Tentang Trotoar di Jakarta yang Mulai Menjadi Ruang Publik Favorit Warga
Trotoar, tanpa disadari, adalah ruang publik paling mungil yang telah lama kita miliki. Pelebaran fasilitas ini sebaiknya tidak disia-siakan oleh warga Ibu Kota.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Karyawan perkantoran melintasi trotoar di Taman Spot Budaya 2 Dukuh Atas, Jakarta Selatan, Rabu (21/8/2019). Fasilitas interaksi publik yang dibangun Pemprov DKI ini dulunya merupakan jalan raya yang diubah fungsinya menjadi taman. Memiliki luas 2.000 meter persegi, taman ini menjadi spot budaya kedua setelah Spot Budaya 1 di depan Gedung Panin, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Di ruang terbuka ini terdapat fasilitas taman, titik pandang, hingga arena skateboard dan BMX.
Hendri (27), pegawai yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, punya kebiasaan baru sejak awal tahun ini. Sepulang kantor saat sore, ia kerap menyusuri trotoar dan sesekali memotret aktivitas di sana.
Menjelang maghrib, Selasa (11/2/2020), ia berjalan hampir 1 kilometer dari jembatan Setiabudi Astra menuju kawasan Dukuh Atas. Ia terbiasa duduk santai di kawasan Dukuh Atas sambil menunggu langit menggelap.
”Dukuh Atas ini spot favorit untuk menunggu kereta pulang. Selain karena dekat dengan Stasiun Sudirman, lokasi ini juga menyimpan spot menarik untuk hobi fotografi,” ungkap warga asal Jawa Tengah yang kini tinggal di Bekasi tersebut.
Hendri mengakui, kebiasaan berjalan kaki di trotoar dari kantor menuju stasiun kini terasa lebih menyenangkan. Minat dirinya berjalan di trotoar baru tumbuh setelah melihat trotoar yang kian lebar seusai perhelatan Asian Games 2018. Saat itu, di sepanjang kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, trotoar diperlebar dan diisi dengan sejumlah kegiatan publik.
Hendri (27), pegawai kantoran, memotret penampakan Stasiun BNI City Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2020).
Melihat trotoar di kawasan Sudirman-Thamrin, pemandangannya pun kini semakin ramai oleh pejalan kaki. Bila Anda mengamati setiap sore, selalu ada kegiatan publik di sekitar kawasan Dukuh Atas. Terowongan Kendal, salah satu kawasan di Dukuh Atas, kerap menjadi lokasi favorit bagi warga untuk berkumpul.
Ramainya pejalan kaki di kawasan Sudirman-Thamrin kini bukan tanpa alasan. Trotoar yang kian lebar turut memberi ruang bagi warga untuk berjalan kaki. Selain itu, trotoar pun menjadi akses penghubung bagi warga menuju transportasi publik serta taman kota.
Annette Miae Kim dalam Sidewalk City: Remapping Public Space in Ho Chi Minh City (2005) menyadari bahwa trotoar merupakan ruang publik paling mungil yang paling dimiliki oleh sebagian besar warga kota.
Annete menjelaskan, di Ho Chi Minh, Vietnam, trotoar adalah satu-satunya ruang publik dengan sebagian besar warga kota makan, berkumpul, hingga bertransaksi. Filsuf kenamaan Jurgen Habermas dalam The Structural Transformation of The Public Sphere (1962) bahkan membayangkan ruang publik sebagai wadah bagi masyarakat untuk berdiskusi dan menyuarakan opini publik.
Melihat hal tersebut, trotoar yang sejak dulu merupakan satu-satunya ruang publik milik warga sudah semestinya kini menjadi lebar. Hal ini pun semestinya tidak hanya berlaku di Jalan Sudirman-Thamrin, tetapi juga pada jalan protokol lain di Ibu Kota.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah memasukkan program penataan trotoar ini dalam kegiatan strategis daerah (KSD). Tahun 2019, DKI Jakarta mengalokasikan Rp 1,1 triliun untuk penataan trotoar sepanjang 103,74 kilometer (km). Artinya, biaya penataan trotoar mencapai Rp 10,6 juta per meter.
