Relawan Bencana dari Desa-desa
Tidak selalu berstatus relawan, mereka sejatinya bekerja sebagai relawan. Meski sebagian adalah korban bencana, namun panggilan membantu sesama tidak membuat mereka manja menunggu bantuan tiba.
Meskipun menjadi korban longsor, Sunarno (37), tak mau berdiam diri menunggu bantuan. Dia tergerak membantu menyalurkan bantuan ke pengungsi di bagian barat Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ayah dua anak ini bergerak ke kampung-kampung terdampak bencana.
Petani ini awalnya bergerak sendiri membantu penyaluran bantuan enam hari setelah bencana. Sepuluh hari kemudian, dia bergabung dengan Karang Taruna Sukajaya. Lewat organisasi ini, pergerakannya semakin efektif. Bantuan ke warga menjadi lebih tepat sasaran. Dia semakin paham medan bencana dan korban yang membutuhkan bantuan.
Sebelum menjadi relawan untuk korban bencana di Bogor, pria yang akrab disapa Kang Nano itu terpanggil karena banyaknya bantuan yang tidak tepat sasaran. Ini terjadi karena antar relawan belum terorganisir rapi untuk menyalurkan bantuan. Pada saat yang sama, terlalu banyak posko kemanusiaan berdiri di kawasan itu, namun pergerakannya terkendala menjangkau lokasi bencana di tempat sebagian warga bertahan.
Penyaluran bantuan semakin sulit karena banyak oknum yang memanfaatkan logistik untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Akibatnya banyak pengungsi yang sudah berjalan kaki berjam-jam untuk mengambil logistik harus pulang dengan tangan kosong. Sebagian pengungsi hanya mendapat pakaian, sementara mereka membutuhkan sembako.
Baca juga : Ribuan Korban Longsor di Bogor Kelaparan
Tantangan bagi Nano dan relawan lain adalah menghadapi sikap sebagian warga di luar lokasi bencana. Mereka datang ke lokasi bencana hanya untuk melihat objek longsor dan banjir. “Ini masalah kemanusian, kemanusian bukan untuk dijual atau dimanfaatkan. Saya memang korban, tapi saya tidak mau menunjukan itu, saya tidak mau menunjukan ketidakberdayaan. Ketika melihat seperti itu, saya harus turun membantu ke sesama korban bencana, harus menjadi relawan juga,” ujar Nano.
Pada saat yang sama, Sunarno menjadi korban longsor yang menyapu Kampung Nyomplong, Desa Kiarapandak awal tahun 2020. Kampungnya di bawah lereng bukit itu kini tak bisa ditempati lagi karena masuk zona merah. Dia dan semua penduduk kampung harus mengungsi di tempat yang lebih aman di Kampung Pasir Walang II.
Bagi Nano, bukan perkara mudah menjadi relawan yang membantu relawan lain untuk membawa logistik ke korban bencana. Banyak relawan yang datang tidak menyiapkan diri dengan baik. Alih-alih menggunakan bot atau sepatu sol tebal, mereka hanya menggunakan sendal dan sepatu gaul, padahal medan yang dilalui berlumpur, berbatu, dan licin.
Minggu (26/1/2020), sekitar pukul 08.00, Sunarno dan Ginanjar (36), bersiap mengatar rombongan relawan berjumlah 12 orang dari posko Kantor Desa Sukajaya menuju Kampung Ciberani, Desa Pasirmadang. Sunarno dan Ginanjar menuntun para relawan melalui jalur Pasir Walang, karena waktu tempuh yang lebih singkat ketimbang melalui jalur utama di Pasirmadang.
Baca juga : Logistik Korban Longsor Bogor Didistribusikan Lewat Udara
Jika melalui Jalur Pasirmadang dengan berjalan kaki butuh waktu sekitar 5 jam berjalan kaki perjalanan. Sementara jalur Pasir Walang hanya sekitar 3 jam perjalanan, meski harus melalui daerah perbukitan dengan jalan terjal berbatu.
Sesampai di posko Pasir Walang II sekitar pukul 09.00, rombongan turun dari mobil dan harus berjalan kaki memikul tas berisi sembako seberat sekitar 60-70 kilogram. Dari titik ini jalan mulai menanjak hingga persimpangan jalur Kampung Nyomplong. Baru setengah jam perjalanan, para relawan memutuskan untuk berhenti. Setelah istirahat sejenak, Nano memberi semangat kepada rombongan dan bersiap meneruskan perjalanan.
Dari simpang Kampung Nyomplong, rombongan kembali harus melalui jalur menanjak dan berlumpur setebal 5-15 centimeter. Beban berat memikul sembako membuat langkah para rombongan melambat terutama mereka yang hanya menggunakan sendal dan sepatu gaul. Rombongan pun terpisah menjadi dua. Rombongan pertama dipimpin Nano memutuskan berhenti menunggu rombongan lainnya yang dipimpin Ginanjar.
