Label Kampung Ramah Anak ternyata tidak menjamin sebuah kawasan benar-benar aman untuk mereka. Di Jakarta Utara, anak-anak terlihat prostitusi yang diduga berlangsung puluhan tahun.
Oleh
Aguido Adri/Stefanus Ato
·6 menit baca
Siapa sangka, di Kampung Ramah Anak itu justru nasib anak-anak sering dipertaruhkan. Atribusi ”ramah anak” yang tertera di papan RW 013 Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, seakan tidak berarti apa-apa. Hanya sekadar status. Puluhan tahun di kawasan ini menjadi praktik prostitusi yang melibatkan anak-anak.
Praktik ini terbongkar setelah polisi menggerebek sejumlah kafe di Kampung Rawabebek, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (13/1/2020) lalu. Minimnya penerangan membuat suasana kafe di kawasan permukiman padat penduduk itu terlihat remang-remang di malam hari. Sejumlah pekerja seks komersial (PSK) dewasa yang tengah duduk menawarkan diri kepada setiap lelaki yang melintas. Selain kafe, berdiri ratusan kamar kecil berukuran sekitar 2 meter x 3 meter yang berjejer bersisian dengan rel kereta api. Jarak kamar-kamar itu dengan rel kereta api tak sampai dua meter.
Sejumlah anak perempuan dengan rias muka laiknya perempuan dewasa kerap terlihat menjajakan diri di lokasi yang berada di tepi rel kereta api, di Kampung Rawabebek, Penjaringan, Jakarta Utara. Pemandangan tersebut bisa disaksikan setiap malam sebelum Polda Metro Jaya, Senin (13/1/2020), mengerebek daerah yang diketahui sebagai tempat prostitusi itu.
Puluhan tahun prostitusi ada di sekitar permukiman warga. Namun, tidak diketahui dengan pasti, sejak kapan anak-anak mulai sering terlibat dalam praktik itu. Warga setempat mengakui, pengawasan lingkungan sekitar belakangan longgar. Meski sudah beberapa kali ada penertiban oleh aparat setempat, tetap saja praktik itu terjadi lagi.
Setelah penggerebekan, aparat Kecamatan Penjaringan (Jakarta Utara) menyegel kafe yang memperdagangkan anak. Camat Penjaringan Depika Romadi khawatir aktivitas di tempat dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan kejahatan. Depika belum secara tegas ingin menutup kafe-kafe yang digerebek polisi itu. ”Kami akan membahas di tingkat pimpinan pasti kebijakan akan mempertimbangkan laporan dari warga terkait kenyamanan dan keamanan lingkungan,” kata Romadi.
Saat siang, permukiman di kawasan itu terlihat seperti pemukiman pada umumnya. Namun, menjelang malam, kawasan itu berubah menjadi tempat hiburan dengan gemerlap lampu lelap kelip. ”Kalau malam ramai banget, ada musik, orang minum-minum (miras), dan banyak PSK dewasa dan anak-anak. Kami sudah biasa karena saya juga, kan, usaha jualan di sini,” kata Setiono (40), warga setempat.
Ia mengatakan, PSK yang bekerja di sana sebagian merupakan perempuan pindahan dari Lokalisasi Kalijodo, yang sudah dibongkar dan ditutup Pemerintah Provinsi DKI pada Maret 2016.
Wakil Ketua RT 002 RW 013, Penjaringan, Agung Tomasia mengatakan, dari sekitar 23 kafe, sebagian di antara pernah beroperasi di Kalijodo. ”Ada sebagian dari Kalijodo, tetapi tidak semua. Tempat ini, kan, sudah beroperasi sekitar 30 tahun yang lalu,” ucapnya.
Meski tak menjawab pasti praktik prostitusi itu diperbolehkan atau tidak, Agung mengakui, pengurus RT rutin berkoordinasi dengan Komisi HIV AIDS Jakarta Utara dengan membuka Pokja HIV AIDS. Pokja itu bertugas menekan penyebaran HIV/AIDS dengan sosialisasi dan mendeteksi PSK yang sudah tertular HIV. ”Jadi, kami sudah koordinasi dengan para pemilik kafe agar (PSK) jangan ada yang di bawah umur. Kami selalu sosialisasi dan arahkan itu. Kejadian kemarin kami tidak tahu,” ujarnya.
