Serpong Tercemar Timbel sejak 1996

Dari hasil riset itu disimpulkan bahwa konsentrasi timbal dalam udara ambien Serpong itu diketahui bukan bersumber dari pembakaran bahan bakar fosil atau bahan bakar kendaraan. Saat itu konsenstrasi debu timbal PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrometer) di udara ambien Serpong sudah lebih dari 2 mikrogram per meter kubik, batas toleransi debu timbal di udara yang ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang pencemaran lingkungan.
Hingga 2000, tingginya kadar timbal di dalam udara ambien Serpong itu kembali terdeteksi Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB). Saat itu KPBB menuduh bahwa reaktor nuklir Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) berkapasitas 30 megawatt yang berada di kompleks Puspiptek Serpong, yang digunakan sebagai penelitian, itu mengalami kebocoran. Diduga kebocoran itu menyebabkan logam timbal yang digunakan sebagai pelapis dinding reaktor tersebut mencemari udara Serpong.

Sejak 2010, Badan Tenaga Nuklir Nasional telah mengukur kadar debu timbel PM 2,5 (debu berukuran 2,5 mikrogram/meterkubik) di Serpong, Kabupaten Tangerang Selatan. Hingga kini, Batan masih terus mengambil sampel debu di udara Serpong, dan hasilnya menunjukkan kadar timbel di udara Serpong cukup tinggi. Seperti tampak dalam foto, beberapa waktu lalu, adalah koleksi sampel debu yang diambil Batan di Serpong.
Namun, dugaan kebocoran reaktor itu kemudian tak terbukti karena hanya konsentrasi unsur timbal yang ditemukan cukup tinggi di udara Serpong. Jika terjadi kebocoran pada reaktor nuklir, akan ada banyak unsur kimia berbahaya lainnya yang akan mencemari udara Serpong, seperti Cobalt yang jauh lebih berbahaya dibandingkan timbal. Sebagai tindakan lebih lanjut, jika memang reaktor nuklir itu bocor, warga di kawasan reaktor nuklir itu pun harus dievakuasi karena area itu sudah tercemar dan tak layak huni.
Kepala Bidang Pemantauan dan Kajian Kualitas Lingkungan Hidup, Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi Kementerian LHK, Esrom Hamonangan mengungkapkan, saat itu pihaknya juga sudah memantau konsentrasi timbal di udara ambien Serpong, tetapi masih belum diketahui sumber pencemaran itu. Namun, setelah adanya protes dari KPBB, beberapa institusi pemerintah, termasuk Batan, mulai melakukan penelitian secara intensif.
”Setelah mengetahui pencemaran timbal itu bukan dari reaktor nuklir Batan, KPBB mendesak agar dilakukan penelitian untuk mencari penyebab pencemaran itu. Sejak itu dilakukan serangkaian penelitian oleh kami dan juga Batan bersama perguruan tinggi negeri,” kata Esrom.
Peneliti senior Batan, Muhayatun, mengungkapkan, temuan pencemaran debu timbal di Serpong itu bukan hal baru. Menurut dia, Batan pun telah memantau secara rutin konsentrasi timbal PM 2,5 di ambien Serpong sejak 2000, tetapi itu terbatas di Serpong, belum dilakukan di tempat lain.
”Jawabannya, dari sampel udara yang diambil, konsentrasi timbal di Serpong saat itu tetap tinggi,” katanya.

Batang-batang timbel yang dihasilkan dari melebur aki bekas di Desa Jayabaya, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/8/2018) dini hari. Pembakaran limbah B3 tersebut dilakukan pada malam hari dan di tengah kebun karena merupakan kegiatan ilegal. Pekerja diupah Rp 150 untuk setiap kilogram timbel yang dihasilkan. Dalam sekali pembakaran, pekerja dapat memperoleh sekitar setengah ton timbel.