Selanjutnya, jalur semakin berat, terjal, dan berbatu tajam. Satu dari rombongan akhirnya tidak kuat melanjutkan perjalanan, nafasnya tersengal putus. Ginanjar yang dekat dengan pemuda tersebut langsung membopongnya dan segera memberikan minyak angin sembari memijat pundak dan kepala.
Baca juga : Regu Penolong Membutuhkan Alat Berat Menjangkau Lokasi Bencana di Bogor
Cuaca cerah mulai berubah menjadi mendung, perjalanan harus segera dilanjutkan agar segera tiba di Kampung Ciberani. Karena pemuda tersebut tidak kuat membawa tas berisi logistik tersebut, akhirnya Ginanjar dan Sunarno bergantian memikul tas itu.
Melihat kondisi relawan yang sudah mulai keletihan, Sunarno memutuskan memotong jalur, melalui jalan setapak melintas perbukitan dan jalur tebing. Saat melalui jalur tersebut, rombongan harus berjalan hati-hati terutama ketika melintas di atas perbukitan longsor.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, akhirnya rombongan tiba di Kampung Ciberani yang dikelilingi perbukitan longsor. Setiba di posko, Ginanjar menemui ketua karang taruna setempat agar logistik harus diserahkan kepada korban yang sangat membutuhkan.
Enah (40), salah satu warga yang rumahnya hancur, tak kuasa menahan tangis ketika menerima langsung bantuan dari relawan. Sejumlah ibu-ibu lalu memeluk Enah agar tabah dan semangat menjalani cobaan. Sementara senyum lebar dan lega terpancar dari para relawan setelah membagikan sembako.
Namun, senyum itu tidak bertahan lama karena mereka harus segera kembali melalui jalur yang sama. Tidak memikul beban berat dan jalur menurun, bukan berarti perjalanan lancar dan cepat. Hujan deras dan melalui jalan berbatu besar serta tajam justru membuat perjalanan sama beratnya.
“Ini yang kami lakukan hampir setiap hari. Mengantar relawan membawa logistik sampai ke tangan yang membutuhkan. Meski banyak relawan yang tidak mempersiapkan perjalan dengan baik, tetap kami antar sampai tujuan, meski kami juga kerap dimarah dan diprotes relawan karena jalurnya kotor, berlumpur, dan berbatu. Padahal, ya, begini kondisinya bencana,” kata Ginanjar.
Tantangan yang tak kalah seru juga dialami Ajiz Sulaeman (37), dan kawan-kawan berjumlah 10 orang dari karang taruna Sukajaya, saat membawa sembako dan peralatan sekolah ke Desa Cileuksa. Butuh waktu 4 jam lebih perjalanan menggunakan sepeda motor. Kabut, hujan, jalan menanjak, dan berlumpur tebal, membuat ban motor kerap tergelincir dan bahkan membuat pengendara jatuh dari motor.
Tidak hanya itu saja, mereka harus bergotong royong mendorong jika motor terjebakan lumpur tebal. Malang tak terhindar, belum sampai tujuan ban motor salah satu rekan Ajiz bocor. Mereka pun menyumpal kantong plastik ke dalam ban agar tetap bisa melanjutkan perjalanan. Perjalanan kembali terhenti, karena motor kembali terjebak dikubangan lumpur. Akhirnya sebagian rombongan berjalan kaki memikul karung logistik sembari menunggu rombongan lain berhasil keluar dari kubangan lumpur. “Selain sembako, prioritas kami adalah membawa kebutuhan sekolah. Ini sangat dibutuhkan anak-anak. Pendidikan harus tetap berjalan,” kata Ajiz.
Baca juga : Polisi Tangkap Pelaku Penambang Ilegal
“Kami percaya, bencana ini akan dimurnikan dengan kebaikan hati relawan. Bencana ini jangan dilihat sebagai musibah. Ini mengingatkan kita kepada Tuhan sang mencipta semesta, hutan, pohon, dan sungai. Semoga ini menjadi pelajaran kita semua, bahwa alam harus dijaga,” lanjut guru sekolah Madrasah itu.
Membangkitkan
Pendidikan boleh jadi tak bisa dilihat, diraba, atau bahkan dimakan. Namun, ada daya kebangkitan dari dalamnya. Anak-anak penyintas banjir bandang di Kampung Seupang, Lebak, melepaskan memori kengerian bencana dengan keceriaan belajar di sekolah darurat.
Di pos pengungsian Kampung Seupang yang masuk wilayah Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, pendidikan terselenggara di bawah tenda beralaskan papan-papan kayu bagi para murid Madrasah Ibtidaiyah/MI Mathla’ul Anwar.
