Kawula muda belum merasa bebas dan aman berekspresi di ranah maya. Mereka khawatir terbentur ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Persepsi itu terbentuk dari kasus-kasus yang menjerat tokoh.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Kini sulit membayangkan keseharian manusia modern tanpa internet. Layanan ini telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat tanpa memandang kelas sosial, kelompok umur, dan latar belakang ekonomi. Hampir semuanya saling terhubung selama tersedia internet. Alhasil, dunia serasa berada dalam genggaman tangan.
Kehadiran internet pun membawa perubahan positif dan sebaliknya. Tingginya manfaat ekonomi sebanding dengan kasus kejahatan yang terjadi. Tidak heran, pada waktu yang bersamaan muncul pembatasan kebebasan bersuara, ujaran kebencian, kabar bohong, dan perisakan.
Perubahan positif dan negatif ini menyebar begitu cepat melalui berbagai platform, salah satunya media sosial dan akun-akun di dalamnya. Indonesia dengan pengguna internet mencapai 171,17 juta jiwa turut merasakan perubahan, khususnya perubahan negatif yang semakin menggejala akhir-akhir ini.
Survei yang dirilis Indonesia Youth IGF, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Pamflet Generasi bertepatan dengan Safer Internet Day 2020 pada 11 Februari, sebuah perayaan global demi terciptanya dunia maya yang lebih baik, menunjukkan, sebanyak 62,3 persen generasi milenial merasa tidak bebas berekspresi karena tidak yakin kebebasan berekspresi di dunia maya dilindungi dengan baik.
Survei ini melibatkan 284 responden berusia 17-25 tahun. Sebanyak 62,3 persen tidak yakin perlindungan kebebasan berekspresi. Bahkan, sebanyak 33,5 persen dengan tegas menjawab kebebasan berekspresi tidak dilindungi dengan baik. Sisanya, sebanyak 4,2 persen, yakin kebebasan berekspresi dilindungi dengan baik.
Setidaknya ada dua insiden kebebasan berekspresi yang terbentur Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pertama, vloger Rius Vernandes yang dilaporkan Serikat Karyawan Garuda terkait pencemaran nama baik.
Rius dilaporkan setelah Instastory miliknya yang menampilan kartu menu Kelas Bisnis Garuda dari kertas biasa menjadi viral. Pihak Garuda menganggap hal itu merugikan citra Garuda.
Kedua, pemanggilan gamer dan youtuber Kimi Hime oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) atas dugaan mengunggah konten yang melanggar unsur kesusilaan dalam konten video unggahannya.
Kasus Rius berakhir damai dengan pencabutan laporan. Sementara Kimi menghapus konten Youtube dan Instagram yang dianggap vulgar.
”Dari perspektif tata kelola internet, sebagian dari pasal UU ITE telah digunakan sebagai landasan pembatasan konten yang tidak proporsional. Hal ini berpotensi melanggar hak kebebasan berekspresi seseorang di dunia maya. Efeknya bisa banyak, termasuk swasensor,” ucap Ellen Kusuma, Organizing Committee Indonesia Youth IGF dan SAFEnet.
Sebanyak 69 persen setuju bahwa pelaporan Rius ke polisi merupakan upaya pembatasan kebebasan berekspresi. Sisanya, sebanyak 18,7 persen tidak yakin dan 12,3 persen tidak setuju.
Untuk kasus Kimi, sebanyak 57,4 persen setuju bahwa permintaan Kemkominfo merupakan upaya pembatasan kebebasan berekspresi. Sisanya, sebanyak 22,9 persen tidak setuju dan sebanyak 19,7 persen tidak yakin.
Bebas?
Generasi milenial belum sepenuhnya merasa bebas dan aman untuk berekspresi di ruang maya. Sebanyak 56 persen tidak merasa bebas dan sebanyak 44 persen merasa bebas. Sementara sebanyak 82,4 persen merasa tidak aman dan sebanyak 17,6 persen merasa aman.
Ekspresi yang dimaksud antara lain identitas dan peran jender, pandangan politik, keagamaan, suku dan ras, seksualitas, hobi, dan karya.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, beberapa tahun terakhir warganet atau masyarakat yang mengakses internet kurang dan bahkan takut untuk menyampaikan pendapat atau gagasan tentang berbagai persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
”Beberapa orang yang menulis rilis ke media kemudian dijadikan tersangka. Ada orang sedang berbicara di televisi lalu dijadikan tersangka. Fenomena ini membuat orang takut bersuara. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena berpengaruh pada lemahnya kontrol sosial,” ucap Arsyad.
Ucapan Arsyad ada benarnya. Ketakukan orang bersuara melalui ranah maya selaras dengan jumlah kasus hukum yang menjerat penggunanya.
Berdasarkan data SAFENet, ada 292 kasus sepanjang 2018. Jumlah ini meningkat dari 140 kasus pada 2017. Bahkan jumlah kasus pada 2018 lebih banyak daripada akumulasi kasus sepanjang 2011-2017 dengan total 216 kasus.
Kasus yang menyita perhatian publik antara lain penangkapan aktivis Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu yang menyuarakan kritiknya melalui media sosial.
Momok
Sebanyak 51,4 persen generasi milenial menganggap pidana akibat UU ITE menjadi momok yang paling besar. Kemudian perundungan (26,8 persen), intimidasi dan ujaran kebencian (7 persen), pembatasan akses dan blokir (6 persen), kejahatan siber (3,9 persen), pelanggaran privasi (2,8 persen), dan hoaks (2,1 persen).
Mudah untuk menemukan blok-blok sosial akibat dari polarisasi pendapat dan pilihan dalam perbincangan yang terjadi di media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Blok-blok sosial ini layaknya dua kubu yang saling berseteru.
”Seru sebenarnya untuk disimak, dan dalam konteks demokrasi dan komunikasi politik, hal ini menandakan ada yang beroposisi dan yang memiliki posisi,” ucap Direktur Eksekutif SAFENet Damar Juniarto.
Menurut Damar, seharusnya perbedaan pendapat seperti itu tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi, kerap kali perbincangan itu mengandung ujaran kebencian disertai ancaman.
”Dua hal yang ini sebetulnya merupakan penanda bahwa ada noda hitam dalam perbincangan di media sosial, di mana kebebasan berekspresi ditunggangi oleh mereka yang sebetulnya berkelakuan berseberangan dengan kebebasan berekspresi,” ujarnya.
Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Damar menjelaskan, setidaknya ada tiga penyebab. Pertama, banyak orang berpikir bahwa di media sosial orang bisa bersikap sebebas mungkin, seolah tidak ada hukum yang berlaku dalam percakapan sosial yang terjadi.
Padahal hal itu keliru besar. Sejak 2008 sudah ada UU ITE yang mengatur hal-hal yang tidak boleh disampaikan dalam media sosial.
Kedua, pemakaian media sosial tidak diikuti dengan pelatihan atau pembekalan dalam wujud literasi media yang seharusnya sudah sedari dini disosialisasikan dalam pendidikan.
”Misalnya di beberapa platform digital sekarang sudah dibuat semacam community guideline (panduan) yang bisa dianggap sebagai semacam moral ethics yang disepakati di antara para pengguna platform,” kata Damar, menambahkan.
Ketiga, penegakan etika media sosial yang harusnya dikembangkan agar lebih aktual. Tidak semua harus diregulasi dengan hukum walakin dapat diatur dengan kesepakatan bersama atas nilai-nilai.