Jembatan penyeberangan orang atau JPO merupakan hak pejalan kaki. Meski begitu, keberadaan fasilitas publik ini kerap tarik-menarik dengan pengguna lain yang tidak berhak, salah satunya adalah pengendara sepeda motor.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA
Pengojek daring melintasi jembatan penyeberangan orang di Stasiun Pasar Minggu Baru, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2019). Upaya memotong jalan semacam ini kerap mengambil hak para pejalan kaki yang melintas.
Zaki (21) sedang terburu-buru menuju ke kawasan perkantoran di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat waktu mendesak, pengendara sepeda motor ini punya celah untuk memotong jalan. Cara itu ia lakukan dengan melewati jembatan penyeberangan orang (JPO) di dekat Stasiun Pasar Minggu Baru.
JPO itu ia manfaatkan untuk memotong jalan dari Jalan Rawajati menuju Kalibata. Dari Kalibata, ia bisa masuk ke gang-gang kecil hingga menembus ke Jalan Raya Pasar Minggu.
Dengan memanfaatkan JPO, warga asal Condet ini memotong hampir separuh rute untuk menuju ke Jalan Raya Pasar Minggu. ”Sudah biasa sih. Kalau dari Jalan Rawajati macet dan sudah kesiangan, saya pasti motong lewat sini,” ucapnya pada Selasa (19/11/2019) siang itu.
Zaki bukan satu-satunya pengendara motor yang menggunakan JPO untuk memotong jalan. Saat tengah hari saja, JPO itu dilintasi hampir 20 pengendara motor dalam kurun waktu 20 menit. Sebagian besar pengguna yang melintas di JPO itu adalah pengojek daring.
Pekerja menyelesaikan pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan antara pasar dan Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (15/11/2019). Jembatan penyeberangan itu selama tiga tahun tidak berfungsi setelah ambruk saat hujan lebat disertai angin kencang pada September 2016. Pembangunan JPO ini ditargetkan rampung akhir bulan ini.
Toha (40), pengojek di Stasiun Pasar Minggu Baru, juga terbiasa memotong lewat JPO saat mendapat penumpang di seberang jalan. ”Habisnya kalau harus memutar dari stasiun sampai ke ujung flyover Kalibata jadi kejauhan. Orang sini pakai JPO untuk motong dan hemat ongkos,” tuturnya.
Fenomena motor yang melintasi JPO ini seakan lumrah terjadi di Ibu Kota, tetapi sebenarnya mengkhawatirkan. Tanpa sadar, para pengendara motor telah mengambil sebagian hak melintas para pejalan kaki.
Hal semacam ini memang bukan hal baru, dan tidak hanya terjadi di wilayah Pasar Minggu. Setidaknya dalam arsip yang diliput Kompas, fenomena motor melintasi JPO sudah ada sejak 2010. Sepeda motor terbiasa melintas pada sejumlah JPO di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, untuk memotong putaran jalan.
Hal itu pun membuat pejalan kaki kesal. Dede (48), warga Kalibata, selalu kesal kepada motor yang melaju kencang saat melintas di JPO. Para pengendara tersebut kerap abai dengan keselamatan pejalan kaki.
”Mereka terbiasa ngebut saat naik lewat JPO, padahal di jalur itu juga ada anak sekolah yang sedang lewat. Hal ini, kan, membahayakan pejalan kaki. Giliran mereka jatuh dari motor saja minta tolongnya justru ke pejalan kaki yang lewat,” ucap Dede.
Pengendara bermotor memanfaatkan jembatan penyeberangan orang (JPO) untuk berputar arah di Jalan Yos Sudarso, tak jauh dari Kantor Wali Kota Jakarta Utara, Kamis (14/11/3019). Jauhnya jalan untuk memutar menyebabkan para pengendara nekat memilih jalur pintas melalui JPO walaupun hal tersebut tidak dibenarkan.
Egoisme pengendara
Praktisi keamanan berkendara dari Jakarta Defensive Driving Consulting, Jusri Pulubuhu, menuturkan, kebiasaan pengendara motor melintasi JPO merupakan tanda bahwa mereka masih egoistis. Satu demi satu pelanggaran yang dilakukan pengendara seakan menjadi pemakluman dan menjadi pembiaran.
”Karena itu, semestinya sanksi yang bersifat hukum juga dibarengi dengan sanksi sosial. Kedua sanksi ini mestinya memberikan efek jera bagi mereka yang egoistis dalam berkendara, sekaligus menumbuhkan empati kepada pejalan kaki yang menggunakan JPO,” ucapnya.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengakui, keberadaan JPO kerap disalahgunakan pengendara motor. Padahal, dari tatanan istilah, JPO sudah menggunakan kata ”orang” dalam singkatan tersebut. Hal ini semestinya sudah dipahami para pengendara sepeda motor.
Dari sisi ketentuan hukum pun, pengendara motor yang melintasi JPO dan membahayakan pejalan kaki dapat diancam dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas. Dalam Pasal 284 juncto Pasal 106 Ayat (2) disebutkan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda dapat dipidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.
”JPO, kan, jembatan penyeberangan orang, jadi peruntukannya sudah jelas di situ. Hal yang kini menjadi masalah berarti adalah kepatuhan para pengemudi yang melintas,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengungkapkan, masalah penyalahgunaan JPO memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pengendara motor. Bisa jadi, peletakan JPO di sebuah kawasan sudah tidak efektif lagi.
Dinas Bina Marga DKI Jakarta akan mengkaji keberadaan sejumlah JPO, seperti di Pasar Minggu Baru, terutama terkait kebutuhan untuk memenuhi pengguna jalan. Sebab, menurut Hari, kawasan di sana perlu dikaji lagi, apa justru lebih banyak sepeda motor daripada pejalan kaki yang melintas.
”Maka itu, nanti kami evaluasi dan mesti rapat dengan wilayah kota yang tahu persis kondisi sosial di sana. Nanti akan dirapatkan khusus, apakah untuk motor atau pejalan kaki. Kalau memang banyak pejalan kaki yang melintas, fungsi JPO tersebut akan dimaksimalkan,” kata Hari.
Terlepas dari masalah desain dan peletakan, warga perlu kembali memahami bahwa JPO merupakan hak pejalan kaki. Ketiadaan palang pembatas, juga kehadiran bidang miring di JPO, tidak lantas memberi legitimasi bahwa sepeda motor dapat melintas di sana.
Warga berharap peruntukan fasilitas publik di kota ke depan menjadi lebih jelas. Begitu juga dengan penegakan hukum bagi para pelanggar, jangan sampai dibiarkan begitu saja.