Warga korban longsor di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menanggung dampak kerusakan lingkungan di kawasan itu. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal karena kerusakan hutan, penambangan ilegal, dan alih fungsi lahan.
Oleh
STEFANUS ATO/AGUIDO ADRI/JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Satu bulan pascabencana di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kondisi korban terdampak belum juga pulih. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal karena kerusakan hutan, penambangan ilegal, hingga alih fungsi kawasan itu. Tanpa upaya masif untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, ancaman bencana di masa depan berskala besar masih mengancam.
Pemerintah Kabupaten Bogor menyatakan, korban longsor yang harus direlokasi sebanyak 17.582 keluarga. Hingga Rabu (29/1/2020), sebagian besar dari korban longsor itu bertahan di tenda pengungsian darurat, rumah kerabat, atau mengontrak rumah.
Di Desa Harkatjaya, Kecamatan Sukajaya, pada Selasa (28/1/2020), masih ada 92 jiwa dari total 70 keluarga yang tinggal di tenda pengungsian sejak bencana melanda Kabupaten Bogor pada 1 Januari 2020. Mereka tinggal berdesak-desakan dalam satu tenda yang berukuran sekitar 20 meter x 5 meter. Kondisi serupa juga ditemukan Kompas saat mendatangi pengungsi di Desa Pasir Madang, Desa Kiarapandak (Kecamatan Sukajaya), dan Desa Sukaraksa (Kecamatan Cigudeg).
Manta (57), salah seorang korban bencana di Desa Harkatjaya, mengatakan, mereka sudah dua minggu tinggal di tenda pengungsian yang dibangun Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Ia bersama pengungsi lain sebelumnya mengungsi di salah satu bangunan sekolah di Desa Harkatjaya.
Namun, karena sekolah itu sudah kembali dimanfaatkan untuk aktivitas belajar, warga dialihkan ke tenda pengungsian. ”Di tenda, kalau siang itu terlalu panas, susah tidur. Duduk di dalam saja setengah mati. Yang paling menderita itu anak-anak,” ujarnya.
Sementara itu, di Kampung Ciberani, Desa Pasir Madang, korban yang rumahnya hilang akibat longsor mengungsi di rumah kerabat. Satu rumah menampung korban pengungsi dua hingga tiga keluarga. ”Sejak kena musibah, saya tinggal di rumah anak pertama. Kami, 11 orang tinggal di satu rumah,” ujar Neni (48), salah seorang korban longsor di Kampung Ciberani.
Rumah yang ditinggali Neni merupakan rumah anak pertamanya. Rumah itu tergolong kecil dan hanya memiliki satu kamar tidur. Sebagian anak dan cucu Neni saat malam tiba memilih beristirahat di posko bantuan yang dibangun tak jauh dari rumah itu. Hingga kini mereka belum mendapat kepastian dari pemerintah terkait rencana relokasi. Warga hanya mendengar informasi bahwa ada komunitas sukarelawan yang berencana membangun hunian sementara. Namun, waktu dan lokasi pembangunan belum diketahui.
Ia mengatakan, bencana itu mengakibatkan usaha warungnya tutup. Keperluan makan, minum, dan pakaian mengandalkan kemurahan hati para sukarelawan. Padahal, dia sangat membutuhkan pekerjaan untuk keperluan cuci darah suaminya yang sudah dua tahun menderita penyakit leukimia.
Longsor yang melanda Kampung Ciberani, Desa Pasir Madang, mengakibatkan 24 rumah rusak berat, 4 rumah rusak ringan, dan 190 rumah terdampak bencana. Sementara itu, korban terdampak akibat peristiwa itu sebanyak 662 keluarga.
Bencana masih mengancam
Penanganan terhadap korban bencana serba minim, darurat, dan terbatas. Namun, bencana serupa di masa depan masih berpotensi mengancam. Di Kampung Ciberani, misalnya, terdapat ratusan rumah yang berada di lereng gunung. Kampung itu dikelilingi kawasan pegunungan atau sekilas mirip seperti permukaan di dalam kuali.
Sebagian pegunungan yang mengitari kampung itu gundul dan terdapat banyak titik longsor. Masih banyak pecahan tanah yang berpotensi longsor jika sewaktu-waktu kembali terjadi hujan deras seperti awal Januari 2020. Meski demikian, kawasan pegunungan itu merupakan lahan hak guna usaha (HGU) milik sejumlah perusahaan yang beroperasi sejak zaman Orde Baru. Kawasan pegunungan itu dulunya dimanfaatkan untuk aktivitas perkebunan teh, karet, dan cengkeh.
Halim (53), warga Kampung Ciberani, mengatakan, sejumlah perusahaan itu berhenti mengelola perkebunan di kampung itu sejak tahun 1996. Sebagian tanaman, seperti cengkeh, karet, dan teh, masih tumbuh di areal bekas perkebunan itu. ”Waktu itu mereka tinggalkan begitu saja. Kalau sekarang ada yang sudah jadi hutan, itu pohon yang tumbuh liar karena tidak pernah ada penghijauan kembali di sini,” katanya.
Meski kawasan perkebunan sudah tidak aktif, warga sekitar tidak memanfaatkan lahan HGU itu sebagai lahan pertanian. Sebab, lahan bekas areal perkebunan itu dilarang untuk dimanfaatkan. Warga setempat yang tidak memiliki lahan pertanian terpaksa bekerja serabutan sebagai pengepul kayu, menambang emas ilegal, hingga bekerja ke kawasan perkotaan, seperti Jakarta dan Bogor. ”Saya jual kayu bakar karena tanah kami memang sudah habis terjual. Yang tersisa tinggal rumah yang sudah hilang karena longsor,” ujar Halim.
Potensi bencana serupa juga terlihat di kawasan Desa Pasir Madang, tempat berdirinya kantor Kecamatan Sukajaya. Desa yang kontur tanahnya miring itu bahkan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil direkomendasikan untuk dikosongkan. Sebagai gantinya, pemerintah menyiapkan lahan relokasi di kawasan datar perkebunan sawit milik PTPN di Desa Sukaraksa, Kecamatan Cigudeg.
Menurut Kepala Desa Pasir Madang Encep Sunarya, desanya memang daerah rawan longsor. Sejak 2003-2020, sudah delapan kali longsor terjadi di wilayah itu. Bencana terakhir di awal 2020 merupakan bencana terbesar dengan total korban terdampak 541 keluarga dari total penduduk 1.300 keluarga. ”Walaupun sering longsor, warga berharap relokasi tidak jauh dari sini. Sebab, sebagian besar warga saya petani. Kalau relokasinya jauh, mereka pasti kehilangan mata pencaharian,” katanya.
Opsi relokasi total diusulkan lantaran warga yang pernah terdampak longsor dan pernah direlokasi kembali mendapat bencana serupa di awal 2020. Misalnya, warga Kampung Hegermana, yang pada tahun 2003 dipindahkan dari lereng Gunung Jembang karena longsor, kembali mendapat musibah serupa di awal 2020.