Kisah Kasih Jakarta-Casablanca
Ada Rue Soekarno di Rabat, Maroko. Ada Jalan Casablanca di Jakarta, Indonesia. Ada rentang panjang cerita manis persahabatan dua negara yang terjalin hingga kini.
Bus melaju pelan saat memasuki Kota Rabat, Maroko, pada Rabu (8/1/2020). Karim, sopir bus, sengaja mengurangi kecepatan untuk memberi waktu para penumpang bus agar bisa memotret ujung jalan beserta salah satu gerbang kuno di kota itu. Ujung jalan, gerbang, serta benteng kuno yang satu ini memang spesial, terutama bagi para pelancong asal Indonesia yang kala itu memenuhi separuh isi bus.
”Ini adalah ujung Rue Soekarno. Namanya sesuai dengan nama Presiden Indonesia pertama, Soekarno,” kata Mohammed, pemandu wisata lokal yang menemani selama acara Trafalgar Travel Agent and Media Familiarization Trip ”Best of Morroco” 7-13 Januari 2020.
Namun, karena padatnya jadwal perjalanan hari itu, kendaraan berbadan bongsor tersebut tidak bisa berhenti barang sejenak pun di Rue Soekarno. Meskipun demikian, rasanya bangga bisa melewati jalan itu dan mengabadikan ruas aspal itu sebisa mungkin lewat dari bidikan kamera dari jendela bus.
”Presiden pertama Indonesia memiliki arti penting bagi Maroko. Soekarno dan bangsanya mendukung perjuangan kami merdeka dari penjajah. Ia langsung mengakui kemerdekaan kami setelah proklamasi pada 2 Maret 1956,” kata Mohammed.
”Presiden pertama Indonesia memiliki arti penting bagi Maroko. Soekarno dan bangsanya mendukung perjuangan kami merdeka dari penjajah. Ia langsung mengakui kemerdekaan kami setelah proklamasi pada 2 Maret 1956,” kata Mohammed.
Di Rabat, selain Jalan Soekarno juga ada Jalan Jakarta dan Jalan Bandung. Nama-nama itu diabadikan di sana tidak terlepas dari rekam jejak hubungan Indonesia-Maroko setidaknya dari tahun 1950-an.
Dalam buku biografi Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, terbitan tahun 1978, diketahui bahwa dukungan kuat Indonesia terhadap kemerdekaan Maroko dan negara-negara di Afrika diwujudkan antara lain dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.
Sebelumnya, pada 1951, beberapa negara di Afrika Utara, termasuk Tunisia, Aljazair, dan Maroko, meminta dukungan Indonesia dalam upaya mereka mengakhiri penjajahan di negaranya. Sebagai jawaban, seperti tertuang dalam bukunya, Natsir bersama tokoh Indonesia lain membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara.
Baca juga: Berber Bukan Barbar
Bantuan materiil dari Indonesia yang baru saja lepas dari penjajah Belanda dan Jepang tentu tak banyak. Akan tetapi, bantuan moril yang kuat menyemangati Maroko serta negara-negara tetangganya. Saat KAA dihelat pada 18-24 April 1955, perwakilan Afrika Utara datang hanya sebagai peninjau karena belum merdeka. Sekitar setahun kemudian, Maroko dan Tunisia merdeka dari Perancis.
Dalam laman resmi Kedutaan Besar Indonesia di Rabat, Kerajaan Maroko, disebutkan, kunjungan Presiden Soekarno ke Rabat pada 2 Mei 1960 tercatat sebagai kunjungan kepala negara pertama di dunia ke Maroko pasca-kemerdekaannya. Kunjungan itu mendapat sambutan hangat dari Raja Mohammed V dan rakyat Maroko. Presiden Soekarno dianggap sebagai pemimpin revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Baca juga: Istana Bahia yang Terindah di Marrakech
Bersamaan dengan kunjungan itu, Raja Mohammed V mengajak Presiden Soekarno meresmikan Jalan Soekarno di Rabat. Soekarno disebut menolak tawaran hadiah dari Mohammed V dan hanya meminta agar hubungan kedua negara ditandai dengan rakyat Indonesia dan Maroko yang akan selalu bersaudara. Mohammed V pun menetapkan aturan bebas visa bagi setiap kunjungan warga negara Indonesia ke Maroko yang berlaku hingga saat ini. Selain itu, ada hubungan ekonomi, pendidikan, juga kerja sama sister city atau kota kembar.
Penanda eratnya hubungan Indonesia-Maroko juga terwujud dengan penamaan Jalan Casablanca sebagai salah satu poros akses tersibuk di Jakarta, tepatnya di wilayah administrasi Kota Jakarta Selatan.
