Perlawanan pengguna kendaraan yang melanggar aturan lalu lintas seakan menjadi fenomena. Belum lama peristiwa yang satu, muncul lagi peristiwa berikutnya. Inikah era kelahiran ”koboi-koboi jalanan”?
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·4 menit baca
Koboi ternyata tidak hanya ada di film. Sikap sok jago ala film-film koboi juga ada di jalanan Ibu Kota. Setidaknya ini terlihat dari rekaman video seorang pria berkemeja biru mendorong, mencekik, dan menantang seorang polisi lalu lintas. Dalam video viral itu, polisi yang menilang pengemudi tidak melawan meskipun mendapat perlakuan demikian.
Video yang diunggah akun Twitter TMC Polda Metro Jaya itu telah ditonton 327.000 kali dengan 2.249 akun mencuitkan lagi per Rabu (12/2/2020). Menariknya, warganet menyoal polisi yang tidak tegas menindak pelaku secara langsung di lokasi. Ketidaktegasan dianggap sebagai preseden buruk dan akan melanggengkan kejadian serupa.
Bahkan, mereka membanding-bandingkan dengan polisi di Amerika Serikat dan negara Eropa yang tegas merespons perlakuan demikian dengan memerintahkan untuk tiarap hingga memborgol.
Polisi merespons dengan segera menangkap pelaku. Setelah ditangkap, pelaku mengaku emosi dan khilaf saat menantang polisi. ”Saya menyesal dan berjanji tidak melakukan hal semacam ini lagi,” ujar pria berinisial TS itu.
Beberapa hari berselang, kejadian serupa berulang. Seorang pengendara nekat merampas gawai petugas, lalu melarikan diri ketika ditilang karena menerobos jalur bus Transjakarta.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, berpendapat, saat melawan, seseorang bisa dengan sangat percaya diri meyakinkan petugas bahwa yang dilakukannya (pelanggaran) tidak salah. Itu terjadi lantaran literasi hukum, khususnya berlalu lintas, masih rendah.
Tidak semua orang tahu tentang harus menghidupkan lampu kendaraan pada siang hari. Untuk aturan tersebut, dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, Presiden Joko Widodo terekam tidak menyalakan lampu sepeda motor saat berkendara.
Persoalan lain ialah ketidaktahuan tentang marka atau rambu, posisi ketika hendak berbelok, dan sebagainya. ”Jangankan berkendara, saat berjalan kaki saja masih ada yang bingung posisinya di kiri atau kanan,” ujar Devie, Rabu (12/2/2020).
Devie membandingkan dengan negara-negara lain. Sebelum diizinkan berkendara, seseorang harus melewati rentang waktu persiapan yang panjang, bahkan mulai dari sekolah menengah atas. Tujuannya agar memahami ketentuan berlalu lintas dan siap untuk berkendara.
Sementara wartawan Kompas, Khaerul Anwar, dalam liputan ke Malaysia, Februari 2018, menyaksikan sendiri ketertiban berkendara di Kuala Lumpur. Antrean mobil pribadi, bus, dan angkutan umum mengular, rapi, berhenti begitu lampu lalu lintas menyala. Tidak satu pun pengendara memarkir roda kendaraan melewati marka jalan di sekitar Kuala Lumpur Convention Center Menara Kembar Petronas.
Selagi lampu belum berganti warna hijau, pengemudi memarkir kendaraan dengan cara mengambil jarak tertentu dengan cerobong knalpot mobil di depannya. Bahkan, di tengah kemacetan, para pengendara di Malaysia mampu mengendalikan emosinya dengan tidak membunyikan klakson.
Klakson dibunyikan dalam kondisi tertentu, misalnya ketika ingin pindah jalur ke kiri marka jalan sembari menyalakan lampu sein. Pengendara yang kebetulan lebih dulu melintas di jalur kiri marka jalan akan membunyikan klakson sekali untuk mengingatkan pengendara agar memberi kesempatan mendahuluinya.
Etika dan rambu-rambu lalu lintas itu ”diamalkan” secara konkret oleh sebagian besar pengendara kendaraan roda dua dan roda empat. Apalagi di jalanan di Malaysia biasanya terpasang kamera yang memantau perilaku pengemudi dan kecepatan pengendara di jalan. Jika melanggar aturan, pengendara akan terkena tilang (saman), sanksi denda uang, hingga pencabutan surat izin mengemudi (SIM).
Padahal, untuk mendapatkan SIM di Jabatan Pengangkutan Jalan Malaysia amat ribet. Ada beberapa langkah untuk memperoleh SIM. Langkah-langkah tersebut adalah kursus kurikulum pendidikan pemandu (rambu-rambu dan peraturan lalu lintas), computerize, tata cara menggunakan dan pengetahuan tentang mobil, mempelajari cara membawa mobil, dan tes mengemudi dengan dibimbing petugas.
Luwes
Karakter sosial yang luwes terhadap aturan hukum di Indonesia membuat warga merasa punya hak atau keistimewaan tertentu sehingga percaya diri menuntut perlakuan yang sama ketika berhadapan dengan hukum. ”Jangan heran kalau orang yang salah akan lebih ngotot. Paling mengerikan, Anda tidak tahu bahwa Anda salah. Ini problem besar,” kata Devie.
Hak atau keistimewaan itu didapatkan seseorang karena status atau jabatan, misalnya pejabat, pengguna mobil pelat khusus dan mobil mewah. Mereka cenderung bebas ketika berlalu lintas hingga ”damai” saat ditilang.
Mirisnya, warga lain melihat dan meniru karena merasa punya hak yang sama. Kondisi ini semakin parah ketika upaya melawan tidak ditindaklanjuti dengan serius.
Devie mencontohkan, video tilang yang beredar tidak menampilkan hingga proses penegakan hukum sehingga perlawanan berulang. ”Warga tidak tahu kalau akhirnya benar-benar dihukum karena video terpotong, lolos dari tilang. Padahal faktanya benar ditilang,” ujarnya.
Penggalan-penggalan informasi yang tidak utuh, termasuk tidak jelasnya penanganan kasus yang melibatkan orang dengan keistimewaan, justru mengilhami orang-orang melakukan imitasi.
Setidaknya perlawanan terhadap petugas terjadi atas dorongan emosional dan pengalaman (salah satunya informasi). ”Saat ditilang, dia (pelanggar) coba marah-marah saja karena berpikir polisi tidak melakukan apa-apa seperti yang sudah-sudah terjadi,” katanya.
Menyikapi itu, seharusnya polisi menunjukkan ketegasan sebagai efek jera. Di samping itu, polisi terus-menerus menyebarluaskan informasi berlalu lintas, termasuk penegakan hukum.
Pelanggaran lalu lintas dan perlawanan terhadap petugas bukan sekadar lelucon, seperti halnya ibu-ibu menyalakan lampu sein kanan, tetapi belok ke kiri. Sebab, warga, khususnya pengguna jalan, akan tertib ketika melihat ketegasan.