Warga Puncak, Bogor, terganggu akibat sistem satu arah yang diterapkan demi kepentingan wisatawan semata. Mereka berharap upaya pemerintah mengurai macet tidak lagi menganaktirikan warga setempat.
Oleh
Aditya Diveranta/Dian Dewi Purnamasari/Neli Triana
·4 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Kepadataan di jalur menuju puncak Bogor, Sabtu (7/12/2019). Uji coba sistem 2-1 memberikan aksesibilitas warga setempat dan kendaraan tempat bisa melalui jalur puncak.
BOGOR, KOMPAS — Desakan agar penanganan kepadatan kendaraan di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tidak merugikan masyarakat setempat disampaikan sejumlah warga sehari setelah berlakunya uji coba kedua kanalisasi lajur 2-1 di kawasan Puncak, Minggu (8/12/2019).
Edi Santoso (42), warga Cisarua, kesulitan menyesuaikan aktivitas dengan waktu pemberlakuan satu arah yang tidak menentu saat akhir pekan. Seperti pada Minggu siang, saat dirinya turun ke Gadog dari rumahnya di Cisarua, Edi kesulitan kembali pulang ke rumah. Sebab, kepadatan kendaraan akibat sistem satu arah kembali dilakukan.
Saat satu arah berlaku mulai pukul 14.00 untuk kendaraan turun menuju Gadog, ratusan kendaraan seketika melintasi Jalan Raya Puncak dalam hitungan menit. Jika menunggu naik seusai satu arah berlaku, ia harus menunggu hingga pukul 20.00. Kadang, waktu pemberlakuan satu arah itu pun kerap mundur karena kepadatan masih terjadi.
”Kalau sudah pukul 14.00, kendaraan dari arah Gadog sudah tidak punya kesempatan untuk naik ke arah Puncak. Daripada rugi waktu, saya melawan arus,” ujar Edi.
Pilihan melawan arus juga dilakukan Ari (32), warga Ciawi, meski harus bersenggolan dengan kendaraan yang turun. Di Jalan Raya Puncak, ia hanya bisa mengandalkan sepeda motor untuk menyelinap di pinggir jalan yang sedang dibuat satu arah.
”Dari rumah saya, Ciawi, ke Pasar Cisarua hampir 6 kilometer. Mau naik angkot jurusan Cisarua saja harus nunggu 1 jam lebih baru sampai,” katanya.
Warga nekat melawan arus saat sistem satu arah berlaku di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (8/12/2019). Mereka rela melawan arus daripada harus memutar lebih jauh lewat jalan-jalan yang sempit.
Sistem satu arah juga merugikan angkutan kota (angkot) trayek Sukasari-Cisarua. Fitroh (46), sopir angkot trayek tersebut, kerap mengurangi rute Sukasari-Cisarua dari empat kali putaran menjadi dua kali saja. Hal ini juga berdampak pada penghasilannya yang kurang dari Rp 250.000.
Kanalisasi manual
Terkait kerugian waktu dan material, warga berharap rencana kanalisasi lajur 2-1 Puncak yang sedang diuji coba dapat menjadi solusi padatnya jalur Puncak. Rencana kanalisasi diatur dengan membagi dua lajur naik dan satu lajur turun, serta berlaku kebalikannya. Hal ini tergantung volume arus kendaraan yang ada. Dengan demikian, baik arus naik maupun turun tidak ada yang distop sehingga mobilitas warga setempat tidak terganggu.
Sistem yang telah dua kali diuji coba, yakni pada 27 Oktober dan 7 Desember, masih akan dirapatkan bersama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Pemerintah Kabupaten Bogor, serta kepolisian setempat.
Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor Bisma Wisuda menuturkan, sistem ini belum maksimal karena belum rampungnya pelebaran jalan.
”Ada sebagian jalan yang lajurnya belum selesai. Selain itu, ada juga masalah pedagang kaki lima di kawasan Pasar Cisarua yang berjualan ke badan jalan,” ungkapnya.
Sistem kanalisasi belum bisa berjalan sempurna karena ada sebagian jalan yang lajurnya belum selesai. Selain itu, ada juga masalah pedagang kaki lima di kawasan Pasar Cisarua yang berjualan ke badan jalan.
Camat Cisarua Deni Humaedi mengakui, ia hanya bisa menampung keluhan warga. ”Jalur Puncak jalan nasional. Penanganannya di pemerintah. Saya hanya bisa memaksimalkan petugas di lapangan, salah satunya yakni polisi lingkungan warga,” ucap Deni.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Warga nekat melawan arus saat sistem satu arah diberlakukan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (8/12/2019). Mereka lebih memilih melawan arus daripada harus memutar jalan lebih jauh lewat gang sempit.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Bogor Ajun Komisaris Fadli Amri menyatakan, evaluasi dari uji kanalisasi akan dibawa ke rapat analisis dan evaluasi (anev) bersama BPTJ dan Pemkab Bogor. Berdasarkan data Pemkab Bogor, Fadli menyebut, ada sekitar 19.000 kendaraan yang memadati Puncak saat akhir pekan.
”Evaluasi akan disampaikan saat rapat anev. Namun, intinya, pemerintah dan kepolisian berusaha mengakomodasi agar kepadatan kendaraan di Puncak tidak semakin membengkak,” tuturnya.
Bisma menambahkan, di depan hotel Pullman Vimala Hills yang ada di simpang Gadog juga terpantau ada penumpukan kendaraan saat kanalisasi karena ada penyempitan jalur. Kondisi serupa tampak di simpang Megamendung, di depan Pasar Cisarua, dan di simpang Taman Safari.
”Kami akan usulkan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bahwa jalan di ruas tersebut perlu diperlebar,” kata Bisma.
Di lapangan, saat uji coba kanalisasi, Sabtu lalu, petugas dinas perhubungan harus terus-menerus berjibaku mengatur cone dan tali tambang plastik kuning untuk membatasi lajur jalan. Saat dua lajur dibuka untuk arus naik, cone dan tali yang dipasang di beberapa ruas jalan harus disesuaikan. Demikian sebaliknya. Cukup banyak petugas diterjunkan dan mereka harus kerja keras karena semua masih manual.
Di lapangan, saat uji coba kanalisasi, Sabtu lalu, petugas dinas perhubungan harus terus-menerus berjibaku mengatur cone dan tali tambang plastik kuning untuk membatasi lajur jalan.
Sebelumnya, Kepala BPTJ Bambang Prihartono menegaskan, sistem rekayasa lalu lintas 2-1 yang diujicobakan memang tidak akan otomatis mengurangi kemacetan di Jalur Puncak.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono, Senin (20/5/2019).
Sebab, tujuan dari uji coba sistem 2-1 adalah mencari alternatif (jangka pendek) penataan lalu lintas di jalur Puncak untuk memberikan ruang aksesibilitas dua arah bagi warga setempat setiap akhir pekan/musim liburan. Selama ini, warga di kawasan Puncak merasa kerap dirugikan dengan kebijakan buka-tutup jalan yang berjam-jam.
Bambang menambahkan, gagasan uji coba sistem 2-1 sendiri merupakan keputusan yang mengakomodasi usulan dan kepentingan masyarakat di sekitar Puncak. Mereka sudah cukup lama terganggu mobilitasnya karena penerapan sistem buka-tutup.
Meskipun demikian, BPTJ masih akan mengevaluasi untuk merumuskan kebijakan tersebut dapat dijadikan kebijakan resmi atau tidak.