Jakarta Tempati Posisi Ke-10 Kota Termacet di Dunia
Jakarta masih menempati posisi ke-10 kota termacet di dunia, naik tiga peringkat daripada sebelumnya. Tak ada penguraian kemacetan secara signifikan dalam setahun ini.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/WISNU WARDHANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — TomTom Traffic Index 2019 menempatkan Jakarta di posisi ke-10 kota termacet di dunia, naik tiga peringkat dibandingkan dengan sebelumnya. Kenaikan bukan didasari penguraian kemacetan, tetapi adanya penambahan kota yang disurvei perusahaan pembuat perangkat global positioning system itu.
Berdasarkan indeks TomTom yang dirilis pada Kamis (30/1/2020), tingkat kemacetan di Jakarta pada 2019 masih sama dibandingkan dengan sebelumnya, yaitu 53 persen. Hal itu berarti tidak ada penguraian kemacetan secara signifikan selama setahun terakhir.
Meski begitu, pada indeks kemacetan tahun 2019, Jakarta ditempatkan pada posisi ke-10 dari 416 kota di 57 negara. Setahun sebelumnya, yakni tahun 2018, Jakarta berada di posisi ke-7 dari 403 kota.
Peningkatan tiga peringkat ini disebabkan ada penambahan tiga kota baru yang disurvei TomTom, yakni Bengaluru (India), Manila (Filipina), dan Pune (India). Ketiga kota itu langsung menempati peringkat 10 besar kota termacet.
Pada 2019, rata-rata pengendara di Jakarta menghabiskan 62 persen dari waktu perjalanan akibat terjebak di kemacetan saat jam sibuk pagi hari atau rata-rata menambah 19 menit setiap 30 menit waktu perjalanan.
Kemacetan dirasakan kian parah pada sore hari, yakni sampai 87 persen dari waktu perjalanan. Dibandingkan dengan saat lalu lintas normal, pengendara rata-rata menambah 26 menit setiap 30 menit perjalanan.
Kebijakan belum efektif
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, menilai, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi stagnasi tingkat kemacetan di Jakarta.
Kebijakan pembatasan kendaraan melalui sistem ganjil-genap, misalnya, dinilai kurang efektif. Sebab, saat ini, warga bisa menyiasatinya dengan membeli kendaraan baru atau memalsukan pelat nomor kendaraan.
Oleh karena itu, menurut Djoko, penerapan sistem jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) sangat urgen. Sistem tersebut diyakini mampu menekan jumlah kendaraan pribadi.
Namun, lanjut Djoko, penerapan sistem jalan berbayar harus didukung dengan mengurangi kantong-kantong parkir di pusat kota.
Selain itu, Djoko menuturkan, penanganan kemacetan Ibu Kota juga harus melibatkan daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebab, mobilitas dari Bodetabek ke Jakarta mencapai 8 juta perjalanan setiap hari.
Untuk itu, Djoko menyarankan adanya kerja sama dan kebijakan satu tarif untuk transportasi umum. ”Layanan transportasi umum harus sampai ke perumahan dan permukiman di Bodetabek. Banyak rute masih kurang maksimal,” katanya.
Dikaji
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo di Balai Kota Jakarta menyampaikan, pihaknya akan mempelajari terlebih dahulu hasil survei terbaru TomTom ini.
Namun, Syafrin mengklaim bahwa kebijakan ganjil-genap yang diterapkan sejak 9 September 2019 berhasil menurunkan tingkat kemacetan di Jakarta.
Dari catatan Dishub DKI, di 25 ruas jalan yang diterapkan ganjil-genap, terjadi peningkatan laju kendaraan dari rata-rata 25 km per jam menjadi 33 km per jam. Selain itu, terjadi juga pengurangan volume lalu lintas 30 persen.
”Jadi, cukup signifikan pengurangan traffic-nya. Hanya saja, saya pelajari dulu survei TomTom itu,” ucap Syafrin.
Syafrin juga menambahkan, pihaknya akan mengkaji kembali soal penghapusan pembatasan sepeda motor di pusat kota, seperti kawasan Sudirman-Thamrin. ”Termasuk sepeda motor, kami akan lakukan (kajian),” katanya.