Dampak bencana terus bergulir dan berlipat seperti efek domino. Tidak semata korban jiwa dan kerugian materiil saat bencana terjadi, tetapi dampak bisa meluas ke segala aspek, termasuk aspek sosial.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
Bencana banjir bandang dan longsor di Kabupaten Lebak, Banten, tidak hanya menimbulkan kerugian seketika, seperti rumah dan bangunan rusak atau korban luka hingga meninggal. Namun, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terdampak selanjutnya menjadi tidak jelas, seperti dihadapi pengungsi di Kampung Seupang, Desa Pajagan, Kecamatan Sajira.
Koordinator sukarelawan mengajar Mathla’ul Anwar Care, Muhammad Hafidz, mengatakan, seiring dengan berakhirnya masa tanggap darurat bencana Lebak pada Selasa (28/1/2020), jumlah sukarelawan di Kampung Seupang mulai menurun. Para pengungsi penyintas banjir bandang Sungai Ciberang di sana mesti bersiap untuk semakin mandiri.
“Di sana, sebagian besar bergantung pada lahan yang telah hancur,” ucap Hafidz, Kamis (30/1/2020).
Sukarelawan asal Rangkasbitung, Lebak, Kusmayadi, menambahkan, mayoritas penduduk Kampung Seupang bekerja sebagai kuli tebang bambu. Rumpun bambu memang rimbun di sekitar kampung itu. “Menurut saya, dalam tiga bulan ke depan belum bisa normal,” tuturnya.
Lahan yang penuh dengan bambu berada di seberang kampung, dibatasi oleh aliran Sungai Ciberang. Kusmayadi yang akrab disapa Asep mengatakan, warga biasanya berani menyeberangi sungai menuju lahan bambu saat akan menebang karena sungai dangkal. Namun, saat ini air sungai sedang tinggi dan berarus deras sehingga membahayakan bagi warga yang nekat menyeberang.
Salah satu penyintas banjir bandang di Seupang, Hidayat (46), termasuk yang biasa mencari uang dengan menjadi kuli penebang bambu. Karena bekerja sesuai pesanan, pendapatannya tidak menentu, berkisar Rp 25.000-Rp 100.000 per hari. Ia menghidupi istri dan empat anak. Saat ini, ia sudah hampir sebulan belum bekerja dan mengandalkan bantuan donatur untuk menunjang kehidupan keluarga.
Hidayat menjelaskan, bambu di sekitar Seupang biasanya sudah ada pemiliknya. Jika pemilik ingin menggunakan bambunya, pemilik bakal mengupah dia atau warga lain untuk menebang.
Dalam pantauan pada Senin (27/1/2020), rumpun bambu rimbun di seberang Kampung Seupang, tetapi banyak kumpulan bambu di tepi Ciberang yang sudah rebah akibat dihantam banjir bandang pada 1 Januari silam. Menurut Hidayat, bambu semacam itu sudah tidak bisa dipakai lagi karena bakal keropos dan tidak tahan lama.
Asep menyebutkan, jika ada yang berprofesi sebagai petani, mereka kemungkinan juga belum bisa memulai kerja karena sawah masih tertimbun lumpur. Pembersihan sawah butuh waktu. Selain itu, risiko bencana masih terus mengintai sepanjang musim penghujan 2019-2020 belum berakhir.
Selain soal mata pencaharian, ketidakjelasan nasib juga dialami anak-anak usia sekolah. Di Seupang ada satu-satunya sekolah bernama Madrasah Ibtidaiyah (setingkat sekolah dasar) Mathla’ul Anwar, yang tidak bisa digunakan lagi karena juga terdampak banjir bandang.
Para siswa saat ini belajar diatapi tenda dan beralaskan palet kayu sehingga kegiatan belajar-mengajar kurang kondusif. “Sebenarnya, ada SD di kampung tetangga tetapi jaraknya dua kilometer dan jalannya tanah berbatu yang terjal menanjak. Karena itu, untuk memudahkan anak-anak belajar, kami tetap mendirikan sekolah darurat di pengungsian,” ujar Hafidz.
Para sukarelawan pengajar menargetkan sebelas siswa kelas 6 dari total 49 murid MI Mathla’ul Anwar lulus ujian tahun ini untuk bisa berlanjut ke jenjang pendidikan berikutnya. Pengajar menerapkan metode pengajaran intensif mirip kursus bimbingan belajar (bimbel) agar mereka cepat mengejar ketertinggalan materi di tengah situasi darurat.
Gedung MI Mathla’ul Anwar luluh lantak bersama 40 rumah warga Seupang. Sebanyak 290 jiwa dari 70 keluarga terdampak. Untungnya, tidak ada korban jiwa di sana.
Untuk sekabupaten, data BNPB per 29 Januari, jumlah penduduk Lebak yang terdampak bencana 17.860 jiwa. Sebanyak 9 orang meninggal, 9 orang luka berat/rawat inap, dan 13.780 luka ringan/rawat jalan. Adapun pengungsi tercatat 699 orang. Terdapat 41 unit tempat pendidikan yang rusak berat, terdiri dari taman kanak-kanak, pendidikan anak usia dini, SD, sekolah menengah pertama, dan pondok pesantren.
Bencana juga merusak infrastruktur transportasi di Lebak. Sebanyak 27 unit jembatan baik permanen maupun gantung putus, dan jalan amblas sepanjang total 40 meter. Salah satu jembatan yang putus berlokasi di Kampung Muara, untuk menyeberangi Sungai Ciberang menuju Kampung Seberang di Kecamatan Lebakgedong.
Jembatan darurat pun dibangun untuk penyeberangan manusia dengan bahan kayu. Itu pun hanya menjangkau setengah lebar sungai, sedangkan setengahnya lagi dilalui dengan berjalan kaki melewati air sungai yang deras dan berwarnah coklat pekat, diduga karena membawa luruhan material dari perbukitan.
Kondisi ini menghambat perjalanan warga, bahkan membahayakan. Rohadi (50) bersama istri dan anaknya adalah bagian dari warga yang menggunakan jembatan darurat tersebut pada Minggu (26/1/2020). Padahal, Rohadi baru saja pulang dari rumah sakit di Rangkasbitung karena sakit lambung dan paru-paru. Ia menjalani rawat inap 20 hari di sana.
Dari rumah sakit, Rohadi menumpang angkutan hingga Kampung Muara. Setelah itu, ia turun dari angkutan dan mengenakan sepatu boot untuk turun ke sungai. Dalam kondisi belum pulih 100 persen, ia menantang bahaya meniti satu per satu batu di sungai untuk mencapai jembatan darurat. Jika salah memijak, kaki bisa terjerumus ke dalam sungai, bahkan mungkin terbawa arus.
Untungnya, ia berhasil melewatinya dan di seberang sungai menumpang ojek menuju rumahnya di Desa Lebaksitu, Lebakgedong. “Sebelum bencana, mobil bisa lewat jembatan,” kata Rohadi.
Sekretaris Daerah Lebak Dede Jaelani mengatakan, Lebak sekarang dalam masa transisi menuju pemulihan hingga empat bulan ke depan. Selama masa ini, perbaikan infrastruktur jadi sasaran, termasuk jembatan.
Pihaknya sejauh ini belum mendapat angka final terkait perkiraan kerugian akibat bencana awal tahun di Lebak.