Anak Indonesia ”Gagal” Dilindungi
Kasus perdagangan anak di Indonesia sudah berada pada tahap mengkhawatirkan. Hanya dalam kurun waktu tidak sampai dua bulan, sebanyak 60 anak dieksploitasi.
JAKARTA, KOMPAS — Hanya dalam jangka waktu tidak sampai dua bulan, sebanyak 60 anak di Indonesia menjadi korban eksploitasi. Sekitar 80 persen dari jumlah itu bahkan dijerumuskan dalam praktik prostitusi, dijual, dan dijadikan sebagai budak seks. Anak-anak itu tidak berdaya karena berbagai sebab, mulai dari relasi kuasa, konflik rumah tangga, iming-iming uang, hingga tuntutan ekonomi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, selama periode Januari sampai Februari 2020, ada 60 anak yang menjadi korban eksploitasi. Dari jumlah itu, sekitar 40 anak menjadi korban eksploitasi seksual hingga diperjualbelikan demi rupiah.
Setelah dieksploitasi secara tidak manusiawi demi kepuasan pelanggan, uang dari pelanggan itu juga sama sekali tak mereka nikmati. Pihak yang merekrut bahkan mendapat keuntungan berkali lipat, sedangkan anak-anak itu kembali dibebani dengan utang.
Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi KPAI, Ai Maryati Soliha, mengatakan, rentetan peristiwa kasus eksploitasi yang terungkap di awal tahun 2020 termasuk kejahatan luar biasa yang mengancam ujung generasi bangsa, yaitu anak-anak. Tanpa upaya masif dan ekstra luar biasa dari negara, teror terhadap keselamatan anak masih akan terus terjadi.
”Kami mendorong penyelesaian dengan sistem extraordinary oleh negara. Salah satunya, konsumen yang memanfaatkan anak-anak itu juga harus dijerat pidana. Sebab, pendekatan hukum selama ini hanya berorientasi pada perekrut dan mucikari,” tuturnya, Selasa (11/2/2020), di Jakarta.
Berdasarkan catatan Kompas, di Jakarta, selama kurun waktu 30 hari, total ada 21 anak yang diperdagangkan. Anak-anak itu direkrut dengan berbagai modus, kemudian dipaksa dengan berbagai cara untuk memenuhi hasrat seksual pelanggan.
Baca juga: Polisi Kembali Bongkar Prostitusi Anak di Jakarta Utara
Di Kelapa Gading, Jakarta Utara, sembilan anak yang rata-rata masih berusia 14 tahun sampai 16 tahun selama enam bulan dipekerjakan sebagai penari striptis hingga pekerja seks komersial (PSK). Selama enam bulan itu, mereka setiap hari dikurung di salah satu apartemen di Kelapa Gading dan hanya dibawa keluar ketika ada pelanggan.
Pada Selasa (11/2/2020) sore, Kompas mendatangi apartemen itu di Jalan Pengangsaan II, Kelapa Gading. Di tempat itu, aktivitas di seputar apartemen tersebut tergolong ramai. Penghuni dan pengunjung hilir mudik.
Di salah satu tower, tepatnya tempat sembilan anak itu dikurung, akses menuju ke unit tersebut dijaga petugas kemananan. Namun, beberapa warga penghuni apartemen mengaku sama sekali tidak mengetahui ada anak di bawah umur yang selama ini dikurung di sana dan setiap malam dibawa ke daerah Jakarta Pusat untuk dipekerjakan sebagai PSK.
Sembilan anak yang dikurung itu baru berhasil diselamatkan Kepolisian Sektor Metro Kelapa Gading saat ada laporan masyarakat pada 6 Februari 2020. Di hari yang sama, polisi menggerebek tempat itu dan menangkap lima tersangka dengan peran berbeda-beda, mulai dari perekrut, mucikari, penjaga, hingga pengawas penari.
Dari hasil penyidikan polisi, lima tersangka itu direkrut dari Indramayu, Jawa Barat, untuk dipekerjakan sebagai pendamping karaoke (LC). Untuk meyakinkan orangtua korban, perekrut memberikan uang kepada orangtua korban dengan jumlah bervariasi hingga mencapai Rp 20 juta.
Baca juga : Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Uang itu kemudian dihitung sebagai utang yang akan dilunasi setelah korban bekerja. Namun, di tempat korban bekerja, anak-anak itu diekspolitasi secara seksual dengan cara dijual dengan sistem voucer. Satu voucer itu dihargai Rp 380.000. Dari jumlah itu, pendapatan yang didapatkan korban hanya sebesar Rp 105.000. Para korban juga dibebani harus menjual 50 voucer setiap bulan. Jika target itu tak tercapai, anak-anak itu akan didenda sebesar Rp 1 juta.
Anak-anak itu juga dipalsukan identitasnya dan usia mereka di kartu tanda penduduk (KTP) diubah menjadi dewasa. Tujuannya agar para korban lolos dari pemeriksaan petugas.
