Perempuan Sulit Akses Layanan Aborsi Berstandar Medis
Hingga kini tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan sebagai pengampu layanan sesuai Permenkes No 3/2016. Di satu sisi, pendidikan kesehatan reproduksi dan program keluarga berencana juga tidak sepenuhnya berjalan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F73573ae9-580c-4b3a-8f8e-b376a3c0eda7_jpg.jpg)
Sejumlah barang bukti diperlihatkan saat pengungkapan kasus praktik aborsi ilegal di rumah tinggal di Jalan Paseban Raya 61, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).
Kejelasan penerapan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kedaruratan Perkosaan hingga kini tidak ada. Hal ini yang mengakibatkan perempuan yang hendak menggugurkan kandungan terpaksa mengakses tempat yang tidak menyediakan layanan berstandar medis.
”Hingga kini tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan sebagai pengampu layanan sesuai Permenkes No 3/2016. Di satu sisi, pendidikan kesehatan reproduksi dan program keluarga berencana juga tidak sepenuhnya berjalan sesuai standar,” kata Heny Widyaningrum, Koordinator Nasional Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, ketika ditemui pada Rabu (19/2/2020).
Ia menjelaskan, tidak ada perubahan signifikan antara perempuan yang mengakses layanan penghentian kehamilan dari tahun 2006 hingga tahun 2016. Data PKBI Pusat mengatakan, 75 persen mereka yang menginginkan penghentian kehamilan adalah perempuan yang sudah menikah dan mengalami kehamilan tidak direncanakan.
”Penyebabnya antara lain adalah tidak tertib menggunakan kontrasepsi, seperti pil atau lupa menggunakan kondom. Tetapi, bisa juga karena kegagalan kontrasepsi, misalnya petugas keluarga berencana (KB) tidak tuntas menjelaskan bahwa alat kontrasepsi tidak bisa dikonsumsi bersama obat-obatan tertentu yang berisiko menurunkan keampuhannya,” papar Heny.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2Fe6c0d976-e91e-4362-8067-4fde3bc49d57_jpg.jpg)
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (kanan) dan Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus memberikan keterangan saat pengungkapan kasus praktik aborsi ilegal di rumah tinggal di Jalan Paseban Raya 61, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).
Manual
Pada kesempatan berbeda, pakar kesehatan perempuan Marcia Soumokil menjelaskan, praktik penghentian kehamilan sejatinya banyak dilakukan secara manual oleh perempuan di rumah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Guttmacher, lembaga penelitian dari Amerika Serikat yang bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, perempuan yang melakukan penghentian kehamilan umurnya berusia 30-49 tahun dan sudah menikah.
”Mereka pertama-tama berusaha melakukan secara manual sendiri di rumah, contohnya dengan mengonsumsi jamu, obat-obatan, memijat perut, hingga melakukan aktivitas fisik yang dianggap bisa menggugurkan kandungan. Pergi ke tempat yang memberi layanan penghentian kehamilan secara profesional merupakan pilihan terakhir,” ujar Marcia.
Ia mengatakan, di era kemudahaan akses terhadap barang dan jasa secara daring memungkinkan perempuan yang hendak menghentikan kehamilan membeli obat-obatan melalui internet.
Marcia dan tim pernah melakukan eksperimen dengan memesan berbagai obat dari banyak lapak daring yang menjual obat-obatan penggugur kandungan.
Tim menemukan bahwa tidak sedikit merek obat-obatan yang dikirim kepada mereka tidak pernah terdaftar dalam obat yang dinyatakan aman oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, obat-obat yang masuk daftar WHO pun ternyata dosisnya terlalu rendah, tidak sesuai dengan kebutuhan tindakan pengguguran kandungan.
”Hal ini yang mengakibatkan perempuan mengalami pendarahan dan berisiko kepada kematian,” ujar Marcia.

Ia menjelaskan, kebutuhan layanan penghentian kehamilan dengan standar medis harus disediakan oleh negara guna mencegah para perempuan mengakses tempat-tempat yang tidak layak. Standar medis ini mencakup konseling untuk memastikan kesehatan mental dan fisik perempuan yang hendak menghentikan kehamilan.
”Di sisi lain, mengetahui data demografi mereka yang ingin menggugurkan kandungan, pendidikan kesehatan reproduksi dan penggalakan program keluarga berencana harus betul-betul dilakukan sejak usia dini. Ketika anak-anak mulai puber dan mengenal perubahan fisik maupun psikis dirinya dan orang lain agar mereka bisa mengetahui berbagai risiko kesehatan dan merencanakan kehidupan mereka dengan saksama,” kata Marcia.
