Kekhawatiran Warga Semakin Sering Saat Hujan Melanda Ibu Kota
Setiap kali hujan deras, warga Jakarta semakin khawatir kebanjiran. Kecemasan ini mudah muncul karena sejak awal 2020 banjir beberapa kali melanda Ibu Kota.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Ariyadi (60) sempat ketar-ketir sambil memegangi ponsel sepanjang Rabu (12/2/2020). Sejak siang, ia mendapat kabar dari media sosial akan terjadi hujan di beberapa wilayah di Jakarta Selatan. Rumahnya di RW 005 Pejaten Timur, Pasar Minggu, termasuk wilayah yang dikabarkan akan hujan.
Kekhawatiran itu muncul lantaran wilayah hunian Ariyadi merupakan kawasan rendah yang dekat dengan Sungai Ciliwung. Sedikit hujan pada Sabtu (8/2/2020) saja bisa memicu genangan hingga sedikitnya 60 sentimeter di Pejaten Timur.
Hingga sore ini, sebagian warga waspada dan berusaha mengamati apakah sungai di belakang rumah mereka meluap saat hujan. ”Biasanya memang ada informasi dari tim penangulangan bencana kalau sungai meluap, tetapi kami juga memantau terus. Siapa tahu petugas luput, mereka pun bisa lupa, kan,” ucap Ariyadi, khawatir.
Ungkapan Ariyadi mungkin mewakili kekhawatiran sebagian warga Jakarta saat musim hujan. Awal Januari 2020 ditandai dengan banjir besar yang merendam hampir seluruh pusat kota. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, hujan ekstrem memicu genangan yang terjadi merata di Jakarta dan sekitarnya pada 31 Desember 2019 sampai dengan 1 Januari 2020.
Sebaran genangan yang merata itu juga diiringi curah hujan tertinggi, yakni 377 milimeter (mm) per hari di Bandara Halim Perdanakusuma. Jumlah ini tertinggi di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali saat zaman kolonial Belanda pada 1866. Sebelumnya, rekor curah hujan tertinggi terekam di Sunter pada Februari 2015 dengan ketinggian 367 mm per hari.
Memasuki Februari 2020, warga Jakarta sedikitnya telah menghadapi lima kali peristiwa genangan. Atas serangkaian kejadian ini wajar apabila sebagian orang waswas seperti yang dirasakan Ariyadi.
Kekhawatiran warga menandai bahwa banjir selama beberapa tahun belakangan semestinya ditangani sebagai fenomena bencana yang lebih serius. Abhas Kumar Jha, Jessica Lamond, dan Robin Bloch dalam Cities and Flooding (2012) menyebut fenomena banjir di perkotaan sebagai persoalan serius dan menantang pembangunan kota. Sebab, selain di Jakarta, hal ini pun terjadi di sejumlah kota di negara lain.
Buku ini mencatat, banjir di perkotaan terjadi di banyak negara, seperti Australia, Sri Lanka, dan Filipina. Berdasarkan catatan Bank Dunia, kejadian di sejumlah wilayah sejak 1998 hingga 2010 menyebabkan kerugian lebih dari 40 miliar dollar Amerika Serikat.
Dengan kerugian sebanyak itu, sudah semestinya kota berbenah mengantisipasi risiko bencana. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun pada tahun ini menganggarkan dana hingga Rp 4 miliar untuk sistem peringatan banjir.
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI M Ridwan menuturkan, anggaran dialokasikan untuk enam perangkat pengeras suara. Setiap perangkat terdiri dari empat toa yang dipasang di satu tiang. Perangkat akan dipasang di 14 lokasi rawan, seperti di Jakarta Selatan (Ulujami, Petogogan, Cipulir, Pengadegan, Cilandak Timur, Pejaten Timur), Jakarta Barat (Rawa Buaya, Kapuk, Kembangan Utara), serta di Jakarta Timur (Kampung Melayu, Bidara Cina, Cawang, Cipinang Melayu, dan Kebon Pala).
Ridwan menjelaskan, informasi soal peringatan bencana banjir nantinya akan diumumkan oleh BPBD DKI melalui perangkat tersebut. Peringatan disampaikan ketika pintu-pintu air di DKI Jakarta sudah berstatus Siaga 3 atau Waspada Bencana Banjir.
Meskipun Pemprov DKI telah mengupayakan sistem peringatan banjir, sejumlah warga masih saja merasa waswas. Ihin Solihin, Ketua RT 004 RW 007 Kelurahan Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, menyatakan kekhawatiran warga karena informasi peringatan banjir tidak disertai tingginya air. Walhasil, saat belum siap, warga keburu dihadang luapan air setinggi 1 meter di Rawajati.
Menanggapi hal tersebut, Ridwan menyampaikan, perangkat toa hanyalah satu dari sebagian sistem yang diterapkan untuk mengantisipasi banjir. Selain dari toa, BPBD DKI selama ini kerap mengabari warga di sekitar wilayah daerah aliran sungai (DAS) melalui pesan singkat. Terlebih lagi, ia menyebut saat ini terdapat aplikasi bernama Pantau Banjir di platform ponsel pintar.
Ridwan menambahkan, BPBD DKI Jakarta pada 2020 akan menganggarkan lagi enam perangkat peringatan dini banjir. Enam perangkat tersebut dipasang di wilayah Jakarta Barat, meliputi Bukit Duri, Kebon Baru, Kedaung Kali Angke, Cengkareng Barat, Rawa Terate, dan Marunda.
Belum siaga bencana
Secanggih apa pun sistem, ternyata masih banyak warga yang belum terbiasa dan sigap menghadapi bencana. Pengamat dan peneliti bidang tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, ketidaktahuan warga menandai bahwa kita belum benar-benar siaga menghadapi banjir di perkotaan.
Soal pengadaan sistem mutakhir merupakan satu hal yang bisa berproses. Namun, pemerintah juga harus memikirkan bagaimana warga mebentuk budaya siaga bencana di lingkungan masyarakat. Terlebih lagi, ada fakta bahwa banyak warga yang tinggal di daerah aliran sungai.
Yayat mengingatkan, pengadaan sistem peringatan banjir jangan sampai menjadi penyederhanaan bahwa antisipasi bencana telah dilakukan. Lebih jauh dari itu, penanganan bencana juga perlu membentuk budaya kesiagaan yang solid di antara pemerintah dan masyarakat. Tanpa soliditas tersebut, kekhawatiran akan terus melanda warga saat bencana terjadi.