Kala Citarum Hilir Mengamuk di Kabupaten Bekasi
Persawahan dan sempadan sungai, termasuk di hilir Citarum dan Cikarang Bekasi Laut beralih fungsi. Mitigasi minim. Di ujung Februari, bencana besar pun melanda lebih dari 80 persen area Kabupaten Bekasi.

Foto aerial kawasan hunian di Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/11/2019). Kawasan hunian terus tumbuh mendesak persawahan dan sempadan sungai, termasuk bantaran Citarum.
Pertumbuhan kawasan industri dan perumahan di Kabupaten Bekasi kian masif. Satu per satu area terbuka, termasuk daerah persawahan, bertumbangan. Sempadan sungai-sungai besar, seperti Cikarang Bekasi Laut dan Citarum, tak luput dari okupasi perumahan. Ancaman banjir pun kian nyata di daerah penyanggah Ibu Kota.
Banjir yang beberapa kali melanda Kabupaten Bekasi selama kurun dua bulan terakhir tak semata-mata karena banjir kiriman. Kawasan permukiman hingga kawasan perindustrian yang minim ruang resapan air menambah cakupan luasnya bencana di daerah itu.
Banjir Kabupaten Bekasi pada 25 Februari 2020 disebut sebagai musibah terbesar yang melanda daerah itu di 2020. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bekasi mencatat ada 20 kecamatan dari total 23 kecamatan atau lebih dari 80 persen areanya yang terendam banjir. Musibah itu juga mengakibatkan 10.000 keluarga di Kabupaten Bekasi terdampak banjir.
Bekas lumpur sisa banjir pada 25 Februari masih terlihat di Jalan Kedasih Raya, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jumat (28/2/2020). Ada puluhan kantong hitam berisi makanan dan minuman kemasan yang tersimpan di depan salah satu minimarket di Jalan Kedasih Raya.

Barang-barang milik salah satu mimimarket di Jalan Kedasih Raya, Cikarang Utara, yang rusak terendam banjir, Jumat (28/2/2020).
Makanan dan minuman kemasan itu rusak akibat tergenang banjir. Beberapa unit mesin ATM yang terdapat dalam minimarket itu juga rusak. Jalan Kedasih Raya masih berada dalam Kawasan Industri Jababeka. Saat banjir terjadi pada 24 Februari 2020, lalu lintas dari dan ke kawasan Jababeka lumpuh.
Ahmad (40), salah satu pedagang kaki lima di sekitar Jalan Kedasih Raya, mengatakan, banjir sudah tiga kali melanda daerah itu sejak 1 Januari 2020. Banjir itu disebut yang paling parah karena ketinggian air di kawasan itu mencapai 1 meter.
”Banjir dari luapan Kali Cilemahabang. Sebagian kawasan di Jababeka juga terendam banjir,” katanya.
Jalan Kedasih Raya di kiri dan kanannya berdiri berjejer pusat pertokoan dan minimarket. Jalan itu juga merupakan jalanan penghubung antarbeberapa kawasan industri Jababeka.

Genangan air dan sisa lumpur yang masih menggenangi perumahan warga di Jalan Kedasih, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, Jumat (28/2/2020).
Banjir itu juga meluas dan menggenangi perumahan warga di area belakang Jalan Kedasih Raya. Sebagian perumahan warga tampak masih terendam air dan lumpur pada Jumat, (28/2/2020).
Sebagian warga menilai banjir yang sudah tiga kali terjadi dalam kurun Januari dan Februari itu bukan semata-mata karena luapan dari Kali Cilemahabang. Banjir dengan ketinggian sekitar 1 meter itu disebabkan buruknya drainase di kawasan perumahan itu.
Dari penelusuran Kompas, sebagian drainase di kawasan perumahan hingga pusat perbelanjaan di sekitar Jalan Kedasih Raya dangkal dan tertutup sampah. Air yang masih menggenangi sejumlah titik jalan itu juga tampak tak mengalir.
Di tempat lain, di Jalan Cilemah Abang, Jayamukti, Cikarang Pusat, ada juga saluran drainase yang tersumbat lumpur dan sampah. Mustofa (52), salah satu warga di Jalan Cilemah Abang, mengatakan, banjir di tempat itu ketinggiannya sekitar 30 sentimeter. Banjir itu berasal dari luapan drainase-drainase kecil di perumahan itu.

Kondisi Kali Cilemahabang di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jumat (28/2/2020).
”Waktu itu Kali Cilemahabang, kan, lagi penuh. Air dari sini tidak bisa mengalir ke kali, makanya lari ke mana-mana dan banjir,” katanya.
Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bekasi Nur Chaidir, banjir yang melanda kawasan industri Jababeka akibat meluapnya Kali Cilemahabang. Proses penanganan banjir yang merendam kawasan industri itu sudah dilakukan Jababeka dengan membangun tanggul sungai sepanjang Cilemahabang.
”Di dalam perizinan pengembangan itu, water pump itu harus ada dan rata-rata penggunaan itu harus tercapai. Sebab jika kawasan itu kebanjiran, otomatis nilai pasarannya berkurang,” katanya.

Banyak faktor
Menurut Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bekasi Adeng Hudaya, banjir yang melanda Kabupaten Bekasi pada 24 Februari dipengaruhi dua faktor. Pertama, akibat meluapnya sejumlah aliran sungai, seperti Sungai Citarum, Cikarang Bekasi Laut, Kali Jambe, Cibeet, dan lain-lain. Kedua, di kawasan perkotaan, banyak saluran drainase yang tak berfungsi akibat tertutup sampah.

