Ojek Bangkok
Saat menjelajah Bangkok, Thailand, cobalah amati. Di luar tempat-tempat wisatanya yang riuh penuh pengunjung, kemacetan turut menjadi warna keseharian kota besar itu.
Yang membedakan dengan Jakarta, di tengah jalanan yang padat nyaris tak bergerak di Bangkok, berbagai moda angkutan umum beroperasi di sana. Mulai dari kereta layang modern, bus-bus keren layaknya transjakarta bersanding dengan bus tua terawat, bajaj Bangkok alis tuk-tuk, hingga ojek sepeda motor sama-sama menjadi andalan warga dan turis asing.
Iya, ojek sepeda motor sejak lama dirangkul menjadi bagian dari sistem layanan transportasi publik di Thailand, khususnya Bangkok. Beberapa tahun silam, saat turun dari stasiun kereta layang, Bangkok Transport System (BTS) atau Skytrain, sejumlah tukang ojek siap menyambut dan mengantar hingga ke titik tujuan. Ojek di Bangkok memiliki pelat nomor warna kuning dan rompi pengojek dengan keterangan identitas jelas. Pemerintah mengatur tarif per kilometer dan batas wilayah operasional ojek.
Kala demam angkutan berbasis aplikasi mulai menjangkiti Asia Tenggara sekitar 3 tahun silam, Bangkok tak luput dari serbuan transportasi dalam jaringan (daring), yaitu taksi dan ojek daring. Awal 2016, mengutip Thai Tech, ada 186.000 ojek daring di Thailand dan separuhnya beroperasi di Bangkok.
Tukang ojek konvensional di Bangkok langsung lantang memprotes kehadiran ojek daring. Apa yang dilakukan pemerintah setempat? Pada pertengahan Mei 2016, otoritas Thailand memerintahkan dua perusahaan aplikasi menghentikan layanan ojek daring yang dikelolanya. Larangan operasi dilaksanakan, sembari ada pembicaraan intensif antara pihak pemerintah dan perusahaan aplikasi.
September 2017, ojek daring baru resmi direstui beroperasi di Thailand. Itu terjadi setelah ada kesepakatan perusahaan aplikasi bekerja sama dengan kelompok-kelompok pengojek lokal. Bangkok Post melaporkan, start awal tarif ojek daring 15 baht (sekitar Rp 6.500-Rp 7.000) dengan tambahan 5 baht per kilometer di 5 kilometer pertama perjalanan. Selanjutnya dikenai 10 baht per kilometer untuk sisa perjalanan. Tarif itu tidak berbeda jauh dengan tarif ojek konvensional.
Pengojek di Thailand yang sudah terbiasa beroperasi sesuai aturan pemerintah kini tak canggung melebur dan menghadapi perubahan zaman. Mereka merasa aman karena ketegasan pemerintah dalam berpihak membela kepentingan warganya.
Thailand menyadari fisik kotanya yang, seperti halnya di Indonesia, banyak kawasan tidak terjangkau oleh bus, bahkan tuk-tuk. Negeri Gajah Putih itu juga tengah menggenjot pembangunan sistem angkutan umumnya, tetapi belum semua terwujud sempurna. Karena itu, ojek sepeda motor tetap diakui sebagai angkutan alternatif yang efektif menembus kemacetan dan menjadi salah satu mata pencarian warga.
Indonesia, dengan sedikitnya sekitar 500.000 pengojek daring, sampai saat ini belum ada aturan jelas tentangnya. Untuk angkutan daring secara umum saja, aturannya masih dalam proses pembicaraan yang belum jelas kapan kelarnya.
Ayolah, masa kita kalah sama Bangkok.