Kisah Antiklimaks Pedagang Batu Akik Jatinegara
Nasib batu akik ibarat layang-layang ‘manapiak’. Ketika sedang tinggi-tingginya melayang, ia kehilangan angin, lalu menukik tajam mengujam daratan. Sifat konsumtivisme masyarakat dinilai turut berkontribusi dalam fenomena ini.
Tidak banyak pedagang batu akik di Pasar Rawa Bening, Jatinegara, Jakarta Timur, yang menyangka perdagangan batu akik berujung suram. Salah satunya, Rudi Priyono (60), yang sudah 30 tahun lebih berjualan batu akik.
Senin (17/12/2018) siang, Yono, panggilan akrabnya, tersandar lemah di kursi kiosnya. Pelantang telinga terpasang di telinganya. Dia tidur-tidur ayam, sesekali terbangun ketika ada pengunjung pasar yang lewat di depan etalase kiosnya.
Hingga siang itu, Yono belum menjual satu pun puluhan cincin batu akik yang terpajang di kiosnya. Seminggu terakhir pun juga tidak ada yang terjual. “Selama jualan batu, belum pernah situasinya sesusah sekarang. Ibarat jatuh, kepala yang sampai duluan ke tanah,” ujarnya.
Kondisi seperti ini dialami Yono dan pedagang lainnya sejak pengujung tahun 2015. Sempat di atas angin pada periode 2013-2015, penjualan batu akik tiba-tiba merosot tajam. Omzet pedagang terjerembab dan belum bisa kembali seperti sediakala.
Yono mengingat betul masa-masa batu akik jadi primadona. Pasar Rawa Bening sebagai pusat perdagangan batu akik Tanah Air membeludak. Para pedagang musiman bermunculan. Pedagang yang tertampung pasar membuka kios ataupun lapak di luar pekarangan.
“Ramai sekali waktu itu. Bahkan, untuk lewat keluar-masuk kios, saya kesulitan,” ujarnya.
M Fakhrurozi (36), pedagang batu akik lainnya, juga mengalami masa-masa itu. Omzetnya melambung tinggi. Jika sebelumnya omzet Pa’ung Rp 20 juta per bulan, pada masa itu omzet bisa Rp 5-10 juta per hari.
Tidak hanya omzet pedagang, harga batu akik pun melonjak gila-gilaan. Batu bacan, garut, dan solar aceh yang tengah naik daun bisa mencapai Rp 3-4 juta untuk ukuran 25 karat. “Kalau kualitasnya bagus, harganya bisa ratusan juta,” kata Pa’ung.
Tidak hanya pehobi, pada masa itu, hampir semua kalangan demam batu akik. Kalangan ekonomi atas hingga bawah, tua ataupun muda seperti tersihir. Tidak hanya jadi penggemar, mereka juga berbondong-bondong jadi pedagang dadakan.
“Karena untungnya menjanjikan, banyak yang beralih profesi jadi penjual batu akik. Mulai dari pegawai kantoran, konsultan, hingga dokter,” kata Junaedi, Koordinator Asosiasi Perajin dan Usahawan Batu Aji Permata, Cincin, serta Aneka Kerajinan Pasar Rawa Bening.
Ketenaran batu akik turut menjadi berkah bagi setiap lapisan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya pedagang, penambang batu, pemoles, dan pembuat ikat cincin juga kebagian rezeki.
Menurut Junaedi, ketenaran batu akik tak terlepas dari dukungan pemerintah, baik Pemerintah Pusat ataupun Pemprov DKI Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Fauzi Bowo yang kala itu menjabat disebut-sebut sebagai penggemar batu akik.
Pada Mei 2010, diresmikanlah Pasar Rawa Bening baru yang menjadi sentra perdagangan batu akik Nasional. Batu akik lambat laun naik pamor. Apalagi sejumlah media juga gencar memberitakannya.
“Batu akik semakin tenar ketika Presiden SBY memberikan hadiah batu akik kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama,” ujar Junaedi.
Terjun bebas
Namun, ketenaran itu tidak bertahan lama, sebagaimana ketenaran ikan louhan dan bunga glombang cinta beberapa tahun sebelumnya. Komoditas tersebut tiba-tiba tenar, kemudian tiba-tiba pula redup.
Omzet Pa\'ung yang sebelumnya Rp 5-10 per bulan merosot menjadi Rp 5-10 juta sebulan. Dalam seminggu, bisa saja tidak ada pembeli sama sekali. Harga batu juga merosot hingga separuh. Kondisi tidak jauh berbeda juga dirasakan oleh Yono.
Berbagai faktor diduga jadi penyebab anjloknya penjualan batu akik, mulai dari jenuhnya pasar, masuknya produk impor, maraknya pedagang kaki lima, hingga menurunnya daya beli masyarakat.