Perbaikan sementara tanggul jebol akibat luapan Sungai Citarum di Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (28/2/2020).
Keadaan ini diperparah dengan tak tersedianya sumur resapan di area perumahan dan kawasan industri yang terbangun di masa lampau. ”Kami berharap dari dinas-dinas terkait yang punya perizinan, kalau ada pembangunan, jika tidak ada sumur resapan jangan diizinkan dibangun perumahan,” kata Adeng.
Terus bertumbuh
Nur Chaidir, yang juga menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, mengakui, pertumbuhan kawasan perumahan dan industri di Kabupaten Bekasi masih sulit dibendung. Pertumbuhan penduduk yang kian masif itu juga terus meluas hingga ke tepi-tepi sungai di Kabupaten Bekasi.
”Sebagian besar sempadan sungai di Bekasi sudah dipadati bangunan liar. Hal ini menghambat laju air sehingga meluap ke rumah-rumah warga,” katanya.
Program perlindungan terhadap daerah-daerah resapan air juga selama ini belum berjalan. Dari 13 situ yang ada di Kabupaten Bekasi, sebagian besar dalam kondisi tidak terawat. Banyak situ yang batasnya dikuasai dan dicaplok warga sebagai hak milik. Padahal, jika merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031, Pasal 23 menyebutkan, ada 13 situ seluas 149 hektar yang harus dilindungi.

Foto aerial Situ Cibeureum yang airnya surut saat musim kemarau di Desa Lambang Jaya dan Desa Lambang Sari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (17/9/2019). Di Bekasi, terjadi pengurangan luas lahan yang mencolok dari sembilan situ yang didata Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi tahun 2002
”Jadi kami sedang berupaya agar situ-situ itu bisa kembali ke fungsi awal, minimal ditata dulu. Selama ini karena berbagai kesibukan, perawatan terhadap situ terlewatkan,” katanya.
Menurut Chaidir, keberadaan situ dinilai urgen dan sensitif untuk melindungi suatu kawasan dari banjir. Misalnya, Situ Binong, Desa Hegarmukti, Cikarang Pusat, yang sudah ditata Pemerintah Kabupaten Bekasi mampu mengurangi masalah banjir yang sebelumnya sering merendam kawasan di sekitar situ itu.
Sawah dilindungi
Chaidir mengakui, pertumbuhan daerah industri dan kawasan perumahan di Kabupaten Bekasi menyebabkan banyak lahan persawahan yang hilang dan berganti menjadi daerah permukiman atau kawasan industri. Pemerintah Kabupaten Bekasi saat ini masih mencoba mengimbangi laju pertumbuhan perumahan dan industri dengan berencana merevisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah.
”Dinas pertanian sedang merancang peraturan daerah tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan. Ini bertujuan memberi perlindungan terhadap areal persawahan,” katanya.

Petani penggarap lahan meratakan areal persawahan untuk memulai masa tanam bibit padi di Desa Srijaya, Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (13/2/2020). Ketersedian air selama musim hujan dan irigasi yang lancar dimanfaatkan petani setempat untuk memulai masa tanam.
Kasus hilangnya lahan pertanian di Kabupaten Bekasi bukan kisah baru. Merujuk pada catatan Kompas, kawasan Cikarang, misalnya, sejak awal dirancang sebagai zona urban Jabodetabek dan didesain menjadi kawasan industri dengan konsep pembangunan yang tidak mencemari lingkungan. Namun, pembangunan itu berdampak pada hilangnya ribuan lahan persawahan dan pabrik-pabrik bata milik warga.
Hilangnya area sawah di Cikarang itu diceritakan Antom (38), salah satu warga Telaga Asi, Cikarang Barat. Lelaki yang setiap hari bekerja sebagai tukang parkir di salah satu minimarket di Jalan Kedasih Raya mengatakan, kawasan industri Cikarang di tahun 1970-an masih merupakan daerah rawa dan lahan persawahan.
”Dari cerita ayah, dulu orangtua saya biasanya cari kayu bakar di sekitar sini. Mereka bisa jalan kaki 5 sampai 10 kilometer melintasi daerah ini yang masih berupa rawa dan sawah,” katanya.
Daerah Cikarang kemudian berubah menjadi daerah permukiman dan industri sejak tahun 1990-an. Saat ini, sebagian besar kawasan di Cikarang didominasi kaum urban.
Dari catatan Kompas, Pembangunan Cikarang Real Estate dimulai PT Kawasan Industri Jababeka pada 1990. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, harus ada fasilitas berwawasan lingkungan. Jababeka menyediakan pengelolaan limbah, air, jaringan telepon, listrik, dan jalan.
Baca juga: Peralihan Tata Ruang Jadi Pemicu Banjir di Kota Bekasi
Baca juga: Terdampak Banjir Paling Parah, 10.000 Keluarga di Kabupaten Bekasi Mengungsi
Data yang diolah Kompas, dari Pusat Teknologi dan Penginderaan Jauh, sebaran kota baru di Kabupaten Bekasi pada tahun 1984-2017 sedikitnya terbagi menjadi empat wilayah, yakni dua kota baru dengan luasan 3.001-6.000 hektar, satu kota baru dengan luas wilayah 1.000-3.000 hektar, dan satu kota baru dengan luasan di bawah 1.000 hektar (Kompas, 7/8/2019).
Kala alam terus didedah, dialihfungsi, tanpa menjaga keseimbangan lingkungan, luapan Citarum dan sungai-sungai lain pun masih sangat mungkin terjadi lagi.