Menurut Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi, polisi sudah mengantongi identitas dari pelaku yang memalsukan dokumen para korban. Salah satu dokumen yang dipalsukan itu yakni usia korban yang diubah menjadi dewasa.
”Sedang kami lakukan pengejaran, identitas pelaku sudah kami kantongi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat pelaku kami tangkap untuk mengetahui motif atau jaringan yang lebih besar lagi. Sejauh ini, semua pemalsuan dilakukan di Jakarta,” tuturnya, Selasa, di Jakarta Utara.
Tergolong sadis
Kasus lain yang tidak kalah memilukan, sebelumnya, terjadi di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, pada 23 Januari 2020. Tiga anak dieksploitasi secara seksual sekaligus dianiaya.
Kasus itu terungkap berkat laporan dari salah satu orangtua korban ke Polres Metro Depok, Jawa Barat, karena anaknya hilang. Korban kemudian ditemukan di Apartemen Kalibata City. Namun, sebelum ditemukan, tiga korban menjadi korban praktik prostitusi daring dengan aplikasi Michat.
Bahkan, korban dianiaya oleh pelaku yang berjumlah tiga orang dengan inisial MTG, NA, dan AS. Para pelaku menyiksa para korban dengan cara disundut rokok, ditampar, digigit, hidung ditonjok, kaki ditendang, serta didorong dengan lutut saat posisi tangan terikat. Bahkan, salah seorang pelaku diduga menyetubuhi korban dan memperdagangkan korban dengan tarif beragam, (Kompas, 28/1/2020).
Sementara itu, pada 13 Januari 2020, di salah satu kafe di Rawa Bebek, Penjaringan, Jakarta Utara, polisi juga membongkar praktik prostitusi yang melibatkan 10 anak di bawah umur. Para pelaku diperkirakan meraup Rp 2 miliar per bulan dari bisnis kotor itu.
Praktik eksploitasi anak di Rawa Bebek serupa dengan kasus di Kelapa Gading. Para pelaku menggaet calon korban melalui media sosial. Setelah berhasil direkrut, anak-anak itu dipaksa untuk menemani pengunjung kafe dan berlanjut melayani hubungan seksual dengan bayaran Rp 150.000 per konsumen.
Namun, anak yang dieksploitasi itu hanya menerima Rp 60.000 per layanan, sedangkan Rp 90.000 atau 60 persennya dikuasai oleh mucikari. Honor pun baru diberikan setiap dua bulan. Anak-anak itu juga ditahan ponselnya oleh pelaku agar tidak kabur.
Jika mereka ingin berhenti bekerja, mereka mesti menebus uang sebesar Rp 1,5 juta. Anak-anak itu selama bekerja diwajibkan melayani pria hidung belang minimal sepuluh kali per hari. Jika kurang, mereka didenda Rp 50.000 per layanan yang absen.
Selain itu, haram hukumnya bagi mereka untuk libur bekerja jika sedang menstruasi. Mereka bakal diberi obat tertentu untuk menghambat datang bulan sehingga tetap bisa melayani hasrat seksual pelanggan, (Kompas, 21/1/2020).
Terus bertambah
Kasus perdagangan anak yang mencuat ke publik selama 2020 hanya contoh kecil betapa rentannya perlindungan terhadap anak Indonesia. Padahal, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Data dari Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPTA) Indonesia, selama 2018, ada 150 kasus eksploitasi seksual anak dengan jumlah korban anak-anak mencapai 359 orang. Pada 2019, tercatat ada 73 kasus dengan jumlah korban sebanyak 164 anak.
Koordinator ECPTA Indonesia Ahmad Sofian, dihubungi secara terpisah, mengatakan, pasar seks global terhadap anak terus meningkat. Situasi itu tidak bisa dihindari di tengah perkembangan teknologi yang memudahkan setiap orang gampang terkoneksi.
”Imbasnya di negara berkembang. Sebab, sistem hukum dan pencegahan masih minim perhatian, atau tidak menjadi skala prioritas,” katanya.
Salah satu contoh, kata Ahmad, Indonesia masih minim perhatian terhadap ketersediaan pusat rehabilitasi. Padahal, dengan meningkatnya fenomena prostitusi anak secara global, dibutuhkan banyak sarana rehabilitasi untuk segera memulihkan korban yang dijerumuskan dalam masalah prostitusi.
Upaya pencegahan yang dikembangkan juga seharunya dilakukan secara komprehensif lintas instansi. Dari instansi pendidikan, anak-anak perlu dibekali agar memiliki kesadaran untuk tidak mudah dijerumuskan ke dalam tindakan eksploitasi seksual anak.
”Atau dunia parwisata, belum ada upaya pencegahan prostitusi anak agar wisatawan tidak membeli seks anak. Sebab, lokasi terjadinya prostitusi anak itu rata-rata terjadi di fasilitas pariwisata, seperti apartemen, hotel, dan pusat kebugaran,” katanya.
Baca juga: KPAI: Sewa Harian Apartemen Jadi Celah Prostitusi Anak