Baca juga : Jaringan Menggurita Dokter Aborsi Ilegal Ancam Hidup Pasiennya
Baca juga : Tersangka Klinik Aborsi Ilegal Bisa Bertambah
Terus langgeng
Sebelumnya dilaporkan bahwa layaknya bisnis jual-beli narkoba, usaha aborsi tidak berstandar medis di Ibu Kota diperkirakan belum bakal berhenti beroperasi meski polisi berulang kali menggerebek tempat-tempat dengan layanan ”bawah tanah” tersebut. Apalagi, polisi menengarai masih ada tempat-tempat praktik serupa lainnya yang belum tersentuh setelah penggerebekan di Paseban, Jakarta Pusat.
Kepolisian Daerah Metro Jaya, Senin (10/2/2020) sekitar pukul 16.00, menggerebek sebuah rumah yang beralamat di Jalan Paseban Raya Nomor 61, Kelurahan Paseban, Jakarta Pusat, karena menjadi tempat praktik aborsi tak berstandar medis.
Tempat itu dikendalikan MM alias dokter A (46). Namun, meski berita pengungkapan kasus itu sudah diberitakan secara luas, praktik tak berstandar medis di tempat lain diduga tetap aktif.
Ini berdasarkan pantauan Kompas pada Kamis (20/2/2020) di Jalan Cimandiri dan Jalan Raden Saleh Raya, Jakarta Pusat, terhadap aktivitas penghubung tempat praktik aborsi. Mereka menawarkan untuk menghubungkan calon konsumen dengan dokter.
Di Jalan Cimandiri, seseorang berinisial G merespons sewaktu diberi kata kunci ”klinik untuk pacar”. Ia langsung meminta calon pasien untuk diajak datang ke dia saat sudah siap menjalani tindakan, kemudian bakal dijemput pihak dokter ke kliniknya.
”Lebih kurang lima kilometer dari sini,” ucap G saat ditanya soal jarak tempat aborsi dari Jalan Cimandiri. Namun, ia tidak menyebut lokasi persisnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F732f16c6-dc99-4987-b4cc-f2b9d44462ae_jpeg.jpg)
Suasana Jalan Cimandiri, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020). Penghubung tempat praktik aborsi tak berstandar menunggu calon konsumen di jalan tersebut.
Satu orang lain berinisial A di Jalan Raden Saleh Raya malah terang-terangan ”mangkal” di depan sebuah fasilitas layanan kesehatan reproduksi resmi. Ia mengajak masuk ke area tempat parkir fasilitas itu untuk mengobrol lebih jauh dan mendorong agar ke dokter aborsi lewat dia. ”Tiap hari saya di sini dari pagi sampai jam dua siang (14.00),” ujarnya.
Polda Metro Jaya pun tidak menampik ada tempat-tempat praktik aborsi tak berstandar di DKI Jakarta selain yang digerebek di Paseban. Bahkan, tempat-tempat yang belum tersentuh itu diduga berjejaring dengan rumah praktik dokter A.
Meski demikian, polisi belum membuka soal jumlah tempat praktik lain, dengan alasan agar rencana pengungkapan oleh polisi tidak terbongkar. ”Ada lebih dari satu pokoknya,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Rabu (19/2/2020).
Yusri mengatakan, dokter A bermitra dengan sekitar 50 bidan, salah satunya perempuan berinisial RM (54) yang menjadi tersangka bersama A. Mereka tidak hanya praktik, tetapi juga mempromosikan jasa aborsi secara daring.
RM, misalnya, membuat konten promosi lewat laman beralamat kliniknamora.biz dengan menginformasikan, pengguguran kandungan dilakukan secara legal oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
Selain itu, para bidan tersebut diduga tidak hanya bermitra dengan dokter A. Mereka juga terlibat aborsi tidak berstandar di tempat-tempat lain. ”Salah satunya yang di Paseban ini. Apakah ada klinik lain, ya, masih ada,” ujar Yusri.
Selain itu, polisi menduga dokter A bermitra dengan dokter pelaku aborsi tak berstandar lainnya. Di rumah Paseban, tidak hanya A yang berpraktik. Dari keterangannya, selama tiga bulan ia sedang tidak bugar sehingga ia digantikan oleh seorang dokter berinisial S. Dokter A menerima laporan serta sebagian pendapatan dari aborsi oleh S karena A penyedia tempat.
Potensi terus langgengnya aborsi tak berstandar di Ibu Kota juga terlihat dari berulangnya pengungkapan kasus serupa dari tahun-tahun sebelumnya yang seakan tidak menimbulkan efek jera.
