Silat Betawi: Warisan Kegeniusan Lokal yang Terpinggirkan…
Sejarah telah menorehkan bahwa silat Betawi tidak hanya hasil akulturasi budaya berbagai suku, etnis, agama, dan antargolongan. Silat Betawi adalah kegeniusan lokal yang terus mewarnai Jakarta.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Sanusi (88) atau yang akrab disapa Babeh Uci bersemangat menunjukkan jurus dasar silat gerak cepat ala Perguruan Silat Pusaka Djakarta di Kampung Bali Matraman, Manggarai Selatan, Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2020). Dengan pakaian pangsi berwarna hitam dan sabuk putih, ia berpose di gang rumahnya yang sempit. Meski usianya sudah lanjut, Babeh Uci selalu bersemangat ketika menceritakan silat Betawi yang dia banggakan.
Dengan mata berbinar-binar, Babeh Uci menyetelkan rekaman film dokumenter Perguruan Silat Pusaka Djakarta. Film itu dibuat tahun 1985. Sementara Perguruan Silat Betawi Pustaka Djakarta sendiri sudah ada sejak 1957. Dalam film tersebut terlihat berbagai kalangan usia sedang berlatih silat Betawi. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, dan anak-anak. Tak hanya laki-laki, kaum perempuan pun banyak yang tertarik berlatih silat Betawi. Salah satu murid Babeh Uci yang belajar pada tahun itu bahkan mengajar silat Betawi di Milan, Italia.
”Dulu memang banyak sekali yang berlatih silat Betawi, tidak seperti sekarang. Latihannya di tanah lapang dekat sini. Sekarang, tanah lapang itu sudah menjadi kontrakan,” ujar Babeh Uci.
Dulu murid Babeh Uci di perguruan berjumlah ratusan dan datang tak hanya dari kampung sekitar. Kini, murid Babeh Uci yang masih aktif belajar silat seminggu dua kali tinggal 50 orang. Mereka mayoritas berasal dari kampung sekitar.
Babeh Uci menuturkan, silat Betawi mengalami pasang-surut perjalanan. Dia ikut merasakan masa penjajahan Belanda karena lahir tahun 1931. Pada saat itu dia tinggal di kawasan Sawah Besar dan dekat dengan permukiman orang Belanda. Tak semua orang bisa berlatih silat dengan bebas dan leluasa. Mereka harus dekat dengan tuan bek atau lurah. Jika tidak, mereka harus belajar sembunyi-sembunyi.
Selain harus dekat dengan tuan bek, warga lokal yang akrab dengan orang Belanda juga lebih leluasa berlatih silat. Dengan jurus mengatasnamakan dekat dengan sinyo atau orang Belanda yang menikah dengan warga lokal, tak ada yang berani mengganggu saat latihan silat.
”Pernah juga saat zaman penjajahan Jepang, saya lewat di depan pos penjagaan. Tiba-tiba saya diserang oleh serdadu Jepang yang semena-mena. Saya lawan dengan silat, mereka kalah, lalu hormat sama saya,” kata Babeh Uci.
Babeh yang telah menjadi guru silat sejak 1948 itu mengatakan, dulu di setiap kampung hampir selalu ada perguruan silatnya. Bagi kaum laki-laki, mengikuti silat dianggap sebagai bekal untuk membentengi diri. Sementara bagi kaum perempuan, silat dianggap sebagai senam kebugaran tubuh. Selain itu, sebagai nilai plusnya, mereka memiliki kemampuan untuk membela diri juga.
”Ini sesuai dengan ajaran agama Islam di Surat At-Tahrim Ayat 6, yaitu Qu Anfusakum atau lindungilah atau peliharalah dirimu,” kata Babeh Uci.
Kemudian, setelah tahun 1950, silat mulai dianggap sebagai kebudayaan yang kampungan. Orang-orang minder dan malu berlatih silat. Akhirnya, setiap akan berangkat berlatih silat, mereka menyembunyikan pakaian seragam. Baru setelah sampai di tempat latihan, mereka akan memakai seragam itu.
Berkat keuletan dan kegigihannya melestarikan silat Betawi, Sanusi akhirnya dinobatkan sebagai Maestro Seni Tradisi Bidang Pencak Silat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2014.
Main pukulan
GJ Nawi dalam buku berjudul Main Pukulan, Pencak Silat Khas Betawi, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia tahun 2016, menyebutkan, masyarakat Betawi mengartikan maen pukulan sebagai permainan yang melibatkan kontak fisik serang-bela, dengan atau tanpa senjata.
Di dalam main pukulan terdapat unsur seni bela diri. Konteks kata ”main” sendiri menunjukkan adanya unsur kesenangan. Dengan kata lain, bela diri bagi masyarakat Betawi awalnya hanyalah permainan, bukan untuk menunjukkan kehebatan fisik ataupun sifat jago.