Agung menjelaskan, para PSK yang bekerja di sana ada yang terikat hubungan kerja dengan pemilik kafe. Tugas mereka melayani tamu-tamu yang berkunjung. ”Ada yang tidak ada ikatan kerja dengan pengusaha kafe. Itu mereka datangnya dari mana-mana dan jumlahnya sangat banyak,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara Komisaris Wirdhanto Hadicaksono mengatakan, Polres Metro Jakarta Utara akan melakukan penyelidikan terhadap sindikat penjualan anak di bawah umur, terutama terkait masalah prostitusi. Tokoh masyarakat dan pemerintahan setempat, seperti RT dan RW, juga diimbau aktif mengawasi wilayahnya.
”Apabila ada pendatang baru, warga harus melaporkan ke RT dan RW setempat sehingga kami bisa mendata apa tujuan mereka datang ke sini. Kalau memang untuk bekerja, harus memenuhi syarat, mulai dari data kependudukan sampai batas usia yang diperbolehkan undang-undang,” katanya yang juga akan melakukan patroli agar kasus prostitusi di bawah umur tak terjadi lagi.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihan mengatakan, 10 anak yang saat ini mulai direhabilitasi terlibat dalam praktik prostitusi yang sangat eksploitatif karena ada unsur pemaksaan dan penguasaan atas keputusan orang dewasa.
Karena itu, kata Maryati, penanganan hukum tidak cukup hanya berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Penutupan prostitusi oleh pemerintah juga dinanti agar tidak ada lagi korban prostitusi anak di bawah umur. ”Hukum harus ditegakkan dengan berpihak pada anak. Jangan karena mereka anak-anak lalu pelaku hanya dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak. Harus dikaji dan dilihat lagi eksekusinya. Mereka tidak bisa dikenai hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Itu tidak akan memberikan efek jerat,” kata Maryati.
Menurut Maryati, penegakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) perlu komitmen hukum serta melindungi hak-hak hidup dan masa depan anak-anak. Pelaku yang terlibat, mulai dari mucikari, perekrut, hingga perusahaan yang menjual jasa mereka, telah melakukan pemaksaan dan kekerasan eksploitatif yang menyebabkan trauma. Belum lagi jika anak-anak tersebut hamil, terkena penyakit, atau meninggal, pelaku harus dihukum seumur hidup.
Para tersangka dikenai Pasal 76I juncto Pasal 88 dan/atau Pasal 76F juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200 juta. Pasal dilapis dengan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 506 KUHP.
Salah satu rekomendasi Maryati untuk penegak hukum untuk mengenakan pasal dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Karena memperdagangkan anak yang belum dewasa, ia memperkirakan hukuman penjara bagi keenam tersangka bisa lebih berat, yakni menjadi maksimal 20 tahun. Dengan cara demikian, efek jera lebih kuat.
”Nah, ini tidak ditemukan di UU Perlindungan Anak. Ini menjadi persoalan, pelaku menyasar anak-anak karena hukumannya ringan. Mereka menghasilkan omzet sebesar Rp 2 miliar per bulan. Betapa mengerikan apa yang pelaku lakukan. Eksekusi penindakan hukum lemah seharusnya bisa di-juncto-juncto dengan peraturan atau UU yang mencerminkan kejahatan luar biasa yang pelaku lakukan kepada anak-anak,” papar Maryati.
Selain itu, Maryati juga menyoroti aspek pencegahan. Ia menilai TPPO, terutama dengan korban anak-anak, masih perlu ditingkatkan. Dari level pusat, provinsi, kabupaten, hingga kota belum menunjukan efektivitas pencegahan secara masif. TPPO 2018 dan 2019, Maryati menilai sosialisasi TPPO yang dilakukan pemerintah hanya menyasar di beberapa sekolah. Semua lembaga pemerintahan perlu terlibat dan didukung pula oleh lembaga masyarakat dan keluarga.
Selain itu, pada penanganan perlu dievaluasi. Dalam penanganan anak korban perdagangan dan prostitusi, pemerintah tidak cukup pada proses penyembuhan dan rehabilitasi semata. ”Mereka para penyintas yang harus kembali memiliki mental yang kuat. Permasalahan anak-anak ini berat dan perjalanan hidup mereka masih panjang. Artinya, negara memiliki kepentingan dan tanggung jawab untuk membentuk sikap mental,” tutur Maryati.