Pemprov DKI Jakarta Izinkan Penggunaan Kantong Plastik untuk Bahan Pangan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai apabila digunakan untuk wadah bahan pangan yang belum terkemas.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai apabila digunakan untuk wadah bahan pangan yang belum terkemas. Penggunaan plastik tidak bisa sepenuhnya dilarang karena belum ada penggantinya.
Kepala Seksi Humas Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Yogi Ikhwan mengatakan, tidak ada larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai yang digunakan untuk wadah bahan pangan yang belum terkemas. Hal itu diterangkan dalam Pasal 7, 10, dan 13 Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.
”Untuk sementara, kebijakan kita untuk pembatasan kantong plastik sekali pakai. Kalau (plastik) pembungkus bahan pangan mentah atau makanan yang belum ada kemasannya masih boleh,” kata Yogi di Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Untuk sementara, kebijakan kita untuk pembatasan kantong plastik sekali pakai. Kalau (plastik) pembungkus bahan pangan mentah atau makanan yang belum ada kemasannya masih boleh.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta secara resmi melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat mulai Juli 2020. Aturan itu tertuang dalam Pergub DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019.
Meskipun bertujuan mengurangi jumlah sampah plastik di tempat pembuangan akhir sampah, kebijakan itu menuai sejumlah kritik, terutama di kalangan pengusaha. Bagi mereka, kantong belanja ramah lingkungan yang murah, ringan, tahan air, dan bisa menggantikan kantong plastik atau keresek yang digunakan sehari-hari itu belum ada.
”Kalau keresek dilarang, nanti bungkus bahan-bahan mentah yang basah (seperti daging ayam, sapi, dan ikan) pakai apa? Enggak mungkin pakai kertas, kan,” kata Titin (51), pedagang daging segar di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, dari total 7.500 ton sampah yang masuk ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang setiap hari, sebanyak 14 persen merupakan sampah plastik. Kebijakan melarang penggunaan kantong plastik dalam rangka mengurangi jumlah sampah plastik yang berakhir di tempat pengelolaan sampah.
Bagi sejumlah orang, plastik yang dianggap tidak ramah lingkungan atau butuh waktu ratusan tahun untuk terurai punya nilai ekonomi dan bisa didaur ulang menjadi barang berguna. Sayangnya, kesadaran masyarakat dalam memilah sampah masih minim sehingga sebagian besar sampah plastik yang bisa didaur ulang itu malah berakhir di tempat pembuangan akhir sampah.
Pendiri Koperasi Trashion, Herianti Porsi Simarmata, misalnya. Herianti berhasil menyulap sampah plastik menjadi produk aksesori sehari-hari. Produk-produknya itu berupa dompet koin, tas tempat sabun, serta tas jinjing, ransel, dan koper.
”Produk dijual dari Rp 20.000-an untuk dompet kecil hingga Rp 700.000-an untuk tas koper. Secara rata-rata, dalam sebulan, sebanyak 200 produk laris terjual,” katanya.
Produk dijual dari Rp 20.000-an untuk dompet kecil hingga Rp 700.000-an untuk tas koper. Secara rata-rata, dalam sebulan, sebanyak 200 produk laris terjual.
Produk-produk itu dijual melalui Koperasi Trashion. Koperasi Trashion adalah sebuah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memproduksi barang kerajinan dari sampah kemasan plastik sejak 2007.
”Awalnya, saya hanya asal-asalan menjahit. Sekarang, kualitasnya sudah lebih baik. Alhamdulillah minat masyarakat terhadap barang kerajinan dari sampah plastik cukup baik, terutama di kalangan komunitas warga asing,” kata Yanti, sapaan akrab Herianti.
Menurut Yanti, sampah-sampah plastik yang masih bisa digunakan untuk membuat kerajinan itu terutama kemasan plastik bekas produk isi ulang, seperti sabun, sampo, dan detergen cair. Sampah plastik kemasan itu diperoleh dari pemulung atau rumah tangga yang memilah sampahnya dengan benar. Sampah-sampah itu dibeli seharga Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram.
”Jadi, karena kita mengolah sampah plastik, kita gerakkan pemulung dari lingkungan sekitar dan menyosialisasikannya kepada warga dan bank sampah supaya sampah kemasan plastik isi ulang itu dikumpulkan. Jenis plastik itu tadinya enggak diminati pemulung karena enggak ada nilainya,” tutur Yanti.
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sampah masih rendah. Sebanyak 62,01 persen responden mengatakan tidak memilah sampah berdasarkan jenisnya.