Pada Februari 2016, Subdit Sumdaling Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menutup sembilan klinik aborsi di sekitar kawasan Raden Saleh. Klinik di Jalan Raya Paseban Nomor 61 saat itu termasuk yang disasar, tetapi ketika itu tidak digunakan dokter A. Ia berpraktik di Jalan Cimandiri, yang tempatnya juga ditutup, tetapi ia berhasil lolos.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F38712d64-a771-4150-9d06-504ff73b7e09_jpg.jpg)
Barang bukti berupa kursi untuk pasien diperlihatkan saat pengungkapan kasus praktik aborsi ilegal di rumah tinggal di Jalan Paseban Raya 61, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).
Juni 2012, polisi menyegel sebuah rumah praktik aborsi ilegal di Jalan Kramat IV, Kelurahan Kenari, Jakarta Pusat. Kepolisian juga tercatat membongkar kasus aborsi tak berstandar pada 2009 di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kota Bekasi, dan di Jakarta Selatan.
Para tersangka kasus rumah praktik aborsi di Paseban merupakan pemain lama. Dokter A merupakan buronan kasus klinik aborsi ilegal di Jalan Cimandiri, Jakarta Pusat, tahun 2016.
RM pernah divonis penjara tiga tahun terkait perkara aborsi di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, tahun 2006. Ada juga satu tersangka lain, S alias I, yang pada 2016 ditangkap karena terlibat praktik aborsi ilegal dokter A dan divonis dua tahun penjara.
”Mereka ini sama seperti pelaku narkoba atau curanmor (pencurian kendaraan bermotor). Sekarang masuk penjara, besok keluar, habis itu langsung melakukan lagi kegiatan serupa,” ujar Yusri, Jumat (14/2/2020).
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dokter Weningtyas mengatakan, sebenarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melegalkan aborsi, dengan syarat hanya dilakukan terhadap korban pemerkosaan dan untuk kedaruratan medis. Semuanya melalui penilaian yang tidak sebentar, tidak bisa langsung eksekusi pengguguran.
”Kedaruratan medik, misalnya, membahayakan kesehatan atau nyawa ibu, atau misalnya ada cacat bawaan dan kelainan genetik yang sulit dilakukan perbaikan sehingga akan menyulitkan janin saat hidup,” kata Wening.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F31304881-6270-46d4-95f9-557c249d6d4d_jpg.jpg)
Polisi membawa tersangka pelaku praktik aborsi ilegal di rumah tinggal di Jalan Paseban Raya 61, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).
Untuk korban pemerkosaan, Pasal 31 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan, aborsi hanya bisa dilakukan jika usia kehamilan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Pasal 35 Ayat 2 Huruf f PP tersebut juga menyatakan, aborsi tidak mengutamakan imbalan materi. Sementara itu, dokter A dan kawan-kawan menentukan tarif untuk meraup untung dari praktik aborsi ilegal mereka.
Tarif aborsi dalam kondisi normal untuk usia kandungan satu bulan Rp 1 juta, usia tiga bulan Rp 3 juta, dan untuk kehamilan yang lebih tua, tarif dinegosiasikan dengan pasien.
Untuk usia kehamilan 1-3 bulan, pengguguran menggunakan perangkat aspirasi vakum dan proses berlangsung sekitar 5 menit. Adapun untuk kehamilan 4 bulan ke atas, aborsi menggunakan metode induksi dengan waktu antara 12 jam hingga dua hari, bergantung kondisi pasien dan kandungan.
Dengan menghitung jumlah kunjungan dalam dua bulan 10 hari, ada 1.613 pasien mendaftar untuk berkonsultasi di Klinik Aborsi Paseban, dengan 903 pasien di antaranya menjalani aborsi.
Para tersangka mengaku beroperasi di Paseban sejak Mei 2018 atau selama satu tahun 9 bulan, dan sudah mengumpulkan pemasukan Rp 6,59 miliar. Setelah dikurangi pengeluaran, dokter A terhitung menerima pendapatan bersih Rp 5,43 miliar.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2Fc5cca233-2122-41a9-b39e-1fb673012c84_jpg.jpg)
Polisi membawa tersangka MM alias dokter A, pelaku praktik aborsi ilegal, di rumah tinggal di Jalan Paseban Raya 61, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020).
Para tersangka dijerat dengan Pasal 83 juncto Pasal 64 UU Nomor 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, dan/atau Pasal 75 Ayat 1, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, dan/atau Pasal 194 juncto Pasal 75 Ayat 2 UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Ancaman hukuman berdasarkan pasal dalam UU Nomor 36/2009 adalah penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.