Karena sudah belanja jor-joran, penggemar berhenti membeli batu akik. Menjamurnya pedagang dadakan di kaki lima ataupun di kios-kios luar pasar turut membuat pasar kebanjiran produk. Kondisi ini juga beriringan dengan menurunnya daya beli masyarakat, sedangkan batu bukanlah kebutuhan pokok.
Masuknya produk impor juga diduga jadi biang keladi. Menurut Junaedi, di tengah pasar yang anomali, pemerintah dinilai lengah dalam pengawasan. Berbagai perlengkapan cincin batu akik, mulai dari batu hingga ikatnya, dengan harga murah masuk ke pasar.
“Batu akik tiruan dan berbagai pengikat, seperti rhodium, germanium, titanium, yang sebenarnya nonvalue masuk. Ini merusak pasar dan mengganggu industri dalam negeri,” katanya.
Yono menduga, turunnya penjualan batu akik juga dipicu oleh kecewanya para pemain baru batu akik, penjual ataupun pembeli, dengan batu akik yang beredar di pasaran. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman mereka terkait batu akik membuat mereka rawan kena tipu.
Jumlah pedagang yang tercatat di Pasar Rawa Bening juga merosot. Menurut Junaedi, ketika masa ramai, 1.365 kios di pasar itu penuh. Sekitar 80 persen kios diisi pedagang dan perajin batu akik, sedangkan sisanya pedagang obat dan makanan. Sekarang jumlah kios yang terisi tinggal 700-an.
Senin siang, suasana pasar tampak lengang. Hanya beberapa orang pengunjung yang lewat di depan kios pedagang. Sebagian di antara mereka lebih banyak bertanya-tanya daripada bertransaksi. Sebagian besar pedagang juga sibuk sendiri, ada yang bermain ponsel, memperbaiki atau membersihkan dagangan, ataupun berbicara dengan pedagang lainnya.
Untuk meningkatkan kembali minat masyarakat, pengelola Pasar Rawa Bening mengadakan acara-acara kontes ataupun pameran batu akik. Kepala Pasar Rawa Bening Dede Waskita mengatakan, pada 22-23 Desember 2018, pihaknya mengadakan kontes batu pirus.
Konsumtivisme
Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta Sugeng Bayu Wahyono berpandangan, fenomena tren sesaat, seperti ikan louhan, bunga gelombang cinta, ataupun batu akik sering terjadi di Indonesia. Ini merupakan konsekuensi dari karakteristik sebagian masyarakat yang cenderung konsumtif, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan yang bukan kebutuhan dasar.
Menurut Bayu, masyarakat konsumtif mudah dipengaruhi tren, tetapi juga mudah jenuh. Dalam memilih komoditas yang bukan kebutuhan pokok, sebagian masyarakat mengutamakan nilai tanda dibandingka nilai gunanya. Mereka ingin mendapatkan pengakuan sebagai orang yang mengikuti zaman.
Karakter tersebut rawan dimanfaatkan oleh pasar untuk menangguk keuntungan. Itu bisa dilihat dari fenomena ikan louhan dan bunga gelombang cinta. “Secara kritis, bisa dilihat ada motif ekonomi di baliknya. Pasar kebutuhan artifisial sengaja diciptakan. Komoditas tersebut dijadikan tren. Hal itu semakin mudah diciptakan dengan dukungan media sosial,” kata Bayu.
Dalam fenomena batu akik, masyarakat berusaha meniru elit, seperti Presiden SBY, yang menggemari batu akik. Zaman Presiden Gusdur, sarung palekat yang sering digunakannya sempat pula menjadi tren.
Berbeda dengan ikan louhan dan bunga gelombang cinta, batu akik relatif bagus karena sebelumnya sudah menjadi bagian dari industri perhiasan yang di dalamnya ada unsur estetika. Namun, untuk kembali menaikkan pasar batu akik, tidak bisa dengan menunggu tren. “Pasar batu akik bisa dijaga dengan produktivitas estetika tinggi,” ujarnya.
Bayu menilai, prilaku konsumtif cenderung berdampak negatif. Sifat konsumtif membuat seseorang mudah dipengaruhi dan dijadikan objek. Dampaknya, cita-cita negara dalam menciptakan masyarakat yang mandiri susah tercapai. Ini tidak akan terjadi jika masyarakat bersifat produktif dan memiliki kesadaran kritis.
“Solusinya, energi masyarakat harus didorong lebih produktif dan kesadaran kritisnya harus ditingkatkan sehingga tidak mudah terpengaruh oleh tren sesaat,” ujarnya. (YOLA SASTRA)