JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian Sektor Taman Sari, Jakarta Barat, telah mengamankan tiga orang terkait kasus pengeroyokan terhadap Franky (40) pengemudi mobil Grand Livina hitam bernomor polisi B 1965 UIQ, Jumat (31/8/2018).
"Saat ini status ketiganya masih sebagai saksi," ujar Kepala Unit Reserse Kriminial Ajun Komisaris Polisi Ringo Siregar. Dia mengatakan, saat ini pihaknya masih mengidentifikasi delapan orang pelaku pengeroyokan yang terekam di dalam video.
Selain tiga orang saksi, tambah Ringo, dua pelaku sudah berhasil diidentifikasi, sedangkan tiga pelaku lainnya masih dalam tahap penyeledikan. Adapun mobil Grand Livina hitam menjadi barang bukti kepolisian.
Berdasarkan pantauan di lokasi, kaca depan mobil retak dan moncong depan mobil penyok akibat menabrak pembatas jalur bus Transjakarta. Dalam video yang tersebar luas, pelaku perusakan memukul kaca depan menggunakan helm.
Ringo menjelaskan, kejadian ini bermula saat pengemudi mobil menyenggol pengendara motor di Jalan Mangga Besar hingga terjatuh, Kamis (30/8/2018). Pengemudi kabur lalu dikejar warga hingga ke Jalan Hayam Wuruk. Kondisi jalan yang padat membuat pengemudi mobil masuk ke jalur Transjakarta.
Setelah masuk ke jalur tersebut, laju mobil bercat hitam itu terhenti oleh adanya bus Transjakarta yang sedang menurunkan penumpang di halte. Pengemudi mobil berusaha kabur dengan cara menabrakkan mobilnya ke pembatas jalur bus Transjakarta. Mobil itu lantas tersangkut di tengah pembatas. Pengemudi mobil pun sempat diamuk massa sebelum dibawa polisi.
Perilaku Kolektif
Pengamat sosiologi kriminal Soeprapto mengatakan, tindak pengeroyokan yang terjadi pada kasus di atas bisa disebut sebagai spontanity collective behavior atau perilaku kolektif yang bersifat spontan.
"Masyarakat merasa geram dengan perilaku tidak bertanggung jawab pengemudi mobil. Oleh sebab itu masyarakat melakukan peradilan massa," kata Soeprapto.
Sementara itu, sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo mengatakan tindakan main hakim sendiri kerap dipicu oleh rasa solidaritas. "Dalam hal ini, ada kesamaan antara pelaku pengeroyokan dengan korban tabrak lari, yakni sama-sama pengendara motor," ujar Imam.
Solidaritas ini disebut oleh Imam sebagai neotribalisme. Sebuah ikatan solidaritas yang tercipta oleh kesaamaan profesi ataupun hobi, sehingga tercipta kerekatan emosional di antara pengendara motor.
Imam mengatakan, ketika salah satu kelompok merasa dirugikan, yang berlaku dalam kondisi ini adalah hukum represif atau menindas. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya orang yang terlibat, sehingga memicu seseorang untuk berani melakukan tindak kekerasan.
Supaya tidak terulang, kata Imam, penegak hukum harus bertindak cepat dalam menangani kasus serupa. "Hal ini supaya masyarakat menyadari bahwa tindakan main hakim sendiri juga menimbulkan kasus hukum lainnya," ujarnya.
Menurunkan Konsentrasi
Polisi Sektor Taman Sari, Jakarta Barat, menyatakan pengemudi mobil Grand Livina hitam bernomor polisi B 1965 UIQ positif menggunakan narkotika jenis sabu.
"Hasil tes urine menunjukkan bahwa pengemudi positif menggunakan sabu," kata Ringo. Di dalam mobil ditemukan sejumlah alat yang dicurigai untuk menikmati sabu, seperti kertas alumunium dan pipet.
Kepala Bidang Rehabilitasi Medis Badan Narkotika Nasional Iman Firmansyah mengatakan, narkotika jenis sabu memberikan efek bersemangat kepada penggunanya. Bahkan, pengguna sabu-sabu mampu terjaga selama satu hingga dua hari.
"Efek penggunaan sabu merangsang pusat rasa senang yang ada di otak. Namun, rangsangan tersebut juga mengganggu daya konsentrasi seseorang," ujar Iman. Oleh karena itu, pengguna narkotika jenis ini kerap mengalami kecelakaan di jalan.
Iman mengatakan, gangguan otak, kejiwaan, hinggga serangan jantung, merupaka efek negatif dari penggunaan narkotika tersebut. Adapun kandungan kimia yang terdapat di dalam sabu-sabu mampu bertahan di tubuh manusia selama satu hingga lima hari. (DIONISIO DAMARA)