Madrasah ini adalah satu-satunya tempat pendidikan setingkat sekolah dasar di Seupang. Kembali belajar di gedung madrasah tidak mungkin lagi karena bangunannya bersama dengan 40 rumah warga sudah diporak-porandakan banjir bandang dari Sungai Ciberang tanggal 1 Januari silam.
Baca juga : Ribuan Warga Lebak Masih Terisolasi Pascabanjir dan Longsor
Namun, wajah mungil 49 siswa di sana kerap dihiasi senyum yang begitu otentik saat belajar hari Senin (27/1/2020). Tidak ada tatapan kosong yang mengibakan. Seakan yang baru saja mereka lalui hampir sebulan lalu bukanlah bencana.
“Siti Nur Sajadah ada?” tanya Muhammad Saepul Rahman saat mengabsen murid-muridnya. Sontak derai tawa mengalir dari anak-anak. Mereka paham kalau guru mereka itu sedang memelesetkan nama salah satu rekan mereka, Siti Nur Sajidah, dengan nama kain alas untuk menunaikan salat. Si empunya nama pun hanya pura-pura ngambek.
Berhasil memantik ceria anak-anak, Rahman dengan lancar memasukkan materi tentang Hadis serta pengenalan bahasa Arab. Sebagian besar murid menyimak serta mencatat huruf-huruf Arab yang dibuat Rahman di papan tulis.
Rahman sebenarnya tidak berprofesi sebagai guru. Bahkan, ia sebenarnya masih belum bekerja. Saat ini, pemuda 18 tahun itu tercatat sebagai siswa kelas 3 Madrasah Aliyah/MA (setingkat sekolah menengah atas) Mathla’ul Anwar Baros, Lebak. Rahman dan lima kawannya merasa punya rasa tanggung jawab untuk membangkitkan semangat adik-adik mereka di Seupang, sesama pembelajar Mathla’ul Anwar.
“Setiap ada bencana, sekolah jarang ada yang memikirkan, sehingga kami bergerak di pendidikan dengan kemampuan seadanya,” ujar warga Kampung Baros, Desa Kaduagung Barat, Kecamatan Cibadak itu.
Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di berbagai titik di enam kecamatan Kabupaten Lebak tidak hanya membuat 1.410 rumah rusak berat, 521 rumah rusak ringan, 1.110 rumah terendam, serta 2 jembatan permanen dan 26 jembatan gantung putus. Bencana juga mengakibatkan 3 sekolah tersapu banjir dan 19 sekolah rusak.
Bela rasa terhadap yang berkekurangan ditanamkan oleh perguruan tempat Rahman belajar. MA Mathla’ul Anwar Baros punya program wajib bagi siswanya yang bernama amaliyah tadris atau praktik mengajar. Ia dan rekan-rekannya pernah dikirim berkeliling mengajar sejumlah MI di dua desa. Mirip dengan kuliah kerja nyata (KKN) di jenjang perguruan tinggi. Program amaliyah tadris jadi bekal dia terjun ke Kampung Seupang.
Baca juga : Trauma, Ribuan Korban Masih Mengungsi
Pendidikan tidak hanya tentang pelajaran formal, tetapi juga memfasilitasi tergenapinya kodrat anak sebagai makhluk bermain. Karena itu, tim sukarelawan pendidikan di Seupang merancang bermacam lomba, seperti lomba adzan, lomba mewarnai, dan lomba hapalan surat pendek bagi anak di pengungsian. “Terakhir, akan ada fashion show busana muslim pada Jumat (31/1/2020) malam Sabtu. Insya Allah meriah,” ucap Rahman sekaligus berpromosi.
“Gara-gara” fokus menjadi sukarelawan, Rahman baru dua kali ikut pelajaran di MA. Itu pun hanya setengah hari karena ia segera kembali ke pos pengungsian Seupang guna mendampingi anak-anak didiknya. “Udah kelas tiga, mau ujian, dan di sini juga diuji. Sama-sama diuji, ha ha ha,” ujarnya.
Namun, pihak madrasah tidak mempermasalahkan. Bagaimana mau mempersoalkan jika Kepala MA Mathla’ul Anwar Baros ikut turun menjadi sukarelawan di Seupang selama berhari-hari. “Kepala sekolah kami memang kece, he he he,” puji Rahman.
Meski demikian, itu bukan alasan bagi Rahman dan kawan-kawan untuk tidak lulus sekolah. Mereka berkomitmen mengejar ketinggalan di tengah aktivitas sosial mereka. Rahman sudah berencana akan kuliah, walau masih belum menentukan jurusan yang bakal dipilihnya. Yang jelas, pendidikan lanjutan mesti menunjang cita-citanya untuk memberi manfaat bagi lebih banyak sesama.