Lawan Arus dengan Taruhan Nyawa demi Tak Terjebak Satu Arah di Puncak
Bertahun-tahun warga kawasan Puncak, Bogor, terjebak dengan sistem satu arah saat akhir pekan. Mereka lebih rela melawan arus ketimbang harus berjam-jam menunggu padatnya kendaraan meski nyawa taruhannya.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Menjelang malam, puluhan pengendara sepeda motor berusaha melawan arus saat pemberlakuan satu arah di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (8/12/2019).
Bertahun-tahun warga kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, terjebak dengan sistem satu arah di Jalan Raya Puncak saat akhir pekan. Mereka lebih rela melawan arus ketimbang harus berjam-jam menunggu padatnya kendaraan di jalur satu arah. Tak jarang nyawa menjadi taruhan.
Titin (58), warga Ciawi, bergegas menuju Rumah Sakit Paru Goenawan Partowidigdo di Cisarua untuk berobat. Jarak Ciawi menuju Cisarua sekitar 10 kilometer, tetapi menjadi lebih sulit dicapai saat akhir pekan. Kesulitan tersebut lantaran adanya rekayasa lalu lintas sistem satu arah.
Minggu (8/12/2019) pukul 15.00 berlaku rekayasa satu arah di Jalan Raya Puncak untuk melancarkan kendaraan menuju Gadog. Meski satu arah, Titin yang mengendarai sepeda motor bersama anaknya tetap nekat melawan arus di Jalan Raya Puncak.
”Warga sini sudah biasa kalau harus melawan arus saat satu arah. Lagi pula, ini darurat karena saya harus berobat. Mau berputar lewat jalan lain pun harus kembali ke arah Gadog, dan itu terlalu jauh,” kata Titin saat beristirahat di tepi Jalan Raya Puncak.
Cara melawan arus lalu lintas tak hanya dilakukan Titin. Kurang dari semenit setelah Titin berlalu, ada puluhan sepeda motor lain yang turut melawan arus. Dengan berbagai kepentingan, mereka juga ingin menuju Puncak lebih cepat.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah kendaraan mengantre menjelang keluar Tol Jagorawi menuju Puncak, Jawa Barat, saat diberlakukan sistem buka tutup satu arah ke Jakarta, Minggu (8/12/2019) sore. Sistem kanalisasi 2-1 hanya diuji coba pada Sabtu, 7 Desember, dan tidak dilanjutkan pada Minggu. Dengan sistem 2-1, arus naik dan turun tetap ada, tetapi jumlah lajur untuk naik dan turun diatur sesuai kebutuhan.
Edi Santoso (42), pengendara lainnya, mengatakan, cara melawan arus tersebut membantu dirinya lebih cepat sampai rumah. Meski lebih cepat, ada risiko dirinya kerap bersenggolan dengan arus kendaraan satu arah.
”Pernah sekali waktu saya menyerempet sepeda motor lain saat sedang lawan arus. Karena yang saya serempet juga warga Puncak, jadi sama-sama mengerti susahnya jalan di sini karena dampak lalu lintas satu arah,” ujar Edi.
Warga nekat melawan arus saat pemberlakuan rekayasa satu arah di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (8/12/2019). Cara ini dilakukan warga karena merasa tidak punya pilihan melalui jalur mana saat rekayasa satu arah.
Melawan arus saat pemberlakuan satu arah seakan jadi fenomena yang lazim meski warga mengakui hal itu membahayakan. Mereka merasa tidak punya pilihan selain dengan cara melawan arus.
Sebagian besar warga merasa dirugikan dengan adanya rekayasa lalu lintas satu arah. Sebab, sistem satu arah dianggap memprioritaskan wisatawan yang naik ke Puncak saat pagi serta turun saat sore. Begitu seterusnya pola itu berjalan setiap Sabtu dan Minggu.
Pernah sekali waktu, saya menyerempet sepeda motor lain saat sedang lawan arus. Karena yang saya serempet juga warga Puncak, jadi sama-sama mengerti susahnya jalan di sini karena dampak lalu lintas satu arah.