Sementara timbal yang digunakan di dinding reaktor nuklir Batan di Serpong itu berupa dinding pelapis yang statis. Dinding timbal itu digunakan untuk melindungi menahan radiasi gelombang gama dari nuklir sehingga peneliti terlindungi dari radiasi itu. Lapisan timbal itu pun tak menimbulkan debu.
”Debu timbal yang rilis di udara itu muncul akibat adanya combustion, pembakaran, peleburan itu,” ucap Muhayatun.
Di laboratorium penelitian teknologi nuklir Batan, Bandung, tempat Muhayatun bertugas pun ditemukan banyak lemari dan wadah yang terbuat dari logam timbal. Logam itu memang digunakan sebagai sarana untuk menyimpan ataupun mengukur material yang berkaitan dengan energi nuklir yang sedang diteliti. ”Lemari dari timbal ini untuk melindungi diri kita (peneliti) dari radiasi gama yang memancar dari material yang diteliti,” katanya.
Muhayatun kemudian mengungkapkan, karena hingga 2004 tak ditemukan sumber pencemaran timbal di kawasan Serpong, pihaknya mulai mengambil sampel udara di beberapa lokasi di sekitar Serpong dan beberapa kota lain, seperti Jakarta dan Bandung, sebagai pembanding. Hingga setelah 2006, saat bensin bertimbal dihapus, kadar timbal di udara Serpong tetap menunjukkan konsentrasi yang tinggi, di atas baku mutu. Sementara timbal di udara Jakarta dan Bandung menunjukkan konsentrasi yang rendah, di bawah 1 mikrogram/meter kubik.
”Semestinya hasil pemeriksaan konsentrasi timbal di udara Jakarta, Bandung, dan Serpong, yang dilaksanakan setelah dihentikannya bensin bertimbal itu bisa menjawab. Karena buktinya konsentrasi timbal di udara Serpong tetap tinggi. Kalau memang PB (timbal) itu disebabkan bensin, semestinya memiliki pattern (pola) yang sama, baik di Jakarta, Bandung, maupun Serpong,” katanya.
Berangkat dari penelitian itu, menurut Muhayatun, Batan mulai memperhitungkan arah dan kecepatan angin untuk mencari sumber debu timbal itu. Apalagi, karakter debu PM 2,5 itu dapat menjelajah dalam jarak yang sangat jauh, bergantung pada arah dan kecepatan angin. Bahkan, debu PM 2,5 akibat kebakaran di Australia sudah dapat teridentifikasi melayang-layang di udara Indonesia pada 6 hari kemudian setelah kebakaran terjadi.
Dengan menggunakan data meteorologi, Muhayatun dan timnya kemudian memperhitungkan kecepatan dan arah angin di beberapa lokasi di Serpong dan daerah sekitarnya. Saat itu angin yang diperhitungkan itu terbatas yang memiliki kecepatan 1 meter/detik karena angin dengan kecepatan itu dapat membawa debu PM 2,5 terbang.
”Kemudian kita buat sedemikian rupa, dengan memperhitungkan wind speed dan wind direction. Kemudian kita lihat, saat itu di Serpong ada angin dengan kecepatan 5,1 meter per detik sehingga debu yang terbang akan lebih cepat tibanya. Dari situ kita bisa melihat arah angin dominan itu bergeraknya dari mana datangnya. Nah, itu caranya kita mendapatkan sumber pencemaran,” kata Muhayatun.
Dari hasil perhitungan conditional probability function dengan memadukan ukuran debu timbal PM 2,5 dengan kecepatan angin dan arah angin, Muhayatun kemudian memperoleh probabilitas yang paling besar itu datang dari arah utara-barat Serpong. Angin dari utara-barat, area kawasan industri di Pasar Kamis, Tangerang, tak jauh dari industri peleburan aki bekas berizin PT Non Ferindo Utama, itu yang paling banyak datang ke Serpong.
