Penerapan kawasan berorientasi transit yang kini sering disebut dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, seperti pengembangan hunian tinggi di sekitar stasiun, dinilai menyimpang dari konsep aslinya.
Oleh
helena f nababan
·3 menit baca
Rencana pengembangan kawasan berorientasi transit atau Transit Oriented Development (TOD), sudah tertuang dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Namun pengembangan TOD belum maksimal karena sejumlah aturan pendukung belum ada.
Edi Nursalam, Direktur Prasarana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Jumat (14/02/2020) dalam Seminar Internasional tentang Jalan Rel Kereta dan Pengembangan Area di Jakarta yang digelar Japan Transport and Tourism Research Institute (JTTRI) menjelaskan, sebetulnya TOD yang dimaksud dalam RITJ, bukan seperti yang ada sekarang. Dalam RITJ tersirat bahwa jika di satu lokasi ada stasiun kereta api, lalu di sekitarnya diproyeksikan dibangun untuk tumbuh menjadi kawasan hunian bangunan tinggi atau kawasan permukiman.
Berdasarkan konsep tersebut, pengembang kawasan bisa dengan mudah meminta akses ke stasiun. Sementara pihak pengelola stasiun tidak atau sedikit menerima manfaat dari kondisi tersebut.
Seharusnya, lanjut Edi, ada aturan tentang kontribusi. Aturan tersebut yang bisa mengikat pihak swasta sebagai pihak yang membangun properti di sepanjang jalur kereta api turut berkontribusi dalam pembangunan dan pengembangan jalan kereta. "Aturan ini yang belum ada," kata dia.
Jika aturan tersebut nanti dilengkapi dalam arti ada turunan detil dari Perpres RITJ, ke depan bisa diatur kontribusi seperti apa yang mesti dilakukan pihak swasta, dan apa yang bisa dilakukan pemerintah.
Di sisi lain, pengembangan TOD berhubungan dengan penataan tata ruang dan kawasan, serta konektivitas. Untuk itu, masih menurut Edi, aturan yang juga harus direvisi adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota.
Pada prinsipnya, lanjut Edi, TOD merupakan pengembangan konsep yang mengintegrasikan desain ruang kota untuk menyatukan orang, kegiatan, bangunan, dan ruang publik melalui konektivitas yang mudah dengan berjalan kaki ataupun bersepeda serta dekat dengan pelayanan angkutan umum yang sangat baik ke seluruh kota.
"Karena aturan seperti aturan tentang kontribusi belum ada, yang ada sekarang belum lah TOD. Yang ada baru pengembangan properti," jelasnya.
Heru Wisnu Wibowo, Direktur Sarana Perkeretaapian, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan menjelaskan dalam pengembangan TOD juga bukan hanya pengembangan properti. Namun, pemerintah juga terlibat supaya masing-masing bisa saling diuntungkan.
"Belajar dari paparan (di seminar JTTRI), harus ada juga upaya pemerintah. Karena TOD dapat meningkatkan nilai tangkapan untuk sumber finansial jalan rel kereta," jelas Wisnu.
Sejauh ini dari pengamatan di lapangan, mencomot nama TOD, di beberapa stasiun seperti di Rawa Buntu di Tangerang Selatan juga di Tanjung Barat di Jakarta Selatan tengah berlangsung proyek pembangunan hunian tinggi. Dikhawatirkan tanpa penerapan konsep dan aturan yang jelas, lokasi-lokasi tersebut justru akan memicu kemacetan dan kesemrawutan baru.