Camat Cisarua Deni Humaedi mengatakan, dirinya tidak bisa berbuat banyak terhadap rekayasa lalu lintas yang telah menahun, setidaknya sejak 1999. Ia mengakui, Puncak telah menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan saat Sabtu-Minggu yang penataannya tidak dapat diatur hanya oleh pihak kecamatan.
”Kalau mengacu pada data dari Pemerintah Kabupaten Bogor, ada sekitar 19.000 kendaraan yang memadati kawasan Puncak saat akhir pekan. Apalagi, kawasan Puncak merupakan jalan nasional. Selama ini, pihak kecamatan hanya bisa mengandalkan pengamanan di lingkungan warga,” tuturnya.
Belakangan pun muncul rencana pemerintah untuk mengatur lalu lintas Puncak dengan kanalisasi lajur 2-1. Rencana ini membagi tiga lajur di kawasan Puncak dengan porsi dua lajur naik dan satu lajur turun serta berlaku kebalikannya.
Rencana yang diinisiasi Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan ini telah diuji coba dua kali, yakni pada 27 Oktober dan terakhir pada 7 Desember. Meski begitu, Kepala BPTJ Bambang Prihartono mengaku masih membutuhkan waktu untuk rapat analisis dan evaluasi, setidaknya hingga akhir tahun ini.
Ada sekitar 19.000 kendaraan yang memadati kawasan Puncak saat akhir pekan. Apalagi, kawasan Puncak merupakan jalan nasional. Selama ini, pihak kecamatan hanya bisa mengandalkan pengamanan di lingkungan warga.
”Rencana kanalisasi ini memang lebih mendorong agar Jalan Raya Puncak digunakan secara adil untuk warga dan wisatawan. Namun, kenyataannya, masih ada kepadatan yang belum terurai sehingga rencana itu pun masih perlu dibicarakan secara matang, hingga akhirnya resmi untuk diberlakukan,” ucap Bambang.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Bambang Prihartono
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai, pihak BPTJ dan Pemerintah Kabupaten Bogor kini seakan saling tunggu dalam mengambil keputusan. Hal tersebut, menurut dia, karena belum adanya sikap jelas yang muncul dari pemerintah pusat tentang bagaimana selanjutnya rencana konservasi Puncak.
Yayat menyebutkan, permasalahan krusial Puncak adalah soal rencana konservasi. Sejak tahun 2000-an, ia sudah melihat daya dukung jalan di Puncak beberapa tahun mendatang tidak akan lagi memadai. Hal tersebut pun kini terbukti dengan kepadatan kendaraan meski telah diberlakukan satu arah.
”Sistem satu arah juga membuat orang berpikir, tidak apa-apa menunggu berjam-jam agar arus kendaraan di Puncak keluar. Namun, hal ini justru berdampak pada pembangunan hotel dan restoran yang semakin masif di tepi jalan. Hal ini juga membuat Puncak semakin macet,” lanjutnya.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kendaraan antre menjelang keluar Tol Jagorawi menuju arah Puncak, Jawa Barat, saat diberlakukan sistem buka tutup satu arah ke arah Jakarta, Minggu (8/12/2019) sore. Sistem 2-1 yang diberlakukan untuk mengurai kemacetan lalu lintas di Jalan Raya Puncak tidak diberlakukan pada hari Minggu.
Menurut dia, rencana kanalisasi lajur pun tidak sekonyong-konyong akan mengubah keadaan di Puncak. Hal ini perlu didorong dengan pembatasan kendaraan serta optimalisasi pemanfaatan transportasi publik.
”Kanalisasi merupakan awal baik untuk jalan yang lebih berkeadilan. Meski begitu, kepadatan kendaraan di sana juga harus diminimalisasi. Misalnya, dengan membangun kawasan kantong parkir dan menyediakan bus untuk rute ke Puncak. Tidak seperti bus lain yang membeludak di Puncak, moda ini harus benar-benar teratur dan memfasilitasi berbagai tujuan,” tutur Yayat.
Dengan rencana semacam itu, ia menekankan kembali bahwa sikap pemerintah terhadap konservasi kawasan Puncak harus tegas. Tentunya, kita semua tak ingin Puncak menjadi ”cendol” atau kawasan wisata yang padat membeludak akibat overtourism. Warga pun menunggu tindak lanjut pemerintah untuk menangani kawasan Puncak.