Untuk memetakan persebaran debu timbal itu, pada 2008, Batan dan Pusarpedal Kementerian LHK melakukan penelitian lanjutan. Dalam penelitian itu, kedua institusi pemerintah itu mengambil sampel dalam jumlah besar di 16 titik lokasi di Kabupaten Tangerang hingga Jakarta. Titik pusat radius ditetapkan di PT NFU dan salah satu pabrik aki yang ada di Tangerang. Sementara 16 titik lokasi sebagai tempat pengambilan sampel udara itu di antaranya dilakukan di Serpong, Cilejit, Cirendeu, Kresek, dan Ancol.

Pekerja membakar aki bekas untuk diambil timbelnya di Desa Jayabaya, Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/8/2018) dini hari. Pembakaran limbah B3 tersebut dilakukan pada malam hari dan di tengah kebun karena merupakan kegiatan ilegal. Pekerja tersebut diupah Rp 150 untuk setiap kilogram timbel yang dihasilkan. Dalam sekali pembakaran, pekerja dapat memperoleh sekitar setengah ton timbel.
Setiap titik di 16 lokasi tersebut diambil 200 sampel udara dengan menggunakan gent stacked filter unit sampler. Debu yang ditangkap dengan alat itu disaring dalam filter polikarbonat Nuclepore berpori-pori 0,4 mikrometer untuk menyaring debu PM 2,5 ke bawah, dan filter berpori-pori 8 mikrometer untuk menyaring debu PM 10. Dari hasil pemeriksaan sampel udara di 16 titik itu diketahui, konsentrasi timbal di Serpong dalam rata-rata 24 jam itu masih lebih dari 2 mikrogram per meter kubik, sementara konsentrasi timbal di PT NFU mencapai 10 kali lipat dari Serpong.
Pada 2011, kemudian dilakukan kembali untuk mengidentifikasi jenis debu timbal yang mencemari Serpong. Dengan menggunakan positive matrix factorization milik Agensi Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika (US EPA), diketahui debu timbal yang mencemari Serpong itu didominasi timbal dari peleburan aki bekas. Sementara debu timbal yang berasal dari pembakaran sampah ataupun debu jalan, itu konsentrasinya sangat kecil sekali.
Sejak itu, serangkaian penelitian kemudian dilanjutkan untuk mengukur konsentrasi debu timbal di area peleburan aki bekas ilegal di Kabupaten Tangerang dan juga Bogor, seperti peleburan aki ilegal di Pasar Kamis, Cinangka, dan Parung Panjang. Penelitian pun tak lagi hanya konsentrasi debu di udara, tetapi juga konsentrasi timbal di dalam darah warga dan anak-anak. Penelitian yang dilaksanakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menemukan konsentrasi timbal dalam darah yang tinggi pada siswa sekolah madrasah di dekat PT NFU, dengan rata-rata 36 mikrogram/desiliter, melampaui batas toleransi timbal dalam darah sebesar 10 mikrogram/dL.
Penelitian pencemaran debu timbal ini pun tak berhenti di Kabupaten Tangerang dan Bogor, tetapi juga diperluas ke Kabupaten Tegal dan pinggiran kota Surabaya yang masyarakatnya memiliki aktivitas melebur logam. Penelitian yang di jalan Batan di pinggiran Surabaya itu menemukan konsentrasi timbal dari peleburan aki bekas di daerah itu dalam rata-rata 24 jam itu jauh lebih tinggi dibandingkan Serpong, mencapai 2,6 mikrogram per meter kubik pada 2015.
Penelitian yang dilaksanakan organisasi lingkungan Pure Earth atau Blacksmith di Desa Pasarean, Kabupaten Tegal, tempat industri kecil peleburan aki bekas, pada 2016 itu juga ditemukan konsentrasi timbal pada tanah sebesar 300 miligram/kg, memasuki ambang batas total konsentrasi C (TK-C) timbal pada tanah. (HARRY SUSILO/INGKI RINALDI/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/RYAN RINALDY)