Baca juga: Daging Unta hingga Salad Pelangi di Kota Berusia 12 Abad
Negara berkembang
Selama sekitar 60 tahun terakhir, banyak peristiwa di dalam negeri ataupun dunia yang memengaruhi naik-turunnya hubungan Indonesia-Maroko. Kedua negara hingga kini masih harus berjuang untuk melepaskan diri dari berbagai isu yang erat terkait dengan kondisinya sebagai negara berkembang.
Baca juga: Zellige, Mozaik Keramik Fes untuk Dunia
The Economist edisi perdana di 2020, Januari ini, dalam laporan ”The World in Numbers” menyebut tidak ada keraguan akan supremasi Raja Mohammed VI, cucu Raja Mohammed V, yang kini berkuasa di Maroko. Pembenahan dan pembangunan di segala lini tengah digencarkan untuk melawan pengangguran, naiknya biaya hidup, juga praktik korupsi di negara berpenduduk 36,9 juta jiwa itu.
Di majalah yang sama, Indonesia disebut tengah berpacu meningkatkan dan melengkapi infrastruktur di semua daerahnya. Presiden Joko Widodo dilaporkan, antara lain, bertekad meningkatkan kualitas pendidikan dan keterampilan sekitar 267,5 juta jiwa warganya.
Pembenahan kawasan-kawasan penting di kedua negara, khususnya pusat pertumbuhan ekonomi seperti di perkotaan kasat mata terlihat. Di Jakarta, misalnya, pembangunan transportasi publik termasuk yang mudah dilihat kemajuannya dalam 10 tahun terakhir. Angkutan massal, seperti mass rapid transit atau MRT Jakarta, jaringan bus Transjakarta, dan kereta komuter juga integrasi dengan angkutan reguler terus digenjot pembangunannya. Angkutan massal diyakini bakal mengurai kemacetan serta memastikan mobilitas warga lancar yang berarti turut menjamin perputaran perekonomian berjalan baik.
Baca juga: Menikmati Keindahan Masjid Hassan II
Derap laju pembangunan pun menggema di kota-kota di Maroko. Angkutan massal berbasis rel, khususnya tram, menjadi pilihan untuk angkutan perkotaan di Rabat, Casablanca, Marrakech dan kota-kota lain. Mohammed menyebutkan bahwa kereta cepat yang menghubungkan Maroko dan Spanyol yang saling berbatasan langsung, tengah dalam proses diwujudkan.
Merawat kerja sama
Rabat sebagai ibu kota negara diakui UNESCO karena bisa melestarikan peninggalam dari masa kerajaan pada abad pertengahan berupa benteng-benteng kota lengkap dengan gerbang-gerbang tua. Benteng setebal lebih dari dua meter dengan tinggi di atas 10 meter terbuat dari batuan sewarna pasir coklat terang mudah ditemukan di semua penjuru Rabat.
Di Kota Fes dan Marrakech, publik bakal terperangah melihat kota tua berusia lebih dari 10 abad yang masih ”hidup” sampai kini. Kota tua atau medina di Fes, misalnya, dinobatkan sebagai salah satu kota tua terluas di dunia dengan benteng keliling sepanjang 17 kilometer.
Baca juga: Cerita Burung Dara di Casablanca
Casablanca dengan luas 387 kilometer persegi dihuni oleh sedikitnya 4,2 juta jiwa menjadi kota terbesar dan pusat ekonomi Maroko. Dari sisi kepadatan penduduk dan fungsi, Casablanca tak jauh beda dengan Jakarta.
Casablanca juga memiliki sisi-sisi kota yang berbeda. Ada sisi kota penuh dengan bangunan tinggalan Perancis pada awal 1900-an yang cantik, tetapi kurang terurus dan dibiarkan berdebu. Sisi lain, seperti di sepanjang Pantai Tahiti tepat di tepi Samudra Atlantik, ada bagian kota yang amat tertata, modern, dan bersih.
Dengan persamaan yang ada, kerja sama kota kembar yang telah dijalin antara Jakarta dan Casablanca ditingkatkan menjadi sister province antara Jakarta dan Casablanca Settat (kawasan metro Casablanca) mulai 18 April 2018.
Bagaimana menata kota tua hingga tembus diakui UNESCO sebagai warisan dunia layaknya kota tua-kota tua di Maroko, layak dipelajari Jakarta juga Indonesia. Maroko sukses mengelola aset kota tuanya sebagai tujuan wisata. Sepanjang tahun lalu, lebih dari 10 juta wisatawan asing masuk ke Maroko.
Yang pasti, kerja sama atas dasar saling menghormati sebagai sesama negara berdaulat seperti diawali oleh Soekarno dulu, pantas dilanjutkan dan terbukti mampu menjadi pendorong meraih cita-cita kemajuan bangsa.
Baca juga: Penyamakan Kulit di Medina Fes
Baca juga: Mausoleum Mohammed V dan Kisah Sahabat Soekarno di Rabat