Pikat Si Biru Bentuk Perilaku
Hari-hari selama libur Lebaran 2019, mulai Senin (3/6/2019) hingga Minggu (8/6), hampir semua stasiun MRT Jakarta ramai pengunjung. Keramaian mulai dari Stasiun Lebak Bulus hingga Stasiun Bundaran Hotel Indonesia. Dari pagi hingga mau tutup operasi.
Lebih menarik lagi, yang datang dan naik MRT adalah keluarga-keluarga muda dengan dua atau tiga anak kecil dan balita, disertai kakek nenek dan anggota keluarga lainnya. Semua bertemu di stasiun dan memenuhi kereta-kereta MRT Jakarta. Pemandangan anak kecil berlarian di stasiun, hingga tidak sabaran masuk kereta, lalu berteriak-teriak saat kereta melaju, menjadi hal lumrah di pekan libur lebaran ini.
Rupanya, daya pikat MRT yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2019 lalu, sangat besar. Bukan cuma bagi keluarga yang memang tinggal di Jakarta, tetapi juga keluarga yang datang dari luar Jakarta dan ingin memuaskan rasa ingin tahu mereka akan MRT.
“Iya, saya dan suami menemani keponakan yang datang dari Surabaya. Jadi lah kami berwisata dengan MRT Jakarta,” tutur Supratiwi (45), warga Depok, Jawa Barat, yang ditemui di Stasiun Lebak Bulus, Jumat (7/6).
Usai silaturahmi dengan keluarga di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, Supratiwi dan suami beserta keponakan dan cucu keponakan, melaju ke Stasiun Lebak Bulus. “Tadi kami tidak tahu dimana tempat parkir mobil. Jadi kami parkir di pusat perbelanjaan di dekat stasiun,” jelasnya.
Tarif Rp 14.000 untuk menempuh jarak 16 km dari Lebak Bulus ke Bundaran Hotel Indonesia, bagi Supratiwi dan keluarga, tidak masalah. “Malah saya berpikir, apa pindah rumah saja ya ke Lebak Bulus, karena kantor saya di Kebon Sirih. Adanya MRT ini enak sekali. Pekerja kantoran di Sudirman – Thamrin bisa melaju tanpa hambatan, jam berangkat bisa diatur sesuai jam keberangkatan kereta, waktu tempuh juga singkat saja. Nyamanlah,” katanya sambil bertutur ini adalah kali pertama ia menjajal MRT setelah hampir tiga bulan ini menjadi bagian dari kehidupan warga ibu kota.
Ia pun berkomentar tentang fasilitas di stasiun yang menurutnya bersih dan modern, dengan petugas yang ramah dan cekatan. “Tetapi tanda-tanda di stasiun bikin bingung. Tidak jelas, tanda A kemana, tanda B ke arah mana. Jadi tadi begitu sampai Bundaran HI, kami turun, lalu beli lagi tiket balik ke Lebak Bulus,” komplennya.
Baca juga : MRT Masih Saja Diserbu Pengunjung
Daya pikat si biru MRT, juga terpancar hingga Nusa Tenggara Timur. Rere (40), sampai meluangkan waktu liburannya di Jakarta demi menjajal naik si Biru.
“Keretanya keren, adem, dan bersih. Tanda-tanda di stasiun jelas. Petugas sangat membantu. Cepat ya, perjalanannya. Saya senang bisa naik MRT, apalagi saya dari pelosok kampung,” jelas Rere yang berasal dari Soe, NTT itu.
Ia berharap, trek MRT bisa lebih panjang lagi dari yang ada sekarang. “Dengan adanya MRT ini sangat membantu kelancaran arus transportasi. Perlu ditambah lagi jalur-jalurnya,” ujar Rere sambil menambahkan ia tidak melihat adanya perilaku masyarakat yang tidak pada tempatnya di MRT Jakarta.
Wulansari (35), penumpang yang dijumpai di Stasiun Fatmawati, tengah menemani kakaknya yang datang dari Makassar dan untuk pertama kalinya menjajal MRT di negara sendiri pekan lalu.
Dari pengalamannya, Wulansari menilai ada sejumlah hal yang mesti diperbaiki MRT Jakarta. Di antaranya direktori yang kurang besar dan kurang banyak di stasiun, peta rute MRT yang minim sehingga ia berharap bisa ditambahkan di dalam kereta, hingga suara announcer yang menurutnya kurang kencang.
