijau dari dalam tas. Beberapa saat ia berbincang dengan pedagang minuman itu. Kompas menyusul petugas bank sobek itu, tetapi yang bersangkutan tidak bersedia diwawancara.
Pedagang buah di Pasar Palmerah, Jakarta Barat, Eli (35), menjelaskan, selain bank sobek yang mengenalkan diri sebagai koperasi, ada pula jasa pinjaman uang dari individu. Eli menyebutnya dengan istilah pinjaman ”batak”.
Meski sama-sama mengenakan bunga 20 persen, ada beberapa perbedaan di antara kedua penyedia pinjaman itu. ”Kalau bank sobek tidak bisa besar, maksimal 2 juta. Tetapi, kalau sama batak bisa Rp 10 juta, tergantung seberapa percaya mereka sama kita. Dan kalau sama batak tidak pakai biaya administrasi atau simpanan. Berapa kita pinjam, segitulah yang didapat,” katanya.
Eli pernah meminjam dari keduanya sekitar lima tahun lalu. Waktu itu, Jakarta terus diguyur hujan. Barang dagangannya tak laku dan membusuk. Modal pun tergerus. Akhirnya ia meminjam Rp 5 juta dari batak dan Rp 2 juta dari bank sobek.
Berjualan buah selama 15 tahun, Eli tidak pernah mencoba mengajukan kredit usaha rakyat atau pinjaman lain di bank. Ia khawatir tidak memenuhi syarat. ”Kalau yang saya dengar harus ada surat keterangan usaha dan sebagainya. Terus usaha kita juga dilihat dulu. Makanya, saya berpikir ya sudahlah,” katanya.
Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, bank sobek tidak menyerupai gambaran ideal tentang koperasi. Salah satu prinsip koperasi adalah pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal. Yang dimaksud dengan terbatas adalah wajar dalam arti tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasaran.
Baca juga: Pengawasan Operasional Koperasi Belum Optimal
Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan Sekar Putih Djarot menjelaskan, rentenir kerap beroperasi di banyak daerah. Biasanya, mereka menyasar masyarakat yang belum mempunyai akses ke lembaga keuangan formal.
Oleh sebab itu, ia mendorong pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah memanfaatkan program-program pemerintah sebagai modal usaha mereka. ”Khusus untuk pemberdayaan UMKM, kami akan berperan aktif membangun ekosistem usaha mereka melalui pemanfaatan KUR dengan skema kluster serta perluasan program Bank Wakaf Mikro (BWM),” katanya.
Baca juga : ”Omnibus Law” Dorong Penguatan dan Pertumbuhan UMKM
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis Suroto menjelaskan, fenomena bank sobek menandakan bahwa berbagai program pemerintah untuk akses kredit bagi masyarakat kecil belum efektif.
"Munculnya rentenir atau bank sobek yang berbadan hukum koperasi itu juga tanda bahwa pemerintah sebagai regulator tidak pernah tegas dalam mengambil tindakan hukum terhadap penyelewengan yang mengatasnamakan koperasi," katanya.
Dia melanjutkan, seharusnya Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah membubarkan koperasi abal-abal itu. Pembubaran rentenir berbaju koperasi itu akan berdampak pada perbaikan citra koperasi. Masyarakat juga akan tahu mana koperasi dan mana yang hanya mengatasnamakan koperasi.
Munculnya rentenir atau bank sobek yang berbadan hukum koperasi itu juga tanda bahwa pemerintah sebagai regulator tidak pernah tegas dalam mengambil tindakan hukum terhadap penyelewengan yang mengatasnamakan koperasi.
"Itu semua adalah kepentingan publik yang harus dijaga oleh pemerintah dan secara imperatif sudah jelas diatur dalam undang-undang," katanya.
Baca juga : Konsolidasikan Ekonomi Rakyat dalam Koperasi
Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan aturan tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Peraturan itu pada pokoknya menyiapkan rumusan agar warga negara mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, aman, dengan biaya terjangkau sesuai kebutuhan dan kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pedagang-pedagang kecil itu tentu tak boleh dilupakan.