Pengusaha Desak DKI Siapkan Antisipasi agar Tidak Terus Merugi akibat Banjir
Kerugian akibat banjir di Ibu Kota pada Selasa lalu mencapai Rp 56,72 miliar. Pengusaha mendesak Pemprov DKI Jakarta segera menyiapkan antisipasi agar bencana serupa tak terus berulang.
Oleh
helena f nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam dua bulan terakhir, banjir besar melanda wilayah Jakarta. Terbaru adalah banjir pada Selasa (25/2/2020). Dalam hitung-hitungan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, kerugian yang terjadi sekitar Rp 56,72 miliar atau lebih kecil dari kerugian Januari 2020 yang mencapai Rp 960 miliar. Meski begitu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta tidak boleh lengah, tetapi harus terus memperbaiki sarana dan prasarana serta meningkatkan koordinasi untuk antisipasi banjir agar kerugian tidak terus terjadi.
Sarman Simanjorang, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) dalam diskusi dampak banjir terhadap perekonomian di DKI Jakarta yang digelar Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta, Jumat (28/2/2020), menjelaskan, angka Rp 56,72 miliar muncul dari perhitungan di sekitar sektor usaha dan kegiatan perdagangan, belum menghitung kerugian dari sektor transportasi.
Banjir pada 25 Februari, jelas Simanjorang, hanya satu hari dan cepat surut. Meski satu hari, banjir terjadi pada hari kerja dan membuat sektor angkutan umum terganggu. Itu membuat banyak tenaga kerja atau karyawan atau staf tidak bisa masuk kerja akibat kesulitan mengakses angkutan umum.
Dampak lanjutnya, pengiriman barang tersendat dan banyak toko di pusat perdagangan tutup. Juga karyawan kantor banyak yang memilih masuk setengah hari.
Dari pantauan HIPPI, jelas Simanjorang, pusat perdagangan utama yang terganggu adalah di kawasan Mangga Dua Glodok, Kelapa Gading, ritel, dan di pasar-pasar tradisional.
Pusat perbelanjaan yang di antaranya berisi toko grosir, ruko-ruko, ada 21 titik kawasan perdagangan/perniagaan di Glodok/Mangga Dua. Di Kelapa Gading ada 9 mal dan kawasan perniagaan. Lalu ritel di seluruh Jakarta ada 1.000 ritel.
”Ada 50-60 persen toko-toko di pusat perbelanjaan itu yang tutup saat banjir 25 Februari 2020,” ucapnya.
Sementara untuk pasar tradisional ada 20 pasar yang terdampak. ”Angka ini lebih sedikit dibandingkan pasar yang terdampak pada banjir 1 Januari 2020 yang mencapai 28 pasar,” katanya.
Dampak yang terjadi pada pasar tradisional pun berbeda. Simanjorang menjelaskan, bila pada banjir 1 Januari 2020 para pedagang sama sekali tidak siap sehingga banyak barang yang basah dan tidak bisa diselamatkan, pada banjir 25 Februari banyak barang dagangan masih bisa diselamatkan dan banjir cepat surut.
”Dampak lainnya adalah turunnya jumlah pengunjung hotel, restoran, kafe, dan mal. Karena sudah macet di mana-mana, warga DKI malas keluar rumah,” ucapnya.
Dari semua kegiatan perekonomian yang terhambat pada Selasa itu, lanjut Simanjorang, tanpa menghitung kerugian dari aspek transportasi umum, muncul angka kerugian Rp 56,72 miliar tersebut.
Angka itu, lanjut Simanjorang, memang lebih kecil dibandingkan dengan angka kerugian akibat banjir 1 Januari 2020. ”Kalau kerugian Januari 2020 itu perhitungan kami mencapai Rp 1 triliun. Kalau Februari ini, dari data yang kami dapatkan dari pengusaha, itu mencapai Rp 56,72 miliar,” kata Simanjorang.
Tidak pengaruhi inflasi
Angka kerugian Februari itu diklaim Simanjorang tidak terlalu mempengaruhi inflasi di Jakarta meskipun data kerugian yang dipaparkannya belum termasuk dampak logistik dan transportasi di Jakarta selama banjir terjadi.
”Kerugian yang kami hitung belum termasuk dampak logistik dan transportasi, baik LRT, MRT, TJ, maupun angkutan online. Tetapi, dibandingkan dengan Januari lalu, Februari tidak terlalu parah. Angkutan masih bisa beroperasi siang hari, tidak lumpuh total seperti Januari,” ujarnya
Dalam kesempatan yang sama, Hamid Ponco Wibowo, Kepala Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta, menjelaskan, dampak banjir Jakarta pada 2020 ini, khususnya pada Januari 2020, lebih kecil dibandingkan dengan dampak pada tahun-tahun sebelumnya.
”Dampak ekonomi banjir Jakarta pada Januari 2020 sebenarnya tak terlalu besar dibandingkan dengan banjir tahun-tahun sebelumnya meski melihat angka intensitas curah hujan pada Januari ini paling tinggi,” jelasnya.
Hamid menjelaskan, kerugian akibat banjir pada Januari 2020 menyentuh di angka Rp 960 miliar. Angka itu diperoleh dari data yang terkumpul dari para asosiasi usaha yang terdampak banjir.
Melihat ke banjir sebelum-sebelumnya, angka kerugian banjir Januari 2020 lebih kecil daripada kerugian banjir Februari 2015 (Rp 1,5 triliun). Juga lebih kecil dari angka kerugian karena banjir Januari-Februari 2014 (Rp 5 triliun), Februari 2007 (Rp 8,8 triliun), atau Februari 2002 (Rp 9,8 triliun).
Hamid menambahkan, dampak ekonomi akibat banjir hanya berpengaruh sebesar 0,025 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) DKI Jakarta.
Menurut Hamid, hal ini dipengaruhi cepat surutnya banjir pada tahun ini dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, teknologi media sosial yang, walaupun membuat banjir tampak ”ramai”, memiliki peran positif bagi kesiapsiagaan masyarakat.
Meskipun terbilang sangat kecil dampaknya, ke depan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus menyiapkan sarana dan prasarana yang lebih siap lagi, sebagai antisipasi. Apalagi masih akan ada curah hujan tinggi di Jakarta.
Simanjorang berharap Pemprov DKI juga lebih berkoordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tentang curah hujan sehingga bisa dipersiapkan antisipasi banjir. Selain itu, ia juag berharap Pemprov DKI segera melakukan langkah-langkah untuk mengurangi banjir, mulai dengan pemeliharaan saluran, got, hingga revitalisasi 13 sungai.