Setiap penumpang kereta komuter dengan tujuan Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, menjumpai sebuah spanduk besar di depan pintu keluar stasiun itu, Kamis (13/6/2019).
Spanduk berwarna merah dan putih berukuran 3 meter x 1 meter itu bertuliskan, ”Kami warga Kelurahan Rawa Buntu menolak tindak anarkisme dan kerusuhan. Karena akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Mari eratkan kerukunan dan persatuan untuk Indonesia yang semakin jaya”.
Dedi Jumadi (56), tukang ojek di tempat itu, mengatakan, spanduk tersebut baru dipasang beberapa hari terakhir. Pria yang sehari-hari mangkal di sana mengatakan, spanduk itu dipasang warga sekitar.
”Warga sudah jenuh kalau nonton televisi dan baca berita daring tertentu, isinya rusuh terus. Ini ungkapan hati warga,” ujar Dedi.
Menurut Dedi, warga ingin keadaan damai dan tertib. Dengan begitu, warga bisa menjalankan aktivitas ekonomi tanpa gangguan.
Pada saat kerusuhan 22 Mei, lanjut Dedi, pendapatannya berkurang. Jika biasanya dia bisa mengantongi pendapatan berkisar Rp 100.000- Rp 150.000, hari itu pendapatannya merosot tajam, yakni hanya Rp 50.000.
Penyebabnya sedikitnya penumpang yang turun ke Stasiun Rawa Buntu. Soalnya, Stasiun Tanah Abang ditutup karena ada kerusuhan di depan stasiun itu. ”Kami maunya yang tenteram saja. Biar tetap banyak penumpang,” ujar Dedi.
Spanduk ajakan menentang kerusuhan juga dibentangkan di sudut lain Kota Tangerang. Salah satunya terlihat di sebelah barat daya di pinggir jalan dekat Bundaran Jalan Ciater Raya, Kelurahan Ciater Raya, Kecamatan Serpong.
Spanduk itu bertuliskan, ”Masyarakat Tangerang Selatan Menolak Anarkisme dan Kerusuhan. Mari pererat Kesatuan Bangsa”.
Ekspresi masyarakat itu juga terlihat di berbagai sudut lain di Ibu Kota. Di Jalan Joglo Raya, Kembangan, Jakarta Barat, ada sejumlah spanduk yang dipasang di pojok jalan. Isi pesannya lebih kurang sama, yaitu menentang kerusuhan dan ajakan mempererat persatuan.
Pemandangan serupa juga terlihat di Jalan Arteri Kelapa Dua, Kedoya Utara, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Selain itu, spanduk bernada sama juga terlihat di bilangan Kembangan Selatan, Jakarta Barat.
Bersuara
Pengamat politik Universitas Bunda Mulia, Silvanus Alvin, mengatakan, fenomena itu adalah mulai bersuaranya mayoritas warga yang selama ini memilih diam (silent majority). Mereka selama ini cenderung diam mengikuti perkembangan politik, tetapi kini mereka mulai ingin bersuara walau dengan cara nonverbal.
Menurut Silvanus, golongan masyarakat ini bersuara lantaran ada salah satu kubu pasangan calon presiden yang mengklaim mengatasnamakan rakyat untuk aksi kekerasan.
”Mereka juga sudah jengah dengan kerusuhan dampak politik. Kini mereka mengekspresikan aspirasinya,” ujar Alvin.
Kerusuhan yang terjadi pada 21-22 Mei membuat masyarakat gerah. Warga sudah tidak tahan terhadap berbagai kerusuhan dan menginginkan suasana damai dan tertib. Hal itu diekspresikan dengan baliho yang isi pesannya menolak kekerasan.