“Tanda untuk menyatakan pintu kereta mana yang akan terbuka saat berhenti di stasiun kalau bisa dibuat lebih bombastis sehingga akan membantu penumpang yang kebingungan. Juga tanda-tanda bagi penumpang prioritas sebaiknya lebih jelas lagi supaya kita tidak salah duduk. Kayak MRT yang di luar negeri itu,” katanya.
Bentuk perilaku
Meskipun punya banyak masukan, Wulansari mengaku bangga Jakarta punya transportasi publik yang nyaman, efisien, dan bagus berwujud MRT.
Itu juga yang ada dalam pemantauan Kompas. Selama dua bulan ini penandaan di stasiun masih kurang. Namun memang selama pekan liburan, perilaku nglesot di lantai stasiun, membuang sampah sembarangan, hingga makan dan minum di kereta tidak terlihat. Perilaku pengguna MRT kali ini seperti “naik kelas.”
M Kamaluddin, Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta, membenarkan, selama libur Lebaran 2019, MRT Jakarta membuat program Jelajahi Jakarta. Dengan menyediakan pemandu atau tour guide, diharapkan penumpang MRT Jakarta selama liburan terbantu.
Dengan program itu juga diharapkan penumpang bisa memahami tata cara naik dan menggunakan angkutan umum bernama MRT, serta memiliki gambaran saat MRT dibangun.
Menilik jumlah penumpang selama libur Lebaran, sangat menunjukkan animo masyarakat yang tinggi. Mulai dari 62.000 orang di 3 Juni 2019, hingga yang terbanyak 90.000 orang di 8 Juni 2019.
Aditya Dwi Laksana, Ketua Bidang Perkeretaapian Masyarakat Transportasi (MTI) menjelaskan, bisa jadi perilaku “naik kelas” penumpang MRT Jakarta adalah hasil dari sosialisasi terus menerus selama dua bulan terakhir oleh manajemen MRT Jakarta. “Namun memang kita juga tetap perlu tahu profil pengguna MRT selama liburan kemarin seperti apa. Akan lebih baik lagi kalau perilaku naik kelas itu memang adalah buah dari sosialisasi terus menerus itu,” jelas Aditya.
Namun apapun, karena MRT Jakarta merupakan moda transportasi baru, ia melihat memang akan lebih mudah untuk menanamkan aturan dan etika kepada penumpang, ketimbang mengubah kultur atau mengedukasi budaya bertransportasi pada transportasi umum yang sudah berjalan.
“Ini keuntungan yang dimiliki MRT,” jelas Aditya.
Karena moda baru, MRT lebih bisa membentuk perilaku pengguna yang tertib, mau antre, tidak membuang sampah sembarang, hingga tidak berperilaku yang mengganggu penumpang lain.
“Hal kedua adalah soal sosialisasi. Saya melihat manajemen MRT sebetulnya memiliki visi atau pandangan untuk sosialisasi ke masyarakat. Mereka sudah melakukan secara intens baik lewat pemandu dalam Jelajahi Jakarta, lewat media sosial, hingga mengundang komunitas dan lembaga-lembaga. Dari upaya upaya itu sudah menunjukkan ada willingness yang kuat dari manajemen MRT untuk sosialisasi beserta target kultur bertransportasi yang diharapkan,” jelas Aditya.
Aditya menggarisbawahi, edukasi dan membentuk kultur bertransportasi yang sudah dilakukan MRT tersebut memang sudah seharusnya seperti itu.
Harapannya, program-program sejenis bisa melalui Jelajahi Jakarta ataupun eduwisata dengan mengundang anak sekolah atau masyarakat bisa intens dilakukan setelah libur Lebaran ini.
“Siswa atau masyarakat yang turut dalam eduwisata ini bisa menjadi bagian dari kampanye MRT membentuk kultur bertransportasi yang baru. Sehingga masyarakat lainnya bisa terinformasi tentang bagaimana menggunakan MRT melalui peserta edu wisata. Apalagi kalau kemudian peserta mengunggah di media sosial, akan efektif sekali untuk bisa menyebarkan informasi, sehingga masyarakat lain akan terinformasikan lebih awal, mereka memiliki early awareness,” jelasnya.