Sebuah kota secara psikologis memiliki fungsi dalam memoderasi hubungan warga dengan warga lainnya. Dengan fungsi tersebut, sebuah kota bisa mewujudkan kebahagiaan warganya.
Sejak 2016, Dinas Bina Marga DKI sudah menata trotoar sepanjang 47,97 km. Tahun 2017, angka itu meningkat menjadi 78,75 km, lalu menjadi 118 km pada 2018. Tahun 2019, penataan trotoar mencapai 67,44 km dan pada 2020 ditargetkan 103,74 km.
Kendati begitu, panjang trotoar saat ini baru sekitar 20 persen dari total panjang jalan di Jakarta, yakni sekitar 2.600 km. Sementara itu, berdasarkan rencana strategis pembangunan daerah DKI Jakarta 2018-2022, penataan dan pembangunan trotoar ditargetkan bertambah 60 km per tahun.
Dengan angka ini, untuk mencapai kondisi ideal trotoar Jakarta, perlu waktu sekitar 50 tahun. ”Itu pun kalau anggarannya tersedia karena anggaran, kan, tidak untuk trotoar saja,” kata Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho.
Hari berupaya mempercepat target pembangunan menjadi 100 km per tahun. Dengan begitu, Pemprov DKI Jakarta bisa memangkas waktu penataan menjadi sekitar 20 tahun.
Pemprov DKI Jakarta pun masih menargetkan tujuh kawasan trotoar yang dibangun dengan konsep complete street. Konsep ini mengakomodasi berbagai kepentingan, mulai dari pejalan kaki, pesepeda, hingga kendaraan bermotor.
Trotoar berdesain complete street akan dilengkapi dengan pepohonan, bangku, dan jalur sepeda hingga jalur utilitas. Ketujuh lokasi tersebut adalah di Jalan Raden Patah, Jalan KH Mas Mansyur, Jalan Mangga Besar, Jalan Pramuka, Jalan Gunung Sahari, Jalan Casablanca, dan Jalan RA Kartini.
Sejumlah aktivis Koalisi Pejalan Kaki menggelar aksi di trotoar di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020). Dalam aksi memperingati Hari Pejalan Kaki tersebut, mereka antara lain menuntut pemerintah menjamin keselamatan pejalan kaki agar terhindar dari pelaku pelecehan seksual yang akhir-akhir ini marak terjadi serta mendorong komitmen dan prioritas yang tinggi terhadap penyediaan fasilitas pejalan kaki dari lembaga eksekutif dan legislatif pusat serta daerah.
Meski terus dibangun, Hari mengakui, masalah yang kerap terjadi adalah penyerobotan kendaraan. Sebagian kendaraan bermotor kerap melintas meski telah diberi palang penghalang di trotoar.
Ahmad Syafrudin, salah satu koordinator Koalisi Pejalan Kaki, menyatakan, ada sedikitnya dua sampai tiga orang per bulan yang mengalami kecelakaan di Jakarta. ”Hal ini jadi permasalahan tersendiri. Setiap bulan, ada saja warga yang terserempet karena kendaraan melintas di trotoar,” ujarnya.
Masalah penyerobotan kendaraan di trotoar merupakan satu hal. Namun, warga kota yang berhak atas ruang publik paling mungil bernama trotoar semestinya memanfaatkan fasilitas ini selagi bisa. Lagi pula, trotoar menghubungkan warga dengan berbagai hal, mulai dari ruang publik, transportasi publik, pusat perbelanjaan, atau bahkan kedai kopi yang mungkin Anda cintai.
Charles Montgomery dalam Happy City (2013) mengungkapkan, sebuah kota secara psikologis memiliki fungsi dalam memoderasi hubungan warga dengan warga lainnya. Dengan fungsi tersebut, sebuah kota bisa mewujudkan kebahagiaan warganya.
Apabila trotoar, atau ruang publik lainnya, dapat menawarkan fungsi tersebut, lalu harus tunggu apa lagi untuk bahagia?