Di buku yang sama disebutkan, ada sekitar 317 aliran maen pukulan di tanah Betawi yang merupakan pengembangan dari sekitar 100-200 pecahan aliran dari empat aliran inti. Silat Betawi juga tersebar mulai dari Betawi Pesisir (Foreland), Betawi Tengah (Midland), hingga Betawi Pinggir dan Udik (Hinterland). Keempat aliran inti itu didasarkan pada karakter dan bentuk main pukulan yang terdiri dari gerak cepat, gerak kuat, gerak teguh, dan gerak rasa.
Gerak cepat mengacu pada karakter khas aliran main pukulan yang mengandalkan kecepatan gerakan, baik pukulan, tendangan, maupun serang-bela. Gerak kuat mengacu pada kekuatan tubuh dalam setiap atraksi, misalnya menghancurkan benda-benda keras dengan kekuatan tangan dan tubuh. Gerak teguh mengacu pada aliran main pukulan yang bersifat inner power, seperti penggunaan tenaga kracht dan sebagainya. Adapun gerak rasa, ciri khas utamanya adalah penggunaan rasa pada penempatan tenaga (kosong-isi).
Warisan budaya tak benda
Meski mengalami pasang-surut, keyakinan Sanusi terhadap kebangkitan pencak silat, terutama pencak silat Betawi, tidak pernah menyusut. Pencak silat sudah dikenal dan bahkan diminati oleh orang-orang luar negeri. Pencak silat sebagai cabang olahraga juga terus berkembang pesat. Bahkan, cabang olahraga itu menjadi salah satu yang dipertandingkan saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Kini, pencak silat telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTb) dunia dari Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unesco) di Kolombia pada 9-14 Desember 2019. Pencak silat dianggap memiliki akar tradisi yang kuat, terutama dalam dua aspek, yaitu bela diri dan mental-spiritual.
Yusron Syarief, salah satu dari tim yang membuat naskah akademis dan mengusulkan pencak silat sebagai warisan budaya tak benda Unesco, mengatakan, pencak silat menjadi warisan dunia kesepuluh yang ditetapkan Unesco dalam sidang Komite Warisan Budaya Tak Benda Unesco di Bogota, Kolombia, 12 Desember 2019. Sebelumnya, Unesco juga sudah menetapkan wayang, keris, batik, angklung, tari saman, noken, tiga genre tari tradisi Bali, kapal pinisi, dan pelatihan batik menjadi WBTb.
”Pencak silat dianggap memiliki semua elemen yang membentuk warisan budaya tak benda. Pencak silat tak hanya seni bela diri, tetapi juga terdiri dari tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual dan festival, kerajinan tradisional, pengetahuan, dan praktik sosial serta kearifan lokal,” ujar Yusron.
Di sisi lain, Ketua Perkumpulan Betawi Kita Roni Adi merasa prihatin dengan perkembangan silat Betawi saat ini. Itu karena ada kecenderungan saat ini pencak silat Betawi terpinggirkan dan dianggap kesenian kampung. Padahal, banyak hal positif yang terdapat dalam pencak silat, di antaranya menghargai sesama dan yang lebih tua. Di sekolah-sekolah, misalnya, seni bela diri karate dan taekwondo yang diimpor dari negara asing justru lebih terkenal dibandingkan dengan kebudayaan lokal yang dimiliki Betawi.
Sementara Yusron berpendapat, silat Betawi sebenarnya masih berkembang dan diminati oleh warga, buktinya sanggar-sanggar silat Betawi masih eksis sampai sekarang. Namun, sayangnya, silat Betawi tidak dikelola dengan modern. Bahkan, ada kecenderungan satu kelompok merasa ekslusif dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal, jika dikelola secara modern, silat Betawi dapat bernilai dan hidup secara berkelanjutan.
”Manajemen silat Betawi selama ini hanya bertumpu pada ketokohan. Setelah tokoh meninggal, akhirnya silat hilang. Seharusnya, silat Betawi dikelola dengan manajemen modern untuk menghidupkan perguruan,” kata Yusron.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, pada tahun anggaran 2020 sudah diusulkan kegiatan supaya martial arts atau seni pencak silat Betawi ini lebih dikenal masyarakat. Anggaran tidak hanya di dinas, tetapi juga di sudin-sudin setiap wilayah administrasi. Ke depan, di pusat budaya Betawi Setu Babakan juga akan dibuat semacam sekolah atau perguruan silat yang diharapkan dapat menjadi rujukan bagi orang-orang yang akan belajar mengenai seluk-beluk silat Betawi.
”Tahun 2020 akan ada kegiatan, seperti festival pencak silat, talkshow, seminar, dan lainnya yang bertujuan agar masyarakat mengenal, bangga, dan merasa memiliki pencak silat Betawi sebagai kekayaan budaya mereka,” kata Iwan.
Sejarah telah menorehkan bahwa silat Betawi tidak hanya hasil akulturasi budaya berbagai suku, etnis, agama, dan antargolongan. Silat Betawi adalah kegeniusan lokal yang terus mewarnai Jakarta. Dengan ditetapkannya silat Betawi sebagai warisan budaya tak benda oleh Unesco, harapan Sanusi, silat Betawi akan menjadi jawara dan juara di tanahnya sendiri.