Umat Diimbau untuk Jaga Toleransi dan Jauhi Perilaku Koruptif
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo mengajak umat menjaga toleransi. Khususnya untuk para pemimpin, Uskup mengimbau agar hidup hikmat dengan menjauhi perilaku koruptif. Demikian Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja Indonesia dan Konferensi Waligereja Indonesia, Selasa (25/12/2018), di Gereja Katedral Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga, Jakarta.
Uskup Ignatius Suharyo dalam pesan Natal menjelaskan, sejak tahun 2016 hingga 2020, Keuskupan Agung Jakarta mengajak umat mendalami dan mengamalkan Pancasila. Tahun 2016 mengambil tema ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dari sila pertama. Tahun 2017, ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” dengan semboyan semakin adil dan beradab. Tahun 2018, ”Persatuan Indonesia” dengan rumusan Kita Indonesia Kita Bhinneka. Tahun 2019, sila keempat dengan rumusan ”Kita Berhikmat Bangsa Bermartabat”.
”Maka, pesan Natal 2018 adalah Yesus Kristus Hikmat Allah bagi Kita berdasarkan sila keempat. Diharapkan dengan segala peristiwa selama tahun 2018, masyarakat dapat memetik pembelajaran sehingga memandang dan melangkah lebih baik pada 2019 dengan menjadi pribadi yang berhikmat dan bermartabat. Banyak peristiwa terjadi di Indonesia, masyarakat kok tidak lagi berhikmat. Hikmat persaudaraan dan gotong royong itu semakin luntur,” kata Uskup Suharyo.
Pesan toleransi menjadi sangat penting untuk terus disebarkan karena tahun 2019 Indonesia memasuki tahun elektoral. Uskup Suharyo berharap seluruh umat Nasrani dan umat beragama lainnya untuk saling bersatu menjaga kerukunan dengan menghindari fitnah dan kebohongan.
Ia meminta masyarakat untuk berdemokrasi secara hikmat, berdemokrasi dengan tidak menjadikan instrumen agama sebagai alat merebut kekuasaan. Nilai tertinggi demokrasi adalah untuk kebaikan bersama. Siapa pun yang menang, memastikan dan memperjuamgkan kebaikan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam hikmat menjaga toleransi, masyarakat harus saling mengerti dan percaya dengan melakukan hal yang sederhana, seperti bertegur sapa dan berkenalan. Sikap ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan terhadap sesama. Merawat toleransi adalah tugas bersama karena itu Uskup Suharyo mengimbau masyarakat untuk memahami dan belajar nilai dasar kemanusian. Nilai dasar itu yaitu menghormati kehidupan, menghormati martabat manusia, berpikir tentang kebaikan umum, solidaritas, dan memberi perhatian khusus kepada orang-orang lemah.
Dalam pesan Natal, Uskup Suharyo menyoroti perilaku koruptif para pemimpin atau pejabat yang menimbulkan kesengsaraan sosial masyarakat, merusak kesadaran moral, dan keadaban publik. Uskup Suharyo menilai, sikap koruptif dari para pemimpin tidak berpegang pada Pancasila terutama sila keempat, para pemimpin tidak berhikmat dalam menjalankan tugasnya.
Menurut dia, dampak dari perilaku koruptif sangat dirasakan oleh masyarakat. Dengan demikian, secara sosial belum sejahtera, masyarakat belum bermartabat sebagai manusia terhormat yang semestinya mempunyai rumah, jaminan pendidikan, kesehatan, dan kehidupan dasar lainnya.
Selain itu, ia mengatakan, ketika mempunyai kebutuhan dasar, manusia belum tentu menjadi pribadi manusiawi karena untuk mencapai sesuatu atau kepuasan menggunakan segala cara, seperti kekerasan, perilaku koruptif, menindas, dan perilaku lainnya yang tidak mencerminkan manusia yang tidak manusiawi.
Oleh karena itu, dari pesan Natal, umat Katolik menjadi pribadi-pribadi yang berhikmat seperti Yesus Kristus yang adalah hikmat Allah yang menjadi menjadi manusia. Ia yang adalah Allah tidak mempertahankan kesetaraan dengan Allah, merendahkan diri menjadi diri menjadi sama dengan manusia.
”Konsekuensinya, jika Allah menjadi manusia, maka manusia adalah makhluk yang mulia. Perilaku koruptif tidak menunjukkan manusia yang bermartabat. Tidak berhikmat kepada Allah. Manusia harus menjadi pribadi yang bermartabat. Itu menuntut solidaritas. Jika kita berhikmat, semoga dapat menyumbangkan sesuatu agar bangsa semakin bermartabat. Maka, semboyannya ’Kita Berhikmat Bangsa Bermartabat’,” kata Uskup Suharyo.
Uskup Suharyo mengatakan, seorang pemimpin yang berhikmat adalah pribadi yang beriman sesuai sila pertama Pancasila. Ketika beriman, buah yang paling jelas adalah persaudaraan dan itu terkandung di sila kedua, ketiga, dan keempat.
Indikator persaudaraan adalah bela rasa, pemimpin akan terdorong untuk terus bertanya apa yang harus dilakukan agar kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia terwujud. Menurut Uskup Suharyo, pemimpin harus mampu mendorong kebersamaan dan persaudaraan. Jika itu terpenuhi, muncul kompetensi etis, yaitu bela rasa yang mendorong orang untuk kreatif demi tercapai cita-cita kehidupan yang sejahtera sesuai sila kelima.
Uluran tangan
Dari sisi kemanusiaan, rakyat Indonesia adalah pribadi-pribadi baik hati. Seperti ketika terjadi bencana alam, rasa solidaritas rakyat menjadi sangat kuat. Menurut Uskup Sujharyo, itu adalah nilai dasar yang harus dirawat dan dikembangkan dan tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan lain yang tidak mulia, seperti perebutan kekuasaan.
”Sesama manusia kita yang menderita kita mengulurkan tangan. Itu memperlihatkan kemuliaan martabat manusia yang sesungguhnya. Apa yang dilakuakan adalah hal yang mendasar dalam manusia berhikmat,” kata Uskup Suharyo.
Belum lama ini, Indonesia kembali dilanda bencana tsunami di Selat Sunda. Keuskupan Agung Jakarta melalui lembaga Daya Dharma akan terjun membantu korban bencana tsunami yang banyak menelan korban jiwa, luka-luka, dan rusaknya infrastruktur. Uskup Suharyo mengatakan, Keuskupan Agung Jakarta mengajak umat berdoa dan mengumpulkan dana kebencanaan. (AGUIDO ADRI)