Rutgers WPF Indonesia meluncurkan laman konseling daring SobatASK, salah satunya untuk mencegah dampak perundungan pada remaja. Untuk melenyapkan perundungan, peran guru dan orangtua penting.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
Kompas
Ilustrasi
Sabtu (14/12/2019), aula serbaguna Palang Merah Indonesia Jakarta Timur riuh rendah oleh ratusan pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas se-Jakarta Timur. Siang itu, mereka menyimak sosialisasi tentang bullying atau perundungan, dampak perundungan, dan cara ”melawannya”.
Kegiatan itu diinisiasi oleh Rutgers WPF Indonesia—organisasi nonprofit yang fokus pada isu hak, kesehatan seksual dan reproduksi, serta kekerasan berbasis jender—dan Palang Merah Indonesia Jakarta Timur.
”Siapa yang pernah mendapat perundungan? Lalu, siapa yang melakukan perundungan? Atau, ada yang mengalami keduanya?” tanya konselor remaja dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Jakarta, Diah.
Konselor SobatASK, Sarwitri, menjelaskan tentang perundungan kepada pelajar SMP dan SMA se-Jakarta Timur di PMI Jakarta Timur, Sabtu (14/12/2019).
Tak dinyana, banyak pelajar mengangkat tangan. Sebagian mengaku pernah menjadi korban, sebagian lain pelaku, tetapi tak sedikit yang pernah menjadi korban, tetapi lantas ikut-ikutan menjadi pelaku.
Diah melanjutkan pertanyaannya. ”Apakah arti perundungan?” Dennisa, salah satu pelajar, menjawab, perundungan artinya caci maki. Pelajar lain menyahut, perundungan adalah menindas, melakukan kekerasan, merundungi, menghina, atau mengucilkan seseorang.
Deswin dan Ceria, misalnya. Kedua pelajar ini bercerita pernah menjadi korban perundungan fisik dari temannya. Kata-kata hinaan hampir setiap hari mereka alami. ”Sakit, marah, kesal. Enggak suka gitu, dikata-katain,” ujar Deswin.
Kendati demikian, keduanya sabar. Mereka memilih diam dan menghindar. Sebab, menurut mereka, tidak ada gunanya membalas. ”Harus sabar dan bertawakal. Nanti orang yang merundung capek sendiri,” kata Deswin.
Lain lagi dengan Lailah dan Meilany. Keduanya pernah menjadi pelaku perundungan. Sasarannya, temannya yang dianggap kurang pintar.
Pelajar mendapatkan penjelasan tentang perundungan dalam sosialisasi perundungan kepada pelajar SMP dan SMA se-Jakarta Timur di PMI Jakarta Timur, Sabtu (14/12/2019).
Kini, dengan banyaknya remaja menggunakan media sosial, perundungan marak pula terjadi di dunia maya tersebut. Riska dan Novia, pelajar lainnya, pernah mengalaminya. Video Tik-Tok keduanya pernah jadi target perundungan.
”Kecentilan banget jadi orang, sok cantik, dasar bucin (budak cinta).” Begitulah komentar teman-teman mereka. Padahal, lanjut Riska, keduanya tidak centil. Mereka hanya mengikuti tren yang sedang berkembang.
Namun, sama seperti Deswin dan Ceria, Riska dan Novia memilih untuk tidak membalasnya. ”Takut membalas, nanti komentar negatif makin banyak,” ujar Novia.
Kepedulian
Seusai mendengar ”curhat” para pelajar, Diah memutar video singkat. Video menampilkan sekelompok remaja perempuan di sebuah sekolah yang terbagi ke dalam kelompok kecil dan saling bertatapan sinis ketika bertemu. Di akhir video, ada dua siswi yang berjabat tangan dengan disaksikan teman-teman lain.
Para pelajar menangkap pesan dari video itu bahwa mereka harus saling membela, memaafkan, saling menghargai, dan melindungi. Diah menambahkan, ketika ada satu teman yang dirundung, teman lain jangan ikut merundung atau menyebarluaskan aksi perundungan.
Perundungan layaknya lingkaran tak berujung.
”Harusnya dilindungi atau didamaikan karena perundungan berpotensi diulang atau berulang. Perundungan layaknya lingkaran tak berujung,” ujar Diah.
Ketika perundungan didiamkan, siapa pun yang jadi korban berpotensi tertekan, merasa terasing, bahkan bisa berujung pada bunuh diri.
Dia mencontohkan, seorang pelajar di Jakarta nyaris bunuh diri karena kegemarannya untuk menggambar dipandang aneh oleh teman-temannya sehingga dia tak henti-hentinya dihina. Untung saja, sebelum dia betul-betul bunuh diri, pelajar itu berani bersuara ”melawan” para perundungnya.
Pelajar berfoto seusai sosialisasi tentang perundungan. Pelajar SMP dan SMA se-Jakarta Timur mendapatkan sosialisasi itu di aula PMI Jakarta Timur, Sabtu (14/12/2019).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 mencatat, bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak pada remaja dan orang dewasa dalam rentang usia 15-29 tahun. Di Indonesia, hasil survei dari Global School-based Student Health pada tahun 2015 menunjukkan, 1 dari 20 remaja memiliki keinginan bunuh diri.
SobatASK
Berangkat dari fenomena perundungan dan ancaman bunuh diri pada anak-anak muda itu, Rutgers WPF Indonesia melalui program ”Get Up Speak Out” meluncurkan laman konseling daring SobatASK (Akses, Servis, Ketahui). Para konselor yang sudah disiapkan siap menjadi teman curhat anak-anak muda.
Laman www.sobatask.net menjadi saluran untuk mendukung penyampaian informasi mengenai hak, kesehatan seksual dan reproduksi, serta kekerasan berbasis jender bagi remaja berusia 12-24 tahun.
Konselor SobatASK, Sarwitri, melihat, saat ini ada kecenderungan pelajar mencurahkan isi hati atau persoalannya di media sosial. Sayangnya, bukan solusi yang didapat, melainkan masalah baru.
Selain solusi melalui SobatASK, Country Representative Rutgers WPF Indonesia Amala Rahmah menekankan pentingnya guru-guru di sekolah dan orangtua untuk terus-menerus mendorong anak-anak berpikir positif dalam kehidupan sehari-hari. Rasa empati dan simpati juga harus terus ditumbuhkan. Hal-hal tersebut menjadi kunci untuk melenyapkan perundungan.
”Perundungan merupakan manifestasi dari harga diri (self-esteem) negatif yang dihayati oleh pelaku perundungan. Pelaku sering kali memandang rendah dirinya sehingga melakukan perundungan agar dirinya merasa lebih baik. Pelaku menginginkan orang lain merasa apa yang dia rasa dengan cara melukai orang lain,” tutur Amala Rahmah.