Tantangan Kota Cerdas Tangsel
Tepat 10 tahun pada 26 November ini, Tangerang Selatan meraih kemajuan dengan inovasinya. Namun, banyak soal lain butuh diatasi demi menjadi kota cerdas.
Minggu (25/11/2018) pagi, lebih dari 100 orang antre di stan Dinas Kependudukan Catatan Sipil di pameran pembangunan Hari Ulang Tahun Ke-10 Kota Tangerang Selatan di Lapangan Sunburst, BSD, Serpong, untuk membuat kartu identitas anak. Satu per satu pengantre yang rata-rata anak-anak dan ibu-ibu difoto dan beberapa menit kemudian, kartu identitas anak jadi.
Salah seorang warga Kelurahan Setu, Dahlia (35), membawa dua anaknya untuk membuat kartu identitas anak (KIA). ”Saya dengar di sini ada pembuatan KIA, jadi langsung datang ke sini sekalian jalan-jalan. Kartu ini untuk daftar sekolah dan bisa dapat diskon di KFC,” ujarnya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangsel Dedi Budiawan mengatakan, pembuatan KIA dilakukan kolektif di sekolah. Saat ini, baru 30 dari 120 SD disasar oleh program ini. Tahun 2018 target KIA mencapai 30.000 kartu dan kini sudah 18.692 kartu diterbitkan.
Pelayanan administrasi kependudukan yang lain, seperti KTP elektronik, pembuatan kartu keluarga, dan akta kelahiran, juga ditargetkan hanya satu hari jadi di kantor Disdukcapil. ”Untuk melakukan inovasi ini, banyak yang harus diubah, seperti meniadakan jam istirahat, menambah alat, dan pemberian tunjangan untuk pegawai lembur,” ujar Dedi.
Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany menyebutkan, inovasi harus dilakukan untuk dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin tinggi. ”Saat ini perizinan sudah secara daring. Pelaporan keluhan masyarakat juga bisa dilakukan melalui aplikasi SIARAN Tangsel meskipun belum maksimal. Kami terus mengevaluasi,” ungkap Airin. Namun, persoalan infrastruktur, diakui Airin, masih menjadi fokus utama pemerintah. Setelah jalan rusak, kini fokus membenahi drainase.
Persoalan utama di Tangsel, kata Airin, adalah tidak terintegrasinya pembangunan antarkawasan. Contohnya, drainase antara perumahan dan lingkungan sekitar, juga jalan, yang tidak saling tersambung memicu banjir atau kemacetan.
Pelebaran jalan yang membutuhkan biaya besar disiasati dengan membuat drainase menggunakan box culvert, ruang di atasnya dapat dilalui kendaraan atau jadi trotoar. ”Tantangan kami selain mahalnya harga lahan adalah tata ruang yang sudah jadi (dikelola pengembang), kami harus menata dan menjaga ke depan agar terintegrasi,” ungkap Airin.
Fasilitas publik
Membengkaknya jumlah penduduk di Tangsel berkorelasi dengan naiknya jumlah kendaraan, produksi sampah, kebutuhan air bersih, ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) publik, dan lainnya.
”Kami telah meminta MRT dan LRT bisa sampai Tangsel. Saat ini prosesnya masuk pra-feasibility studies. Lima stasiun di Tangsel akan dikoneksikan dengan bus transanggrek,” ujar Airin.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangsel Sukanta menyebutkan, saat ini baru ada satu koridor transanggrek yang melayani rute Stasiun Rawa Buntu-Terminal Pondok Cabe. Hanya ada lima bus dengan penumpang masih sedikit.
Wakil Wali Kota Tangsel Benyamin Davnie juga mengakui kurangnya ruang terbuka publik. Apalagi lahan terbatas dan harga tanah membubung. Karena itu, situ-situ yang ada di Tangsel (tujuh situ) dan tandon air akan direvitalisasi.
Terkait sampah yang banyak menumpuk di sudut-sudut kota, bahkan di pembatas jalan pun ada, Benyamin mengatakan, hal ini menjadi perhatian. Ke depan, Tangsel bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat agar dapat membuang sampah ke Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) Regional Nambo, Kabupaten Bogor. Hal ini karena TPA Cipeucang milik Tangsel tak lagi mampu menampung produksi 800 ton sampah kota per hari. Untuk air bersih, baru dua kecamatan, yaitu Serpong dan Pamulang, yang terlayani PDAM Tirta Kerta Raharja Kabupaten Tangerang.
Kemiskinan
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Djaka Badranaya, mengungkapkan, dengan berbagai sumber daya yang ada, Tangsel seharusnya bisa mencapai lebih banyak dari yang sudah ada saat ini. Menurut dia, pemerintah harus lebih memiliki kekuatan menggandeng semua pihak, terutama pihak swasta, untuk bersama membangun kota.
Masalah infrastruktur, pelayanan publik, hingga kemiskinan seharusnya bisa diatasi. Data penduduk miskin Tangsel sesuai laporan Badan Pusat Statistik 1,76 persen dari total 1,4 juta penduduk.
Namun, kata Djaka, pemerintah harus melihat lebih dalam lagi karena jumlah penduduk yang masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin jauh lebih besar. Di Tangsel, Djaka mengutip, berdasarkan data Dinas Sosial, jumlahnya 9,2 persen. Jika dibiarkan bisa memicu kesenjangan.
Kemudian, Tangsel seharusnya menerjemahkan konsep kota cerdas di segala bidang. ”Smart tidak hanya sebatas penggunaan teknologi dan banyaknya aplikasi pelayanan publik, tetapi juga bagaimana pemerintah menjawab berbagai persoalan secara cerdas. Sejauh ini solusi cerdas itu masih belum begitu terlihat,” ungkapnya.